Share

MANSION MEWAH

Sekali lagi Delima menyalim tangan ibunya lalu ikut masuk ke dalam Bis yang akan membawa dia dan Aiza ke stasiun kereta. Tak ada setetes pun air matanya mengalir, justru yang ada euforia gila-gilaan, tak sabar melihat wajah ibu kota. Beda dari Delima yang cuek bebek, Aiza justru berderai air mata, berat betul dia meninggalkan Bu Raras seorang diri di rumah.

Namun keinginannya untuk berjumpa Ramon tak kalah kuat. Maka dia timbun rasa sedihnya sedalam-dalamnya, demi hari perjumpaan yang dia yakini akan lebih indah. Kesedihan ini akan segera terbayar bila mana dia telah melihat lagi wajah pria yang dia kagumi sejak kecil.

Selama di dalam Bis, Delima cuma tidur saja, bangun sebentar lalu tidur lagi. Sementara Aiza selalu memasang mata. Sudah lama dia tak melihat pemandangan indah, hijaunya desa mereka dari kiri dan kanan. Terlebih tiap kali dia teringat akan wajah tampan Ramon. Hatinya berbunga tak sabar. Senyumnya terus mengembang, jantungnya terus meletup-letup bagai kembang api.

Mereka akhirnya sampai di rest area. Para penumpang bisa buang air maupun makan siang. Delima makan dengan lahapnya, seperti singa yang tak makan satu bulan. Aiza sampai meringis melihat kelakuan sahabatnya itu.

Sejak kecil mereka berdua memang karib, erat, tapi karakternya jauh berbeda. Delima gadis yang pemberani, tangguh, suka berontak, dan agak tomboi. Bukan sekali dua kali dia adu jotos dengan siswa laki-laki di sekolah pada masa itu. Sedangkan Aiza adalah gadis pemalu, rendah diri. Suaranya tak pernah terdengar lebih tinggi dari lawan bicaranya.

Ketika mereka duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 5, Ramon sudah memakai seragam putih abu-abu. Beberapa kali Aiza kecil datang bermain ke rumah, Ramon sedang menonton TV atau sedang mengobrol di teras rumah dengan teman sebayanya.

Waktu itu Aiza sudah mulai malu-malu. Ramon begitu dingin kelihatannya, bak sosok pangeran yang jauh dari jangkauannya. Mereka bahkan tak pernah berkomunikasi kecuali sekadar basa-basi. Sewajarnya saja, di mata Ramon, Aiza tak lebih dari anak kecil bau matahari yang juga teman dari adiknya sendiri.

Pernah juga Ramon datang membantu Delima waktu Delima hampir dihajar teman-teman berandalnya. Saat itulah, Aiza melihat sosok Ramon begitu protektif, kuat, sekaligus manis. Dia masih ingat apa yang dikatakan Ramon pada hari itu, "Kalau kalian sentuh adikku sekali lagi, siap-siap nyawa kalian yang habis."

Tidak ada rasa ngeri, justru Aiza merasa ikut dilindungi, seolah dialah orang yang ingin dijaga oleh Ramon.

Kadang, Aiza cemberut melihat Ramon membonceng seorang gadis berseragam putih abu-abu sepertinya. Gadis itu si kembang desa. Sejak itu juga Aiza sadar bahwa dia telah cemburu. Seperti itulah rasanya cemburu. Dan dia tak sabar untuk menunggu hari di mana dia akan jadi gadis dewasa. Namun sayang, belum sempat dia jadi dewasa, Ramon pergi ketika rok sekolahnya masih berwarna biru. Harapannya pupus. Dan sekarang, harapan itu mekar kembali.

***

"Aiza! Aiza!"

Suara Delima membangunkan Aiza. Kemarin setelah menumpang Bis pertama, mereka naik kereta, setelah naik kereta, kini mereka menumpang Bis lagi untuk sampai ke Jakarta. Sebetulnya bisa cukup menumpang kereta saja, tapi lantaran baru pertama kali, mereka sempat kebingungan. Untung sekarang posisi mereka aman.

Terayun-ayun di atas Bis, mata Aiza ditarik juga akhirnya.

"Kita udah sampe loh!" kata Delima dengan wajah semringah bak orang baru menang lotere.

"Beneran?!" Aiza langsung terbelalak, dia langsung melempar pandangan ke luar kaca jendela Bis yang masih berjalan. "Wah ..., ini Jakarta, Del? Betulan ini Jakarta?"

"Heum! Keren ya ..."

Yang mereka lihat tentu bukan hal-hal spektakuler, melainkan jalanan yang agak amburadul dan macet, ramainya pejalan kaki sampai pedagang kaki lima. Namun bagi orang yang melihat hal baru tentulah ini juga pengalaman yang seru.

"Keren! Liat itu, Del! Aku udah lama nggak meliat mal. Keren banget mal nya!" seru Aiza.

"Nanti aku minta sama Mas Ramon ya, kita diajak ke mal itu!" Delima berharap.

"Eh ..., kamu aja deh, aku jangan. Aku malu."

"Nggak apa-apa! Kan mumpung kita di sini!"

Tak berapa lama memandangi jalanan Jakarta, mereka berhenti di sebuah terminal. Sebentar lagi jam makan siang. Mereka harus cepat-cepat menumpang taksi atau bajaj untuk sampai ke rumah Ramon. Keduanya masing-masing telah menggendong tas ransel.

"Kamu tau alamatnya kan, Del?" Aiza bertanya saat Delima mengecek ponsel pintar.

"Tau lah! Kan Mas-ku itu ngirim paket pasti ada alamat pengirim." Delima menjawab penuh percaya diri. "Kamu ikut aja aku!"

Delima memanggil sebuah bajaj lalu menunjukkan sebuah alamat. "Pak, bisa antar kami ke alamat ini?" tanyanya.

"O ..., bisa! Bisa! Tapi ini lumayan jauh, Neng. Ongkosnya ..., sekitar dua ratus ribu!"

Sontak Delima dan Aiza saling memandang. "Buset ..., dua ratus ribu ..." bisik Delima mengulang. Aiza cuma bengong kebingungan.

Si sopir bajaj jelas berbohong. Dia tahu betul dua remaja polos ini baru pertama kali menginjak kaki di Jakarta. Dia yakin mereka akan termakan tarif palsunya.

"Ya udah deh, yang penting sampai di sini ya, Pak ... Harus nyampe!" Delima setuju.

Si sopir bajaj tersenyum puas. "Iya, dong ..., pasti nyampe! Ayo naik!"

***

Di tengah perjalanan, sang sopir membuka mulut lagi, "Kalian datang ke sini mau cari kerja? Mau jadi pembantu di rumah itu?"

Delima langsung protes, "Ya bukanlah! Emangnya kami keliatan begitu?!"

"He he ..., maaf atuh, Neng. Soalnya alamat yang Neng kasih itu, mansion mewah! Rumah orang kaya! Apartemen! Makanya saya kirain ..., mau melamar jadi pembantunya." Si sopir bajaj tersenyum tanpa rasa bersalah.

Fokus Delima justru berganti. "Mansion? Apaan itu mansion?" gumamnya bingung. Istilah itu terdengar asing.

"Ya itu! Rumah yang ada di gedung tinggi! Apartemen elitlah!" jawab si sopir lagi.

"Kayak rumah susun gitu, Pak?" Aiza yang tak kalah polos ikut bertanya.

"Bukan dong! Ini tuh mewah! Mewah! Bisa ratusan juta, miliaran!"

Delima dan Aiza kembali saling pandang, mulut mereka nyaris jatuh dari tempatnya. Edan, kerja apaan sih Mas Ramon? Batin Delima takjub.

Bajaj itu akhirnya berhenti di depan sebuah gedung mansion pencakar langit. "Nah, ini dia tempatnya."

Delima dan Aiza yang baru turun dari bajaj sekali lagi melongo. Belum pernah mereka melihat gedung setinggi ini. "Bisa gitu ..., ada rumah dalam gedung begini?" Delima mendesis lagi.

"Neng, bayar dulu!" Si sopir tak sabaran.

Cepat-cepat Delima membayarkan dengan uang pecahan seratus ribu dua lembar. Bergegas dia tarik Aiza untuk masuk ke dalam. Tentunya, sekuriti langsung menahan mereka.

"Mau cari siapa?!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
KokoSan
baik bagusss
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status