Share

SWEETHEART MAFIA
SWEETHEART MAFIA
Author: Kumara

CINTA PERTAMA

Embusan napas panjang meluncur dari bibir Bu Marni. Menjelang awal tahun begini ada satu hal yang tak pernah absen mengisi kepalanya. Terbayang lagi di benaknya sosok puteranya satu-satunya, anak lelaki sulungnya. Terhitung tahun ini, 5 tahun sudah dia merantau ke ibu kota, dan tak sekalipun dia menengok ibunya yang telah menjanda ini.

Bukannya ada tingkah Ramon yang mengecewakan hatinya, tidak demikian. Justru berkat Ramonlah kini Bu Marni punya berhektar-hektar sawah, kebun nanas, kebun kopi. Rumah yang dulu saat ditinggal suaminya tampak reot, kini berubah jadi rumah gedongan, bertingkat dua, berlantai keramik. Dua adik Ramon berhasil sekolah, si Delima baru tahun ini lulus Sekolah Menengah Atas baru membicarakan mau mendaftar Universitas, sedangkan si bungsu Cempaka baru naik kelas 3 Sekolah Menengah Pertama.

Semua berkat uang kiriman Ramon yang tak kurang dari puluhan juta tiap bulannya. Leher, pergelangan tangan, daun telinga, jari jemari Bu Marni pun berkilauan dengan perhiasan. Ke mana pun langkahnya pergi, ada mobil juga yang membuatnya tak payah kepanasan atau kehujanan. Tak ada yang kurang memang, semua dilengkapi oleh Ramon.

Namun, ada satu yang kurang, kehadiran Ramon itu sendiri. Walau kiriman uang lancar, dia jarang mengirim kabar. Bu Marni bahkan tak tahu pekerjaan apa yang dikerjakan Ramon di kota sampai dia bisa memiliki begitu banyak uang. Semua masih jadi misteri. Tahun ini Ramon telah menginjak usia 25, tapi dia tak pernah juga membahas soal pernikahan, atau kekasih. Kisah hidupnya di Jakarta sana sepenuhnya adalah kertas kosong bagi ibunya.

Hal ini tak bisa dibiarkan terus berlalu, Bu Marni harus berbuat sesuatu. Dia bertekad ingin menjemput Ramon pulang.

***

Sehabis makan malam, Bu Marni menjelaskan niatnya kepada Delima yang sedang larut bermain ponsel pintar keluaran terbaru yang baru bulan lalu dikirimkan Ramon.

"Ma, kamu jadi kan mau kuliah di Jakarta?" Bu Marni basa-basi lebih dulu.

"Belum tau juga sih, Bu. Soalnya Aiza katanya mau kuliah di Jogja."

Aiza yang dimaksud Delima adalah sahabatnya sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Keduanya tak pernah terpisahkan bagai amplop dengan perangko.

"Loh, kamu kok jadi bergantung sama Aiza, sih? Kalian kan sudah dewasa, udah semestinya mulai jalan sendiri-sendiri. Dia mau ke mana, kamu mau ke mana, harus mulai mandiri, Lima." Bu Marni menasehati.

"Iya, Bu ..., tapi Aiza itu bukan cuma sahabat buat aku, tapi juga udah kayak saudara. Aku takut kalau nggak ada dia. Aku takut kalau aku nggak bisa dapat sahabat kayak dia lagi."

"Berpegangan tuh harusnya cukup sama Tuhan aja, jangan sama manusia." Cempaka ikut menimpali.

"Heh! Bocah yang jangan ikut-ikutan omongan orang gede ya! Diam aja kamu!" Delima memang garang kepada Cempaka, sebabnya karena dia merasa Cempaka terlampau dimanjakan.

"Udah ..., jangan malah berantem, Ibu mau ngomong serius sama kamu, Delima. Ini tentang Mas-mu." Bu Marni lekas menengahi.

"Mas Ramon?! Kenapa, Bu?! Kenapa?!" Justru Cempaka yang lebih antusias.

Dengan geram, Delima memukul pelan kepala Cempaka. "Wes diam dulu, Bocah! Gendeng!"

Cempaka mengusap puncak kepalanya yang digebuk kakaknya. "Gini ..., kamu berhubung mau cari-cari kampus, sekalian aja temui Mas-mu, temui Mas Ramon. Suruh pulang nanti jelang tahun baru."

Delima langsung melongo, dia tak pernah berpikir ibunya akan meminta melakukan hal seperti itu. Pergi ke kampung sebelah untuk nonton dangdutan saja dia sering diomeli, ini malah diminta pergi ke Jakarta. Jakarta yang jauh, yang modern, yang tak pernah dia sentuh sebelumnya.

"Ibu lagi sakit ya? Masa Mbak Delima mau disuruh ke Jakarta, sih?" protes Cempaka, cemburu agaknya.

"Kamu nih jangan ikut-ikutan, Ka! Ini urusan Ibu sama Mbak-mu!" semprot Bu Marni. "Delima udah 18 tahun, dia sudah dewasa, dia pasti bisa jaga diri. Apalagi di Jakarta kan ada Mas Ramon, nanti dia yang jagain. Mau ya, Delima?" Mata Bu Marni memelas.

"Kenapa bukan Ibu aja?" Cempaka masih saja tak jera ikut campur.

"Ibu kan mesti jaga sawah kita, kalau ada hamah keong gimana? Yang jaga kamu juga siapa? Lagian, Delima pasti lebih cepat ngerti ketimbang Ibu, takutnya di sana Ibu malah nyasar!" jawab Bu Marni.

"Kalau gitu, biar Cempaka aja!"

"Hush! Jangan ngawur kamu ya! Mending pikirkan ujian sekolahmu!"

Sebetulnya Delima tak begitu peduli soal Ramon, yang dia pikirkan hanya satu: Jakarta. Kota impian yang sudah begitu lama ingin dia injak. Kapan lagi dia bisa ke Jakarta? Dia sudah bisa membayangkan liburan ke sana, jalan-jalan, melihat mal, pergi ke bioskop, pergi ke wahana dufan. Maka tanpa setitik ragu, Delima menjawab, "Ya aku siap, Bu! Tapi ...,"

Ada satu lagi yang dia pikirkan. Bu Marni bergumam, meminta Delima melanjutkan kalimatnya.

"Aku mau ajak Aiza ikut juga ya, Bu? Biar ada teman." Delima nyengir.

Bu Marni manyun, sudah dia duga pasti Aizalah syarat yang utama. "Kalian ini kayak Upin Ipin aja! Ke mana-mana mesti berdua! Ya udah, Ibu bakal ngomong sama Bu Raras dulu, minta izin!"

Delima langsung bersorak kegirangan, cuma Cempaka yang gigit jari karena tak bisa ikut pergi.

***

Di ruang tamu kediaman Bu Raras yang sederhana, Delima sudah heboh sendiri berbisik-bisik kepada Aiza mengungkap niat ajakannya memboyong Aiza ikut ke Jakarta. Namun Aiza menahan euforia, menunggu respons ibunya yang juga telah menjanda selama dua tahun.

"O ..., jadi mau menemui Ramon? Oalah, sudah lama memang dia nggak pulang, ya." Bu Raras berkomentar singkat setelah Bu Marni menerangkan maksud kedatangannya.

"Iya. Gitulah Bu, sekalian aja, kan Delima juga belum pernah ke Jakarta." Bu Marni menarik napas gugup.

Bu Raras melirik puterinya yang manis, si Aiza yang menunduk diam-diam berharap diberi izin.

"Tapi ..., soal ongkos, jujur saja, berat buat saya, Bu." Bu Raras mengeluh.

"Jangan khawatir, Bu Raras! Soal ongkos, biaya makan, jajan, semua pokoknya, dari saya, kok! Saya akan kasih uang saku buat Aiza juga."

Bu Raras langsung tersenyum lebar. "Kalau begitu boleh-boleh aja."

Delima langsung memeluk Aiza erat-erat, kedua remaja puteri sebaya itu kompak berseru gembira. Ini akan menjadi pengalaman pertama mereka jalan-jalan berdua, ke Jakarta, lagi!

Namun jauh di dalam lubuk hati Aiza, ada satu sebab utama mengapa dia begitu gembira. Semata-mata Ramon. Ramon yang telah lima tahun tak dia jumpai, Ramon yang dulu selalu misterius namun manis, Ramon yang seolah memiliki dunia sendiri. Memang di kampung ini, Ramonlah pemuda paling tampan, tinggi dengan pesona yang membuat para gadis kesengsem. Aiza teringat, dulu dia hanya anak kecil di mata Ramon, bagaimana sekarang? Aiza berbisik dalam hati, tunggu aku, cinta pertamaku ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
KokoSan
good goood nagua nie dimana6
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status