BAB 17[Memangnya Mbak Arumi dimana?] Balasku berbohong. Seakan tadi aku tidak melihat mereka, mustahil.[Apakah kau berniat menghindari Mas Arya juga?] Membaca pesan dari Mbak Arumi keningku mengkerut. Sejenak berfikir apa yang harus aku jawab? Apakah permintaan menikah dengan Mas Arya itu juga keinginan dari lelaki itu? Padahal mereka sudah dikarunia seorang putra. Aku kembali memasukan ponsel ke dalam tas. Pikiranku sudah tidak bisa merangkai kata untuk menjawab pertanyaan Mbak Arumi.Aku membiarkan Mbak Arumi menerka-nerka sendiri jawabanku. Sebagai seorang wanita dia pasti paham. Aku yang masih status istri orang. Sedangkan putusan pengadilan juga belum diumumkan. Apakah pantas sudah merencanakan suatu pernikahan? Ah, memikirkan masalah keluarga ku saja menyita banyak waktu. Apalagi harus mengurusi suatu hal yang menurutku diluar nalar. Tak aku hiraukan lagi Mbak Arumi, mungkin itu hanya sebuah lelucon baginya.****Seperti biasa Emak dan juga Bapak pergi ke ladang selepas subu
Bab 18"Apakabar, Bel?" sapa Mbak Arumi yang langsung menghamburkan pelukannya. Akupun dengan reaksi spontan menerima pelukan Mbak Arumi dengan mengeratkan pelukan."Baik, Mbak. Alhamdulilah." Pikiranku tidak sinkron hingga menanyakan kabar sebaliknya pun enggan ku lakukan. Berbagai pertanyaan hinggap di ot*kku kenapa mereka bisa kemari?"Sidang putusan sebentar lagi turun, Bel.""Terus?""Kok terus sih, Nduk? Ya, berterima kasih no sama Nak Arya. Yang sudah bersedia membantu selama ini! Kamu kok jadi kayak orang bingung gitu tho?""Ow, Iya. Mak, maaf!" Aku menggaruk tengkuk leher yang sebenarnya tidak gatal. Meskipun sudah tertutupi jilbab instan.*****POV Ibu RatnaAku berjalan tergopoh-gopoh menuju warung. Hari ini Imam memberiku uang dua ratus ribu. Dia menyuruhku membeli pulsa listrik sisanya digunakan untuk membeli sayur dan kebutuhan lain. Perut Lia semakin hari semakin membesar alasan yang selalu digunakan jika aku menyuruhnya membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Awalnya si
Bab 19Wah …." Aku membelalak, melihat isi dalam kardus yang lumayan besar itu. Ada pakaian bayi lengkap dari sepatu hingga topi untuk si baby."Baik banget, Bela." Sengaja aku menekankan kata baik. Agar Lia tahu dia tak sebaik Bela. Lia langsung mengalihkan pandangannya ke arahku. Tatapannya tajam. Imam pun tak kalah heran. Mengapa Bela mau memberi mereka hadiah, padahal Imam tau betul bahwa Bela sangat marah mengenai Lia. "Ini apa?" Imam menarik sesuatu yang berada paling bawah. Seperti lembaran foto. Dibaliknya dengan perlahan hingga semua orang yang ada di tempat itu terkejut melihat sosok yang berada di dalam foto, sedang bergandengan tangan dengan seorang pria yang terlihat sangat mesra. "Ini apa maksudnya?!" Imam murka. Tangannya seketika mengepal. Rahangnya mengeras. Ketika menatap lembaran demi lembaran foto yang ia bawa."Lia gak tahu, Mas. Sumpah!""Kalau kamu gak tahu terus ini apa?" Dibuangnya foto itu langsung didepan wajah Lia. Lia memalingkan wajahnya lalu memungut l
BAB 20"Lho kok gitu, Om? Bukannya kita sudah sepakat ya. Kalau hutang itu dibayar perbulan." Aku terheran-heran mendengar permintaan lelaki ini. "Eh, Bela. Kamu ini dikasih keringanan malah ngelunjak. Dulu aku sudah peringatkan kamu ya! Hutang bapakmu itu akan lunas jika kamu rujuk dengan Imam. Eh, malah kamu tetep ingin cerai. Sekarang mana uangnya?""Belum ada, Om. Besok kalau Bela sudah gajian pasti Bela lunasi!""Om gak mau tahu. Pokoknya kembalikan uang Om sekarang!""Sabar, Pak sabar. Semua bisa diselesaikan baik-baik! Berapa hutang Bela yang belum terbayar?" tanya Mbak Arumi dengan nada biasa saja."Empat juta! Kenapa? Kamu mau bayar?"Mbak Arumi menghela napas panjang lalu meraih dompet yang tersimpan dalam tas."Mbak." Aku menggeleng tanda menolak pertolongan Mbak Arumi. Mbak Arumi pun berhenti dari aktivitasnya lalu menatapku."Eh, Bela. Gak usah sombong kamu! Gak mau dibantu segala. Memangnya kamu punya uang?!""Tu dengar, memangnya jika kamu tidak mau aku bantu, kamu ada
Bab 21LegaAku masih termangu duduk di kursi menatap langit-langit rumah. Dadaku sedikit lega. Mengungkap semua rahasia yang dulu kututup rapat-rapat. Mbak Arumi pun sudah pergi. Dijemput mobil entah berwarna apa? Sudah tak diperhatikan lagi."Nduk, kamu gak papa?" Emak berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku. Bajunya yang kotor sudah berganti baju bersih. Sepertinya juga sudah mandi. Aku tak melihat kedatangannya tadi."Baik, Mak." Aku tersenyum menutupi semuanya. "Emak sudah tahu, gak perlu lagi kamu tutupi! Wahyuni tadi panggil Emak. Saat mantan suami dan juga mertuamu kemari. Maaf, Emak gak langsung menemui mereka. Emak mandi dulu. Setelah keluar malah sudah bubar. Mereka kesini ngapain? Gak bikin ulah kan?""Gak papa, Mak. Mereka gak bikin ulah kok.""Terus baju yang ada di depan itu baju siapa?"Aku menghela napas panjang. Jika aku tidak menceritakan pada Emak, lantas bagaimana aku bisa menjelaskannya?"Iya, Mak itu baju Mas Imam. Tadi dia kesini marah-marah. Mereka pikir Bela y
Bab 2230 hari merebut hati BelaAku menatap jauh keluar dari balik kaca mobil. Ada banyak kenangan saat bersama Bela berseliweran di pelupuk mata. Masa-masa indah itu berubah setelah aku mendengar bahwa Bela mandul. Ah, rasanya egoku terlalu tinggi saat itu. Aku percaya begitu saja. Hingga awalnya aku begitu mencintainya, begitu mengasihinya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Bod"hnya aku, membiarkan Bela menertawakan aku dalam hatinya.Kini setelah aku tahu bahwa akulah yang tidak bisa memberikannya keturunan. Rasanya duniaku runtuh seketika. Aku terus merutuki diriku sendiri. Hingga mungkin akan aku bawa penyesalanku ini hingga ke dalam jeruji besi.Pov BelaPagi ini aku bangun setelah mendengar adzan Subuh berkumandang. Bergegas ke kamar mandi mengambil air wudhu. Untuk menunaikan kewajiban ku sebagai umat muslim. Setiap air yang mengalir dalam basuhan ku mampu menghilangkan sedikit kekhawatiran dalam hati. Ah, aku akan kembali sibuk seperti biasa. Mencari uang dan ua
Tetangga baru"Adit berantem sama adiknya Mas Pandu!""He, Pandu? Pandu siapa?""Pendatang baru, dia baru tiga bulan disini. Kamu belum tahu?"Aku menggeleng lalu meninggalkan Mbak Yuni yang masih memberi penjelasan. Segera aku masuk kedalam rumah. Alangkah terkejutnya aku. Di ruang tamu sudah ada banyak orang yang berkumpul. Aku duduk disamping Emak. Lalu bertanya padanya setengah berbisik. "Ada apa ini, Mak?"Emak hanya menggeleng, tapi sekilas aku melihat ada jejak air mata di pipinya."Maaf, Pak RT. Ini ada apa ya? Kok semua berkumpul disini?" Aku memperhatikan setiap orang satu persatu. Pasti ada sesuatu hal yang baru saja terjadi."Adit, Nduk." Hanya itu yang diucapkan bapak. Dia kembali mengalihkan pandangannya ke lantai. Sesekali aku mendengar lelaki paruh baya itu menghela napas panjang."Begini, Mbak Bela. Adit itu berkelahi, sama adiknya Mas Pandu ini." Pak RT mulai menjelaskan sembari menyentuh pundak orang yang bernama Pandu itu. "Berkelahi? Masalahnya apa ya, Pak?" Aku
BAB 24POV AditAku berjalan pulang dari sekolah seorang diri. Bukan karena tidak memiliki sahabat maupun teman karib. Tapi memang hari ini hanya beberapa siswa yang masuk. Belum keseluruhan.Langkahku sengaja melambat. Menikmati udara yang tidak lagi hangat namun sudah terik. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan. Menunjukan jam satu tepat. Dari kejauhan tampak seorang anak berusia mungkin seumuran denganku. Berjalan penuh dengan keangkuhan. Aku masih biasa, berjalan tanpa memperhatikan dia yang tengah memanggilku."Sombongnya!" Terdengar dari kejauhan. Aku menoleh ke samping kanan maupun kiri lalu ke belakang. Mencari siapa yang dia maksud?"Bukan siapa-siapa! Tapi Lo yang Gua maksud!""Gua?!" Aku terkejut bukan kepalang. Ini adalah anak pendatang yang kira-kira belum lama ini tinggal di kampung ini. "Ada apa ya, Mas? Saya belum kenal situ, kenapa situ marah sama saya?""Wuist, belagu ini anak! Bukannya Lo selama ini anak yang paling disegani sama anak-anak sini?!" Ya, mu