Bab 19Wah …." Aku membelalak, melihat isi dalam kardus yang lumayan besar itu. Ada pakaian bayi lengkap dari sepatu hingga topi untuk si baby."Baik banget, Bela." Sengaja aku menekankan kata baik. Agar Lia tahu dia tak sebaik Bela. Lia langsung mengalihkan pandangannya ke arahku. Tatapannya tajam. Imam pun tak kalah heran. Mengapa Bela mau memberi mereka hadiah, padahal Imam tau betul bahwa Bela sangat marah mengenai Lia. "Ini apa?" Imam menarik sesuatu yang berada paling bawah. Seperti lembaran foto. Dibaliknya dengan perlahan hingga semua orang yang ada di tempat itu terkejut melihat sosok yang berada di dalam foto, sedang bergandengan tangan dengan seorang pria yang terlihat sangat mesra. "Ini apa maksudnya?!" Imam murka. Tangannya seketika mengepal. Rahangnya mengeras. Ketika menatap lembaran demi lembaran foto yang ia bawa."Lia gak tahu, Mas. Sumpah!""Kalau kamu gak tahu terus ini apa?" Dibuangnya foto itu langsung didepan wajah Lia. Lia memalingkan wajahnya lalu memungut l
BAB 20"Lho kok gitu, Om? Bukannya kita sudah sepakat ya. Kalau hutang itu dibayar perbulan." Aku terheran-heran mendengar permintaan lelaki ini. "Eh, Bela. Kamu ini dikasih keringanan malah ngelunjak. Dulu aku sudah peringatkan kamu ya! Hutang bapakmu itu akan lunas jika kamu rujuk dengan Imam. Eh, malah kamu tetep ingin cerai. Sekarang mana uangnya?""Belum ada, Om. Besok kalau Bela sudah gajian pasti Bela lunasi!""Om gak mau tahu. Pokoknya kembalikan uang Om sekarang!""Sabar, Pak sabar. Semua bisa diselesaikan baik-baik! Berapa hutang Bela yang belum terbayar?" tanya Mbak Arumi dengan nada biasa saja."Empat juta! Kenapa? Kamu mau bayar?"Mbak Arumi menghela napas panjang lalu meraih dompet yang tersimpan dalam tas."Mbak." Aku menggeleng tanda menolak pertolongan Mbak Arumi. Mbak Arumi pun berhenti dari aktivitasnya lalu menatapku."Eh, Bela. Gak usah sombong kamu! Gak mau dibantu segala. Memangnya kamu punya uang?!""Tu dengar, memangnya jika kamu tidak mau aku bantu, kamu ada
Bab 21LegaAku masih termangu duduk di kursi menatap langit-langit rumah. Dadaku sedikit lega. Mengungkap semua rahasia yang dulu kututup rapat-rapat. Mbak Arumi pun sudah pergi. Dijemput mobil entah berwarna apa? Sudah tak diperhatikan lagi."Nduk, kamu gak papa?" Emak berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku. Bajunya yang kotor sudah berganti baju bersih. Sepertinya juga sudah mandi. Aku tak melihat kedatangannya tadi."Baik, Mak." Aku tersenyum menutupi semuanya. "Emak sudah tahu, gak perlu lagi kamu tutupi! Wahyuni tadi panggil Emak. Saat mantan suami dan juga mertuamu kemari. Maaf, Emak gak langsung menemui mereka. Emak mandi dulu. Setelah keluar malah sudah bubar. Mereka kesini ngapain? Gak bikin ulah kan?""Gak papa, Mak. Mereka gak bikin ulah kok.""Terus baju yang ada di depan itu baju siapa?"Aku menghela napas panjang. Jika aku tidak menceritakan pada Emak, lantas bagaimana aku bisa menjelaskannya?"Iya, Mak itu baju Mas Imam. Tadi dia kesini marah-marah. Mereka pikir Bela y
Bab 2230 hari merebut hati BelaAku menatap jauh keluar dari balik kaca mobil. Ada banyak kenangan saat bersama Bela berseliweran di pelupuk mata. Masa-masa indah itu berubah setelah aku mendengar bahwa Bela mandul. Ah, rasanya egoku terlalu tinggi saat itu. Aku percaya begitu saja. Hingga awalnya aku begitu mencintainya, begitu mengasihinya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Bod"hnya aku, membiarkan Bela menertawakan aku dalam hatinya.Kini setelah aku tahu bahwa akulah yang tidak bisa memberikannya keturunan. Rasanya duniaku runtuh seketika. Aku terus merutuki diriku sendiri. Hingga mungkin akan aku bawa penyesalanku ini hingga ke dalam jeruji besi.Pov BelaPagi ini aku bangun setelah mendengar adzan Subuh berkumandang. Bergegas ke kamar mandi mengambil air wudhu. Untuk menunaikan kewajiban ku sebagai umat muslim. Setiap air yang mengalir dalam basuhan ku mampu menghilangkan sedikit kekhawatiran dalam hati. Ah, aku akan kembali sibuk seperti biasa. Mencari uang dan ua
Tetangga baru"Adit berantem sama adiknya Mas Pandu!""He, Pandu? Pandu siapa?""Pendatang baru, dia baru tiga bulan disini. Kamu belum tahu?"Aku menggeleng lalu meninggalkan Mbak Yuni yang masih memberi penjelasan. Segera aku masuk kedalam rumah. Alangkah terkejutnya aku. Di ruang tamu sudah ada banyak orang yang berkumpul. Aku duduk disamping Emak. Lalu bertanya padanya setengah berbisik. "Ada apa ini, Mak?"Emak hanya menggeleng, tapi sekilas aku melihat ada jejak air mata di pipinya."Maaf, Pak RT. Ini ada apa ya? Kok semua berkumpul disini?" Aku memperhatikan setiap orang satu persatu. Pasti ada sesuatu hal yang baru saja terjadi."Adit, Nduk." Hanya itu yang diucapkan bapak. Dia kembali mengalihkan pandangannya ke lantai. Sesekali aku mendengar lelaki paruh baya itu menghela napas panjang."Begini, Mbak Bela. Adit itu berkelahi, sama adiknya Mas Pandu ini." Pak RT mulai menjelaskan sembari menyentuh pundak orang yang bernama Pandu itu. "Berkelahi? Masalahnya apa ya, Pak?" Aku
BAB 24POV AditAku berjalan pulang dari sekolah seorang diri. Bukan karena tidak memiliki sahabat maupun teman karib. Tapi memang hari ini hanya beberapa siswa yang masuk. Belum keseluruhan.Langkahku sengaja melambat. Menikmati udara yang tidak lagi hangat namun sudah terik. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan. Menunjukan jam satu tepat. Dari kejauhan tampak seorang anak berusia mungkin seumuran denganku. Berjalan penuh dengan keangkuhan. Aku masih biasa, berjalan tanpa memperhatikan dia yang tengah memanggilku."Sombongnya!" Terdengar dari kejauhan. Aku menoleh ke samping kanan maupun kiri lalu ke belakang. Mencari siapa yang dia maksud?"Bukan siapa-siapa! Tapi Lo yang Gua maksud!""Gua?!" Aku terkejut bukan kepalang. Ini adalah anak pendatang yang kira-kira belum lama ini tinggal di kampung ini. "Ada apa ya, Mas? Saya belum kenal situ, kenapa situ marah sama saya?""Wuist, belagu ini anak! Bukannya Lo selama ini anak yang paling disegani sama anak-anak sini?!" Ya, mu
BAB 25Ratna mengiba"Bela, Ibu mohon!" Wanita itu kembali memintaku dengan penuh iba. "Bu, 10 tahun itu bukan waktu yang sebentar. Aku selalu memberi maaf, memberi kesempatan kepada putramu. Tapi apa? Dia kembali menorehkan luka yang sama. Ditempat yang sama. Dan Ibu tahu hal apa yang paling menyakitkan? Ketika Lia, ibu bawa pulang kerumah dengan gelar istri Mas Imam. Remuk, Bu. Hati Bela sakit! Tapi bagaimana dengan Ibu? Ibu malah membelanya dan juga menyalahkan ku atas semuanya. ""Ibu minta maaf, Bela. Ibu salah, ibu khilaf. Entah apa yang akan dirasakan Imam di dalam sana? Dia masih terkejut atas kebenaran yang selama ini kamu tutup rapat! Ayo, Bela. Maafkan Imam. Ibu mohon." pinta wanita itu. Aku tak bergeming, maafkan aku, Bu. Keputusanku sudah bulat. Tak akan aku ubah lagi apa yang menjadi keputusanku saat ini. Meskipun aku akan disibukan dengan rentetan kegiatan mondar-mandir ke kantor kepolisian."Maaf, Bu." Aku melepaskan tangan wanita tua itu. Lalu berniat berjalan menin
Sahabat lamaSudah cukup lama aku bercengkrama dengan Nia. Sahabatku satu itu memang kocak. Statusnya yang perawan tua. Eh, bukan perawan tua hanya saja belum bertemu dengan jodohnya meskipun usianya sudah berkepala tiga. Yang penting bukan kepala naga. Aku bergegas pulang setelah melirik ke arah jam yang menempel di dinding. Meraih tas yang tadi aku letakan di meja sisi kanan. Kemudian aku berjalan menuju lobi depan. Berniat memesan ojek online. Namun langkahku terhenti kala Mas Arya sudah duduk di kursi tunggu."Mas Arya? Ngapain?" Aku bertanya padanya kenapa dia bisa sampai ke sini."Kan kemarin saya sudah bilang jangan menghindari saya.""Saya tidak pernah menghindari Anda." "Kali ini biarkan saya yang mengantar pulang." Mas Arya terlihat beranjak dari tempatnya. Kemudian berjalan perlahan mendekatiku. "E- anu ... Sa-saya ada janji sama Nia!" Aku langsung menarik tangan Nia setelah dia terlihat keluar. Nia pun tergagap terkejut ketika tanganku meraih tangannya. "I-iya Mas. Kit