Share

3

Sialan! Aku mengumpat dalam hati. Kenapa susah sekali membujuk karyawan itu?

Aku menghentakkan kaki meninggalkan karyawan itu. Tujuanku sekarang adalah Mas Hanan, aku akan merengek pada lelaki itu agar mau membujuk kalau bisa mengancam mereka agar mau memberikan tas itu padaku.

"Mas ...," rengek ku bergelayut di lengan Mas Hanan. Lelaki itu mengerutkan keningnya.

"Ada apa, Sayang? Sudah selesai belanjanya? Barangnya mana?" cecar Mas Hanan. Aku menggeleng manja sembari memasang tampang sedih.

"Tadi aku liat tas, bagus banget, Mas. Tapi ...," Sengaja ku jeda kalimatku. Aku cemberut seraya melepas lengan Mas Hanan.

"Tapi kenapa, Sayang? Barangnya mana? Kalau suka kenapa nggak ambil aja? Mas akan bayarin, kok!" kata lelaki itu lembut.

"Tas yang aku suka itu sudah lebih dulu dipesan orang lain, Mas. Jadi ... karyawan itu nggak mau memberikannya padaku," aduku pada Mas Hanan.

Mas Hanan menghembuskan napas. Kemudian menatapku, aku berharap dia mengatakan akan mengusahakan itu, tapi dugaanku salah.

"Kalau begitu, kita tidak bisa memaksa mereka, Yank. Kamu pilih yang lain saja, ya? Banyak yang bagus-bagus, kok!" bujuknya. Aku menghempaskan napas kasar. Tapi mengangguk juga, dari pada tak dapat apa-apa, pikirku.

Akhirnya, aku menjatuhkan pilihan pada tas kecil berwarna cream. Bagus juga, tapi tetap saja lebih bagus dan mewah yang kuinginkan tadi. Ah, sudahlah

Setelah melalui drama beli tas tadi, kami melanjutkan naik ke lantai dua. Biasanya disana ada sepatu dan baju yang bagus-bagus. Mas Hanan menurut saja, dia setia melangkah mengikuti kemana kakiku membawanya.

Sampai akhirnya aku menemukan toko sepatu dan baju branded. Kebetulan tokonya berdampingan. Aku memilih membeli beberapa baju dulu, baru setelahnya memilih sandal dan sepatu.

"Bagaimana menurutmu, Mas? Aku cocok pakai yang mana?" Aku menanyakan pendapat Mas Hanan, ku tunjukkan kaki kanan yang memakai high heels, warna hitamnya sangat kontras dengan kulit putihku. Aku menyukainya, karena terlihat mewah saat ku kenakan.

"Ambil yang hitam dan biru saja, Yank. Bukannya tadi kamu ambil dress berwarna biru pastel? Cocok itu," katanya. Aku berbinar, ternyata Mas Hanan peka dengan keinginanku yang ingin dua-duanya.

Setelah puas berbelanja, aku mengajak Mas Hanan pulang. Rasanya kaki ini sudah hampir putus, tapi hatiku senang karena dapat apa yang kuinginkan.

Kami tiba di apartemen tempat tinggal ku. Saat memutuskan menjadi kekasih Mas Hanan, aku di fasilitasi apartemen olehnya.

"Mas nggak mampir dulu?" tanyaku dengan nada manja.

"Mas langsung balik aja, ya, Yank? Besok kita ketemu lagi," katanya menolak. Biasanya aku akan merajuk, tapi untuk hari ini aku maklumi saja, toh dia sudah membelanjakan banyak barang padaku hari ini.

"Yaudah. Kamu hati-hati, ya?" kataku seraya mengecup pipinya sekilas. Lelaki itu menyipitkan matanya ke arahku dengan senyum terkulum.

"Jangan mancing-mancing, Yank," katanya mengingatkan. Ku balas ucapannya itu dengan kekehan kecil, lalu bergegas membuka pintu dan kembali menutupnya.

Ku lambaikan tangan saat mobil Mas Hanan mulai melaju, dibalasnya dengan membunyikan klakson. Setelahnya aku berbalik, aku sudah tak sabar ingin segera sampai ke kamar apartemenku.

Menjadi kebanggaan tersendiri bagiku dengan menenteng paper bag dengan merk ternama. Mungkin bagi sebagian orang itu hal biasa, tapi bagiku tentu saja luar biasa. Aku yang selama ini hanya mampu membeli barang tiruan, tiba-tiba bisa membeli yang asli.

Aku bergaya didepan cermin besar di kamar apartemenku dengan mengenakan dress yang tadi ku beli bersama Mas Hanan, aku berpose dengan berbagai gaya, kemudian mengirimnya pada Mas Hanan. Aku yakin, dia pasti suka.

[Kamu sukanya mancing-mancing, Yank! Awas aja kalo ketemu, ya? Bisa abis kamu sama Mas.]

Aku terkekeh membaca balasan pesan Mas Hanan karena ku kirimi foto-foto tadi. Di berbagai pose, aku memang bergaya dengan sedikit 'berani', mungkin itu yang dikatakannya aku sedang memancingnya. Padahal memang iya.

[Aku nggak mancing, kamunya aja yang kepancing nggak jelas. Bilang aja kalau memang kamu yang mau.] Aku mengirim pesan balasan pada Mas Hanan.

[Tentu saja Mas mau, Yank.]

[Kesini atuh Mas kalau memang mau. Aku selalu siap, loh!] balasku dengan emot senyum menggoda.

[Besok, ya, Yank. Pas Mas balik kantor. Sekarang Mas ke rumah Ibu dulu. Aluna memaksa bercerai, jadi dia meminta Mas pergi dari rumah.]

Aku terkesiap membaca pesan Mas Hanan. Bukan karena Aluna yang memaksa bercerai, malah aku senang kalau memang benar. Tapi yang membuatku kaget dan tak habis pikir, kenapa pula Aluna mengusir Mas Hanan dari rumah mewah mereka? Padahal aku sudah bermimpi bisa tinggal disana.

Tak ku balas lagi pesan terakhir Mas Hanan tadi, melainkan menelponnya langsung. Aku ingin mencecar lelaki itu, kenapa ia mau-mau saja diusir dari rumah sendiri?

"Kenapa, Sayang? Mas lagi jalan ini," kata Mas Hanan saat pertama kali telepon ku diangkat.

"Mas ngapain pergi? Kenapa juga Mas mau-maunya diusir sama Aluna? Rumah itu, kan, milik Mas juga. Harusnya Aluna, dong, yang pergi." Aku mencerca Mas Hanan.

"Ceritanya panjang, Sayang. Besok saja Mas jelaskan, ya? Mas jalan dulu, kalau Mas sudah sampai Mas hubungi lagi," katanya membuatku menghembuskan napas kasar, mau tak mau aku menurut.

Setelah mematikan panggilan, aku keluar dari kamar setelah sebelumnya mengganti dress tadi dengan baju rumahan. Aku menuju dapur, mengeluarkan minuman dingin dan juga cemilan, kemudian membawanya ke sofa depan tv.

Aku menyalakan tv, dan mencari chanel kesukaanku. Ku habiskan waktu dengan menonton sambil menikmati cemilan.

Entah sudah berapa lama aku menonton, tiba-tiba saja rasa kantuk menyerang ku. Ku putuskan untuk tidur di sofa, dengan tv yang masih menyala.

***

Aku tak tau pasti sudah berapa jam ku habiskan waktu dengan tertidur. Yang pasti, saat terbangun hari sudah mulai gelap. Ku cek ponselku, aku mendesah pelan saat tak mendapati satu pun pesan juga panggilan dari Mas Hanan.

Kemana dia? Padahal tadi dia berjanji akan menghubungiku setelah sampai di rumah Ibunya. Apa dia belum sampai? Tak mungkin juga, setahuku jarak rumahnya dengan rumah Ibunya tak terlalu jauh. Paling hanya butuh waktu 20 menit jika menggunakan mobil.

Ku putuskan menghubungi Mas Hanan lewat wa. Sedetik, dua detik, sampai beberapa menit berlalu tapi tak kunjung kudapat balasan darinya. Bahkan pesan tadi masih saja centang satu. Ada apa sebenarnya ini? Kenapa wa Mas Hanan malah tak aktif?

Karena tak kunjung mendapat balasan pesan darinya, ku putuskan untuk menyegarkan tubuh lebih dulu. Siapa tau setelah itu Mas Hanan akan menghubungi.

Setelah menghabiskan waktu beberapa menit di kamar mandi, aku keluar dan mulai bersiap. Ku pakai baju harian saja, karena hari pun sudah malam. Saat mengecek ponsel, ternyata Mas Hanan menelpon tadi beberapa kali. Dia juga mengirim pesan meminta maaf karena telat menghubungi. Setelah bertanya padanya, barulah aku tau ternyata dia sedang bicara dengan keluarganya.

Mas Hanan memintaku tidur lebih dulu, karena dia tak bisa menemani sebab masih ada urusan dengan keluarganya. Aku menurut saja, lagi pula besok aku akan kembali bekerja.

Saat hendak membaringkan tubuh, tiba-tiba ponselku kembali berdenting. Awalnya aku mengira itu pesan dari Mas Hanan, ternyata aku salah. Pesan itu dari ...

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Abigail Briel
aluna keren
goodnovel comment avatar
Rifatul Mahmuda
makasih akak sudah setiaaa
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
good aluna semangat kebahagian menunggumu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status