Share

4

Pagi ini aku bangun lebih cepat dari biasanya, pasalnya tadi Mas Hanan menghubungiku. Dia mengatakan akan sarapan disini. Jadi aku bangun lebih cepat untuk memasak sarapan spesial untuk lelakiku itu.

Untuk urusan dapur, aku tak perlu diragukan lagi. Karena terbiasa hidup di kampung bersama Ibu, menuntut ku untuk bisa mengerjakan setiap pekerjaan rumah, termasuk untuk urusan dapur.

Dulu, Ibu dan Bapak sama-sama bekerja. Pagi-pagi sekali, keduanya akan berangkat ke sawah dan akan pulang menjelang sore. Aku yang di rumah terpaksa memasak untuk diantar ke sawah untuk makan siang Ibu dan Bapak. Sejak itulah aku terbiasa di dapur, begitu juga saat bekerja dan ngekos.

Dua porsi nasi goreng udang sudah selesai. Aku membawanya ke meja makan. Sambil menunggu Mas Hanan datang, aku memutuskan mandi lebih dulu. Agar saat dia datang, kami bisa langsung sarapan.

Selesai mandi dan bersiap, aku keluar dari kamar. Ternyata Mas Hanan sudah menunggu di sofa tamu. Dia tersenyum begitu melihatku keluar dari kamar. Aku mendekatinya dan mengajak sarapan, karena kami berdua akan berangkat kerja setelahnya.

"Eum ... Yank, kamu ... siap nggak kalau Mas ajak ketemu Ibu dan keluarga, Mas?" Disela-sela sarapan, Mas Hanan tiba-tiba melempar pertanyaan yang membuatku hampir saja tersedak. Apa katanya? Menemui keluarganya? Apa itu artinya dia akan ... menikahiku?

Aku menatap Mas Hanan tak percaya, ku raih gelas berisi air putih dan meneguknya hingga menandaskan setengah isinya.

"K-ka-mu serius, Mas?" Mas Hanan mengangguk santai. Dia terus menikmati nasi goreng buatan ku, hingga isi piringnya tinggal sedikit.

"Kamu ngajak aku ketemu keluargamu? Yang benar saja, Mas?" Aku mengulangi pertanyaan.

Mas Hanan kembali mengangguk. Nasi gorengnya sudah tandas, ia meraih gelas dan meneguknya hingga habis.

"Mas serius, Yank. Kenapa? Kamu nggak mau?" Aku menggeleng cepat.

"Bukan, Mas. Aku ... cuma nggak nyangka aja secepat ini," sahutku sedikit ragu.

"Bagus, dong? Lebih cepat lebih baik. Supaya kita juga cepat nikah. Mas nggak sabar, Yank. Pengen nikah sama kamu secepatnya," ujar Mas Hanan menggenggam tanganku. Aku tersenyum, aku juga ingin cepat-cepat menikah dengannya, tapi ... bagaimana dengan Aluna? Bahkan jika dikatakan akan bercerai, prosesnya tentu akan lama.

"Eum ... aku juga maunya gitu, Mas. Tapi ... bagaimana dengan pernikahan kamu dan Aluna?" tanyaku.

"Kamu nggak usah mikirin itu. Mas dan Aluna sudah sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Kami juga sudah sepakat tak ada mediasi. Kemudian untuk kelancaran prosesnya, kami berdua juga tak akan menghadiri sidang, agar lebih cepat putusannya." Mas Hanan mencoba meyakinkanku. Aku mendesah pasrah kemudian mengangguk. Aku memutuskan mengikuti saja langkah demi langkah, yang penting bisa sah dengan Mas Hanan.

"Terus gimana ceritanya kamu diusir oleh Aluna, Mas? Seharusnya dia yang keluar dari sana, bukannya itu rumah milikmu?" Aku berusaha mengompori Mas Hanan. Lagian enak sekali Aluna, sudah diceraikan malah dapat rumah mewah. Dari pada rumah itu untuknya, lebih baik Mas Hanan berikan padaku saja.

"Rumah itu memang milik Aluna, Yank. Mas nggak ada turut serta dalam rumah itu. Rumah itu ... pemberian orang tua Aluna setelah kami menikah," ungkap Mas Hanan mengejutkanku. Aku hanya bisa terdiam mendengarnya, apa Aluna anak orang kaya? Sampai mereka bisa memberikan rumah semewah itu padanya?

"Kamu tenang saja, Yank. Setelah nikah nanti, kita bisa tinggal disini dulu, sambil menabung untuk beli rumah." Mas Hanan menambahkan. Aku hanya mengangguk pasrah, semangatku tiba-tiba saja menghilang pagi ini. Padahal aku sudah menghayal akan tinggal di rumah itu, kalau bisa akan membawa Ibu dan Bapak turut serta.

"Nanti sore Mas jemput, ya? Kita ke rumah Ibu," katanya lagi.

Aku hanya mengangguk, setelahnya cepat-cepat ku habiskan sarapanku, dan segera berangkat bersama Mas Hanan.

Keadaan kantor tempatku bekerja sudah ramai saat mobil Mas Hanan berhenti didepannya. Aku segera turun setelah mencium punggung tangan Mas Hanan. Lelaki itu kembali melajukan mobilnya, jarak tempat kami bekerja tak terlalu jauh.

"Wih, kayaknya ada yang baru belanja lagi, nih!" Sella teman satu ruangan ku berseru menggoda.

Aku tersenyum menanggapi. Segera ku gandeng tangannya dan berjalan menuju ruang kerja kami, tak lupa Sella bertanya kapan aku membelinya. Tentu saja dengan berbangga diri aku menceritakan semuanya.

"Mas Hanan itu sudah mau cerai dari bininya," kataku memberitahu. Sella langsung melepas gandengan tanganku, langkah kakinya pun terhenti hingga aku juga ikut berhenti karenanya. Aku lupa, Sella tak pernah tau jika Mas Hanan adalah laki-laki beristri.

"Ka-kamu gila? Maksudnya gimana? Jangan bilang kalau selama ini kamu itu jadi selingkuhan suami orang, Nay!" Orang-orang disekitar kami langsung menoleh saat mendengar ucapan Sella. Aku memukul lengannya, kesal karena perempuan itu tak bisa menjaga nada bicaranya.

Aku tersenyum kikuk pada semua orang, jelas saja sekarang mereka menatapku penuh curiga. Ah, Sella! Semua ini gara-gara perempuan itu. Salahku juga kenapa bisa keceplosan ngasih tau Sella tentang Mas Hanan.

Segera kutarik tangan Sella dengan sedikit kasar, ingin menjauh dari sana. Kepalang malu aku dibuatnya. Sella benar-benar tak bisa diajak kerjasama.

"Kamu itu apa-apaan, sih, Sel? Ngomong itu pelan aja. Kamu nggak liat orang-orang merhatiin kita?" gerutuku. Sella menggaruk belakang kepalanya yang tertutup hijab.

"Ya, maaf. Lagian gimana aku nggak kaget coba? Kamu itu yang benar saja menjadi selingkuhan? Nggak takut karma kamu?" Kali ini Sella lebih memelankan suaranya.

Aku memutar bola mata, malas sekali mendengar ucapan Sella. Mana ada karma di dunia ini?

"Ngapain takut? Lagian, nih, ya, Mas Hanan itu nggak pernah cinta sama Aluna. Nggak salah, dong, kalau dia mencari perempuan lain yang bisa membuatnya jatuh cinta?" sahutku membela diri. Aku tak ingin disalahkan dalam hal ini.

"Nggak salah. Tapi caranya yang salah. Kalau memang dia nggak cinta sama istrinya, ceraikan, baru mencari pengganti. Ini malah selingkuh, dimana-mana selingkuh itu tetap salah, Nayma." Sella membalas dengan penuh penekanan. Aku hanya mengendikkan bahu tak acuh.

"Dia sudah punya anak belum?" Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Ngapain Sella nanya begitu?

"Tuh! Dia ngakunya nggak cinta sama bininya, tapi, kok, bisa punya anak dari sana? Bikinnya gimana? Pasti nyentuh bininya, kan? Orang kalau nyentuh itu pasti karena sudah ada rasa, Nay! Lagian kamu percaya aja sama ucapan buaya. Ati-ati, ntar kalo sama kamu malah diselingkuhi juga lagi." Aku memukul Sella, enak saja dia ngomong begitu. Mana mungkin aku diselingkuhi?

"Enak aja kamu! Mas Hanan itu cinta sama aku. Nggak mungkin dia selingkuh lah," balasku kesal.

"Selingkuh itu kebiasaan, Nay. Siapa pun nggak bisa mencegah, mau pun ngelarang. Mereka bakal berubah jika dari keinginan sendiri. Sekarang kamu dijadikan selingkuhan, kedepannya siapa tau malah kamu yang diselingkuhi. Itu namanya hukum karma, Nay. Aku cuma ngingetin kamu aja, terserah mau nurut atau enggak."

Sella meninggalkanku. Dia berjalan lebih dulu, sedang aku terpaku disana. Itu tak mungkin, kan? Sella pasti hanya sedang menakut-nakuti ku saja.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Viala La
benar cerai dulu, baru cari pengganti ahhh Hanan
goodnovel comment avatar
Baby Yangfa
bener kata Sella, awas kena karma lho Nay
goodnovel comment avatar
Abigail Briel
sella cerdas
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status