Saat aku berteriak, tiba-tiba mulutku ditutup paksa oleh dia yang kini berada di hadapanku. "Sssttt... ini, Mas, Dwi." Suara itu setengah berbisik di wajahku.Aku langsung terdiam. Lalu memegangi dadaku yang terasa sesak. Rasanya jantung ini hampir copot karena kehadiran mas Dimas yang tiba-tiba seperti maling. Aku segera menurunkan tangan besar itu dari mulutku."Mas Dimas ngapain di sini?" tanyaku kesal."Sssttt... jangan keras-keras. Nanti kedengaran mama."Aku menghela napas. Setidaknya yang menerobos kamarku seperti ini adalah suamiku sendiri. Bukan orang asing atau maling yang ingin berbuat jahat pada keluarga kami."Maaf, kalau Mas bikin kamu kaget.""Iya, tapi mas Dimas ngapain tengah malam begini masuk kamar Dwi?" Aku mulai menurunkan volume suaraku.Siluet dari wajahnya seperti gelagapan. Dengan cahaya yang minim aku dapat melihat bahwa dia yang sedang gugup. Hatiku bergetar. Apa jangan-jangan dia ingin meminta haknya sebagai seorang suami?Ada perasaan takut di hati ini. T
Aku langsung mengambil posisi memunggunginya. Tak mau lagi menoleh dan melihatnya sedang terlelap. Entah kenapa, ada sesuatu yang aku rasakan di dalam hati. Hal yang tidak aku rasakan saat tidur sendiri di kamar ini.Malamku kali ini terasa aman dan juga... nyaman.*Aku dan mama sudah duduk di ruang makan. Tak berapa lama mas Dimas turun dengan rambutnya yang wangi aroma shampo. Saat aku bangun tadi, mas Dimas masih terlelap. Namun saat aku keluar dari kamar mandi, mas Dimas sudah tidak ada lagi. Dia kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Mas Dimas memandangku sekilas, lalu duduk di sampingku. Ada yang berbeda dari pandangannya. Dan entah kenapa itu membuatku merasa tersipu.Tapi akan lebih malu lagi jika mama mengetahui tentang kejadian malam tadi. Bisa saja mama berpikir yang bukan-bukan tentang kami. "Rumah ini terasa sunyi sejak papa kalian nggak ada." Aku dan mas Dimas serempak menoleh ke arah mama.Ikut merasa sedih atas ucapan mama yang memang ada benarnya itu."S
Pov Author.Dwi memandang Arya penuh tanya. Wanita itu heran, ada apa dengan pria itu hari ini. Sikapnya aneh. Seperti anak kecil yang sedang merajuk karena tidak diberi sesuatu."Sejak awal kan Mas Arya tahu, kalau Dwi dan Mas Dimas itu suami istri. Terus salahnya di mana?" tanya Dwi heran."Bukannya kamu bilang akan bercerai dari Dimas?""Iya, tapi kata mama tunggu selesai seratus hari almarhum papa.""Tapi....""Tapi kenapa, Mas?""Soal Dimas keramas tadi pagi....""Mas Arya ngomong apa sih? Keramas ya keramas aja. Sama sekali nggak ada hubungannya sama Dwi!" Dwi sudah mulai menangkap ucapan dari Arya. Arya pasti berpikir, kalau Dimas baru saja keramas karena habis melaksanakan hubungan suami istri dengan Dwi. Dimas sengaja melakukannya untuk memanas-manasi Arya. Agar pria itu kehilangan harapan dan tak berani lagi mengganggu Dwi."Kalau begitu, Dwi pamit dulu ya, Mas?" Dwi segera pamit setelah mendapatkan tanda tangan dari Arya. Tak ingin berlama-lama. Takut kalau karyawan lain
Dia juga jadi tak punya hak untuk marah di hadapan karyawan yang lain saat istrinya dibawa pergi pria lain.Semua orang di kantor sudah mengenal Lena meski tak secara langsung. Dan mereka tahu, bahwa Lena lah calon istri dari bos mereka. Hingga jika dia mengakui Dwi sebagai istri, maka imagenya akan buruk sebagai seorang suami yang berselingkuh. Juga Dwi yang akan merasa malu.Dimas tak punya pilihan lain selain bersabar. Dia harus mendapatkan hati istrinya secara perlahan.Dengan langkah tanpa semangat, Dimas kembali ke ruangannya. *Sore hari tiba. Ponsel Dimas berdering. Ada nama Lena di sana. Dimas benar-benar muak karena gadis itu terus menerus menghubunginya. Lena tetap tak terima kalau Dimas sudah memutuskan hubungan dengannya.Dimas memilih mengabaikannya dan membereskan tas kerjanya. Kemudian keluar ruangan untuk segera pulang."Ayo pulang!" Dimas berhenti di meja Dwi yang juga telah bersiap-siap.Dwi mengangguk. Tak ingin lagi mengulang kembali kejadian kemarin. Bagaimanapu
Keesokan harinya Dwi tidak melihat tanda-tanda kehadiran Arya di kantor. Sepertinya apa yang Dimas ucapkan tidak main-main."Pak Arya tidak masuk, Dwi. Katanya sakit." Salah seorang rekan memberi tahu.Dwi merasa bersalah. Tahu bahwa Arya sakit karena alergi kacang yang mereka makan kemarin.Saat siang, Dwi mengetuk pintu ruangan Dimas."Masuk!" Terdengar suara perintah dari dalam sana.Dengan hati-hati, Dwi membuka pintu dan memasuki ruangan yang nyaman itu. Dimas yang sedang mengecek email-email di laptopnya terkejut. Tak menyangka kalau istrinya akan datang mengunjunginya."Dwi? Udah mau makan, ya?" Dimas langsung melirik arloji di pergelangan tangannya. Dan benar saja, hari sudah siang. Jam makan siang telah datang."Mas Arya benaran sakit, Mas. Pulang kerja nanti, Dwi mau minta izin menjenguk Mas Arya." Dwi langsung pada maksud dan tujuannya."Mas Dimas nanti nggak usah nyariin Dwi. Dwi nggak kabur lagi seperti kemarin."Hati Dimas yang tadinya sudah merasa senang, kini kembali m
Meski tadinya dia mengatakan pada mamanya sudah putus, tapi akhirnya suaminya itu kembali meminta pada mamanya agar merestui kembali hubungan dia. Dengan begitu Dimas bisa memberikan cucu yang sangat di harapkan oleh mamanya.Dwi seperti tak punya harapan lagi. Jadi satu-satunya jalan adalah dengan menjaga jarak dari pria yang masih sah menjadi suaminya itu."Apa yang kamu lakukan, Dimas?" Tiba-tiba pintu terbuka. Dan Lena sudah masuk mendekati mereka.Dwi langsung menepiskan tangan Dimas. Dia tahu, apa pun yang dia lakukan, Dimas pasti akan lebih membela Lena.Dwi menatap tajam ke arah wanita itu, lalu segera keluar dari ruangan Dimas. Dibantingnya pintu untuk melampiaskan kekesalannya.Hatinya ingin menangis. Tapi sangat rugi baginya untuk menangisi pria pengkhianat seperti Dimas.*"Mau apa lagi kamu ke sini?" Dimas langsung bersikap ketus pada Lena. Dia merasa begitu marah karena Dwi akan kembali salah paham padanya. "Apa-apaan kamu, Dim? Ngapain kamu tadi megang-megang dia? Kam
Dwi menatap kembali wajah Dimas. Masih tidak bisa percaya dengan ucapan pria itu. Bisa-bisanya laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya itu melakukan negosiasi dengannya.Apakah itu sungguhan, atau sebuah candaan. Atau mungkin sebuah jebakan agar Dwi terpancing, lalu dengan mudah dapat disalahkan kembali oleh suaminya itu. Dimas bisa saja memutar balikkan fakta yang ada. Menuduh, bahwa Dwi lah yang memiliki afair dengan pria lain hingga sudah sepantasnya dia ceraikan.Bagi Dwi, Dimas merupakan seseorang yang pandai bersilat lidah dan pembohong besar. Dwi tak mau lagi percaya pada ucapannya.Kali ini, Dwi tidak akan terperangkap dalam rencana Dimas. Dwi tetap akan menuntut cerai dengan kasus perselingkuhan. "Ayo! Tunggu apa lagi?" tegas Dimas."Dwi nggak mau! Kenapa nggak makan sama Lena aja tadi? Mau pencitraan di depan Dwi? Maaf, Mas. Dwi udah nggak peduli. Dan jangan harap Dwi masih mau makan bareng mas Dimas!" Dwi berucap tegas.Dimas tampak kecewa. Dia bisa melihat sorot a
"Bukankah orang-orang mengaggap kita ini kakak adik? Kamu sendiri yang mengakui Mas sebagai kakak kamu. Jadi, Mas berhak merangkul dan menunjukkan sikap Mas sebagai seorang kakak!"Dimas tak lagi peduli. Dia kembali menarik Dwi dalam rangkulannya. Dia benar-benar menginginkan Dwi di sisinya saat ini. Meski harus mengakuinya hanya sebagai seorang adik.Dwi ingin berontak, tapi Dimas bersikeras dan tak mau melepaskan."Nurut! Atau Mas bongkar sekalian identitas kita."Hish!Dwi mengentakkan kaki dengan kesal. Tak bisa lagi berbuat apa-apa. Kini dia merasa seperti seorang tawanan di film perang.Dimas kembali tersenyum menang. Meski dengan cara yang jahat, akhirnya pria itu punya kesempatan untuk memeluk istri kecilnya itu.*"Kamu ini, sudah tahu alergi kok makan kacang sih, Arya!" Sonia memarahi anaknya yang sedang terbaring di balik selimut di atas tempat tidur.Arya hanya diam. Tak mungkin dia mengaku pada mamanya bahwa semua dia lakukan hanya demi bisa makan berdua dengan Dwi. Jika