Setiap kali berdebat dengan Hani, maka Damar akan kesal sendiri. Sepertinya, dia selalu punya kata-kata yang bisa mematahkan argumen Damar. Namun, rasa penasaran di kepala Hani menuntut untuk selalu melontarkan pertanyaan. Terkadang sampai Hani kesal, karena mungkin suasana hatinya yang tak sinkron Akibatnya, Damar akan marah dan cepat sekali tersulut emosi."Harusnya kita ke Villa saja, Mas."Damar sekilas menatap Hani. " Gak usah protes. Nikmati saja yang ada, kalau tak suka turun saja." Bentaknya membuat Hani merasa kesal. "Maksudku, bukan masalah bagus. Tapi, aku 'kan suka pemandangan indah. Mas," sahutnya lirih. "Gak usah rewel.""Ish! Selalu begitu," desis wanita itu. "Sudah kubilang, aku hanya akan meeting. Bukan dalam rangka liburan bersenang-senang.""Tapi 'kan ...."Hani menggantung ucapan. Sadar kalau ucapannya, tidak akan di tanggapi oleh Damar. "Tapi apa? Kalau merasa tak nyaman, turun.... ""Eh, bukan begitu. Ya ... ya sudahlah, aku menurut saja."Sebenarnya, Hani se
"Rum ...." Panggil Levin. "Eh, sudah pulang. Mas."Arum membawakan tas milik. Levin. "Terima kasih buat buketnya, Mas.""O, buket. Buket apa?"Arum terkejut dan sambil menunggu ucapan suaminya. mengamati wajah terkejut dengan dada berdebar-debar."Lah bukan kah, buket-buket itu dari mu, Mas?" tanya balik Arum. "Coba sini, lihat."Levin tersenyum. Lalu mengajak Arum duduk di kursi, lalu mengamati buket bunga itu. "Enggak mungkin kan, dari Damar. Sayang."Arum menautkan kedua pundaknya. "Entahlah...." Arum semakin penasaran dibuatnya. Bagaimana apakah ini dari kakaknya Elang. Tapi rasanya tak mungkin karena Arum. Sangat percaya dengan sikap Elang yang begitu memegang teguh prinsip. "Ternyata bener, kamu deket sama Elang atau mungkin Damar?""Kok gini, Mas?" Nada Arum bergetar pelan."Apa! Benar kan?"Arum menghela napas. Arum benci saat ia menatap Arum dengan raut penuh dengan kecurigaan. "Astagfirullah ... kau menuduhku, Mas.'"Ya, kenapa? Kamu sendiri, kan, yang selalu bilang, ak
Sopir mengantarkan mereka berdua perempuan cantik berbeda usia itu ke alamat Elindra florist sudah di tangan. Toko bunga yang mengirim bunga kemarin. Mobil berbelok di parkiran toko bunga itu, mereka berdua turun dan memilih bunga. Sembari menunggu waktu luang karena pengunjung toko bunga ini sangat ramai sekali. Aroma wangi bunga-bunga ini menyambut saat Arum masuk ke dalam toko. Begitu sejuk juga bunga-bunga yang begitu fresh tentunya. Seorang pegawai pria itu tersenyum, lalu menghampiri, ke arah Arum juga mamanya. "Pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Sapanya wanita cantik itu ramah."Iya, saya pesan bunga Lili.""Baik, di sebelah sana, Mbak.""Maaf, Mas. Bisakah saya bertemu dengan pemilik toko ini." Arum berusaha bicara dengan hati-hati."Oh, bisa. Sebentar ya, saya panggilkan.""Baik."Lelaki itu segera masuk ke dalam. Ke ruangan yang terlihat wanita cantik sedang sibuk menulis. Arum menunggu sambil mengamati sekeliling dengan dada berdebar-debar. Apakah Elang ataukah Damar.
Rongga dada Arum kembali terbakar. Dengan kesedihan, ia menghabiskan satu porsi bakso hangat, bahkan saat ini ia tak pernah bisa menyingkirkan bara di dalam dadanya dengan apa yang terjadi saat ini. Arum tak percaya ini, saat senyumnya lagi-lagi berputar di kepala. Tak pernah terbayang bahwa kenangan indah itu, kini menjadi hal paling menyakitkan."Kita lihat dulu, Rum. Bagaimana sikap Levin.""Arum takut, apa sehina ini Arum. Hingga beberapa kali harus tersakiti lagi.""Hus ga boleh ngomong begitu, sayang! lagian kalian belom menikah ini.""Mama yang akan turun tangan, Rum. Maaf jika Mama dan Papa memaksamu untuk menikahi, Levin. Nak. Mama pastikan akan membongkar semuanya."Arum mengangguk. Di luar hujan turun, mereka mengambil payung lalu melangkah hingga tiba di dekat mobil. Mereka masuk dan memberitahukan sopir untuk pulang ke rumah. Dari balik kaca yang ditimpa rintik hujan, Arum masih berpikir tak mengerti. Sementara Bu Fatma mengambil ponsel dari tas kecil. Dan menghububgi
"Kami pulang dulu ya Naura, kapan-kapan jika kangen mainlah ke rumah, Tante ya.""Emangnya boleh, Tante?""Ya boleh dong, rumah Tante terbuka untukmu sayang.""Terima kasih, Tante.""Iya sama-sama."Elang tersenyum menatap wajah ayu Arum, entah saat ini hatinya penuh dengan kebahagiaan. Setidaknya ia bersyukur bisa melihat senyum Arum lagi. Mencintai tak harus memiliki, bukan. Terkadang, Elang menertawakan dirinya sendiri atas segala kenaifannya. Kenapa ia tidak memperjuangkan cintanya pada Arum dan hanya pasrah pada keadaan yang membuatnya terjerumus dalam pernikahan yang konyol dengan Zhia. Sering kali cinta yang ia punya membuat logikanya tak dapat mencerna, saat ini hanya ada sesal yang menggumpal di dalam dadanya. Hanya bisa melihat tanpa bisa memiliki. Lelaki tampan itu menghela napas, sesekali jemarinya mengelus rambut putrinya dan menatap wajah cantik itu. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengurai sesak yang menyiksa dadanya."Mas," panggil Arum pelan."Eh, iya."
Bu Fatma mengangguk dan memberi tahu Elang. Sementara Arum mengambil jaket dan jilbab instannya memakai flatshoes dan tas kecil. Ia tahu jika sang Papa, mengetahui sesuatu. Mobil keluar dari rumah mewah milik pak Dibyo. Semua tegang dan di dalam mobil begitu hening. Seperti mimpi buruk bagi Arum. Ya semoga saja ini mimpi buruk, seberapa hinakah Arum disakiti seperti ini. Pantaskah dan adilkah ini bagi Arum. Entahlah ... sepertinya Levin menghilang tanpa jejak. Bu Fatma menengakan Arum, wanita paruh baya itu mengusap wajah putrinya yang keluar keringat dingin. Dalam hati Bu Fatma menjerit, tak sanggup melihat putrinya tersiksa seperti ini. Hanya penyesalan yang dirasakan sang mama. Mobil melaju cepat hingga sampai ke lokasi rumah mewah bercat abu-abu dan sekilas terlihat indah. Mereka turun dan Elang sudah di depan dengan mobilnya bersama temannya. Mereka masuk, pelan-pelan mereka berjalan, terlihat begitu sepi. Namun orang yang di sewa pak Dibyo mengirimkan sebuah vidio mereka sedan
"Anakku.... ""Iya, ma. Ini Angga," jawab pemuda itu mendekat. "Astaga ... ini Mas Angga, yang menolong Arum waktu itu. Pemuda itu mengangguk. " Iya, Rum. Akulah kakak kandungmu.""Maksud Papa, jadi papa yang atur semuanya?" Lelaki paruh baya itu mengangguk. "iya Papa tidak benar-benar meninggalkanmu Rum, demi keselamatanmu, Papa selalu menjagamu juga Elang dari jauh. Namun entah Levin sama Zhia. Papa kecolongan." Jelasnya pasa Arum dan istrinya. Arum hanya bisa menangis, karena Angga pernah menolongnya beberapa kali. Arum memeluk kakaknya dengan erat, tak tahu harus bersedih atau apa yang jelas ia sangat bahagia. Begitu pula sang mama menangis dan memeluk tubuh pemuda itu. "Elang, bawalah Naura ke sini untuk sementara waktu. Percayalah Naura aman disini."Sejenak Elang berpikir dan mengangguk. "Baiklah, Pak.""Lebih cepat lebih baik. Jangan sampai kau menyesal kehilangan putrimu," jelas pak Dibyo. "Baik, Pak."Elang menelepon rekan kerjanya secepat mungkin ia menyuruh Bibi juga
Elang menikmati sebatang rokok yang menyala. Langit terlihat mendung, udara masih terasa dingin dan lembab karena hujan dan gerimis yang baru saja mereda. Di taman rumah Arum ia ditemani secangkir kopi hangat juga sebatang rokok ditangan. Namun rasa sesak merelungi jiwanya. Elang menghembuskan asap rokoknya ke udara. Membuat sosok yang baru saja mendekat ke arahnya terbatuk."Elang...." Elang menoleh dan mematikan rokok dan menarunya di dalam asbak. Rengga berjalan menghampiri Elang. "Eh, mas Angga," sapa Elang, buru buru bangkit dari senderan di kursi. Angga yang melihat Elang sedih, lalu ia ikut duduk di sampingnya. "Kenapa, sedih begitu?" celetuk Angga. "Iya, aku lagi tidak baik-baik saja," sahut Elang menatap Angga sekilas lalu kembali lagi menunduk. "Kuatlah demi, Naura." "Iya, kau benar, Mas."Hening, mereka terbungkam dan terdiam sejenak menikmati embusan angin selepas hujan. Menikmati dengan perasaannya juga pikiran mereka masing masing. Elang tak tahu harus berkata apa