BAB 1
Tiba-Tiba Manis
“Fi, Ibu dengar, kalian sudah pembagian warisan, ya? Jadi, kamu dapet berapa, Fi?”
Pagi-pagi sekali ibu mertuaku mengejutkan. Sosoknya sudah berdiri di belakangku. Aku syok, sebab tumben sekali dia mau menimbrung di dapur ketika aku tengah sibuk menyiapkan sarapan.
“Eh, Ibu.” Aku sedikit gugup.
Senyum Ibu mengembang. Beliau tiba-tiba menyambar sutil yang kupegang. Aku terkesiap penuh tanya akan sikapnya yang aneh tersebut.
“Kamu masak nasi goreng, Fi? Ya ampun, wanginya enak banget, lho. Ibu bantu, ya?”
Wanita 49 tahun yang mengenakan daster batik warna cokelat itu mengembangkan senyum. Tangannya kini lihai bermain sutil di atas wajan. Sekali lagi, aku heran.
“Tumben udah bangun, Bu?” tanyaku pelan.
Kupandangi mertuaku yang biasanya tidak banyak bicara itu. Setengah tahun jadi menantunya, baru sekarang dia mau ikut terjun ke dapur. Sikapnya jadi berubah drastis semenjak aku datang kemarin sore dari kampung halamanku.
“Iya, Fi. Ibu pengen bantuin kamu. Kasihan kalau kamu capek-capek sendirian,” sahutnya.
Senyum Ibu semringah. Perempuan yang tubuhnya lebih pendek dariku itu menoleh sekilas. Aku makin kaget, karena biasanya, Ibu cuek dan jarang mengembangkan senyuman untukku.
“Nggak kok, Bu. Aku nggak capek sama sekali. Biasa aja.”
Aku yang jadi tidak enak sendiri. Maklum. Dari awal menikah, aku dan Mas Rian masih menumpang di rumah kedua orangtuanya.
Perekonomian kami juga masih pas-pasan. Aku seorang ibu rumah tangga yang belum memiliki momongan. Sedangkan suamiku, Mas Rian, bekerja sebagai kurir di sebuah perusahaan ekspedisi barang.
Penghasilan Mas Rian memang sedikit di atas UMR. Sebenarnya lumayan kalau sekadar untuk menanggung hidup kami berdua. Tetapi sayangnya, Mas Rian harus membantu kuliah adik bungsunya yang baru semester tiga tersebut.
Mertua juga tidak membolehkan kami pisah rumah. Alasannya supaya hemat. Namun, semua itu harus kubayar dengan seabrek pekerjaan rumah tangga yang secara tidak langsung dilimpahkan kepadaku.
Aku sih, tidak mengeluh. Sikap Ibu yang jarang mengajakku mengobrol juga tidak kumasalahkan. Hanya saja, hari ini anehnya sikap Ibu begitu manis dan sangat mencolok hatiku.
“Kamu pasti capek, Fika. Perjalanan kemarin jauh, kan? Makanya, pas kamu datang sore kemarin itu, Ibu sudah siapkan semua makanan,” jawab Ibu seraya masih menggoreng nasi di dalam wajan.
“Ibu juga nggak izinin kamu sentuh-sentuh cucian dulu. Yang kerjain tadi malam semuanya Bapak. Nah, pagi ini, Ibu juga mau bantuin kamu bikin sarapan supaya kamu habis ini bisa istirahat.”
Kerlingan mata Ibu yang sangat lembut membuat aku tersentuh. Ibu mertuaku, sejak awal kami menikah, memang jarang bercengkerama denganku. Beliau lebih sering menghabiskan waktunya di kamar atau kumpul-kumpul dengan teman arisan maupun kawan pengajiannya.
Hubungan kami tidak romantis. Tidak juga dilematis seperti menantu-mertua kebanyakan yang banyak dramanya. Terkesan datar sekaligus dingin.
Apakah semua karena ayahku yang telah meninggal dunia hampir dua minggu yang lalu? Selama dua minggu itu, aku pulang ke kampung halaman untuk mengurusi segala tetek bengek acara tahlilan almarhum Ayah. Maklum, aku anak tunggal. Jika bukan aku yang mengurus, lantas siapa lagi?
Ayah adalah satu-satunya orangtua yang kumiliki. Ibuku sendiri sudah wafat saat aku kelas tiga SD. Ayah tidak menikah lagi, hingga di akhir hayatnya.
“Makasih ya, Bu,” ucapku pada Ibu sambil mengulaskan senyuman lebar.
Ibu mertuaku sudah selesai memasak nasi goreng. Beliau gegas menyalin nasi tersebut ke dalam wadah yang sudah kusiapkan. Saat aku ingin membawanya ke meja makan, beliau malah menyuruhku duduk manis saja di kursi makan.
“Kamu nggak usah capek-capek, Fi! Kamu duduk aja pokoknya! Sana, gih!”
Aku senang sekali melihat perubahan sikap Ibu. Di tengah perasaan duka lara yang masih melanda hati karena kehilangan sosok Ayah, kini perlahan suasana hatiku pun membaik sebab sikap manis Ibu. Ternyata dugaanku salah kepada Ibu, beliau akhirnya tampak menyayangiku seperti doa-doaku selama ini di setiap sujud.
Aku pun duduk di kursi makan. Tak lama, Mas Rian keluar kamar. Suamiku sudah rapi dengan kaus berkerah warna merah dengan logo perusahaan di bagian dada kanannya.
“Fika, pagi ini masak apa?” tanya Mas Rian seraya duduk di sebelahku.
“Nasi goreng, Mas. Ibu yang masakin tapi,” ucapku penuh senang.
Alis tebal Mas Rian langsung bertaut. Ekspresi wajahnya entah mengapa malah berubah tegang. Pria itu kini memperhatikanku serius.
“Lho, kok, Ibu?” desisnya bernada kurang senang.
“Lho, memangnya kenapa sih, Yan? Apa salahnya kalau ibumu sekali-kali masak buat kalian!” celetut Ibu sambil mendatangi kami ke meja makan.
Beliau langsung meletakkan wadah mangkuk yang cukup besar ke tengah-tengah meja kayu bertaplak batik warna hijau. Senyuman di wajah ayu milik Ibu terus mengembang. Wanita yang biasanya selalu bangun siang itu, tak kusangka sudi juga menyiapkan anak dan mantunya sarapan.
“Aduh, ini kan, tugasnya Fika, Bu. Fika nggak ada kerjaan di rumah, masa masak sarapan harus dikerjain sama Ibu juga?”
Kalimat Mas Rian seperti sangat tak menerima keputusan Ibu. Aku terdiam. Merasa bersalah juga, sebab apa yang Mas Rian katakan itu ada betulnya juga.
“Maafkan aku, Mas,” gumamku sambil menunduk lesu.
“Lain kali jangan begitu ya, Fi,” tegus Mas Rian lembut sambil merangkul tubuhku.
Aku mengangguk pelan. Kutatap wajah suamiku yang kukenal saat kami sama-sama bekerja di perusahaan ekspedisi yang sama. Dia sebagai kurir, sedang aku sebagai admin yang bertugas mencatat setiap barang yang masuk dan keluar ke warehouse.
Bukan mauku tak bekerja lagi seperti ini. Namun, keadaanlah yang memaksa. Kami tak diizinkan untuk bekerja di satu tempat yang sama karena kebijakan perusahaan yang melarang.
Sudah cari-cari pekerjaan di luaran sana, tapi sayangnya banyak yang tidak menerima perempuan yang sudah menikah. Sungguh menyesakkan hati. Itulah mengapa, aku tidak apa-apa ketika disuruh bantu-bantu di rumah mertuaku, karena sadar diri kami masih menumpang.
“Udah, Yan! Nggak usah dipermasalahkan. Nah, kamu tadi belum jawab pertanyaannya Ibu lho, Fi!”
Mertuaku duduk di depan kami. Beliau menatap dengan wajah yang tegang dan menelisik. Aku pun jadi bertanya-tanya, ada apa gerangan.
“Pertanyaan apa ya, Bu?”
“Masalah warisan. Kamu udah dapat bagian kan, Fi? Kamu kan, anak tunggal. Otomatis, semua peninggalan ayahmu jatuh ke tangan kamu, kan?”
Ibu menopang dagungnya dengan kedua tangan. Dia memperhatikanku tanpa sedikit pun senyum. Mendengar pertanyaan Ibu, entah kenapa hatiku tiba-tiba saja tak nyaman.
“W-warisan?” gagapku.
“Iya, warisan. Rumah kalian di kampung itu kan, tanahnya Ibu lihat cukup luas, lho. Kamu udah pegang sertifikatnya?” Ibu terus mencecarku dengan banyak pertanyaan.
Aku terdiam. Mertuaku belum tahu jika rumah dan tanah yang ditempati oleh Ayah, adalah harta warisan milik mendiang nenekku yang masih belum dibagi oleh adik beradiknya Ayah. Ayahku bukan anak tunggal, melainkan anak pertama dari empat bersaudara.
Tiga saudara Ayah yang lainnya memang telah memiliki tempat tinggal masing-masing, kecuali ayahku sendiri. Saat Ayah meninggal, rumah itu rencananya akan dijual dan hasil penjualannya bakal dibagi-bagikan untuk ketiga saudara Ayah yang masih hidup. Aku juga akan mendapatkan bagian dari haknya Ayah, tetapi rumah itu sampai sekarang belum juga ada yang menawarnya.
“Kalau menurut Ibu, mending rumah dan tanah itu buru-buru dijual. Atau digadai sertifikatnya, Fi. Ibu soalnya lagi butuh banget biaya buat renovasi rumah kita!” Ibu mencerocos lagi, tanpa mau mendengarkan jawabanku yang masih tersimpan di tenggorokan.
“Ya, sisa renovasi itu kalau cukup sih, buat kita DP mobil. Hehehe.”
Dadaku mencelos. Apa? Renovasi dan DP mobil?
Ibu bercanda sepertinya. Dari ucapan beliau, terkesan bahwa mertuaku sangat ingin menguasai harta tersebut. Astaghfirullah, apakah ini alasan dari sikap manisnya?
“Bu, maaf. Itu bukan rumah Ayah, tapi itu rumah milik bersama yang harus dibagi-bagikan. Jadi, aku tidak ada kuasa penuh untuk menjual atau menggadainya.”
Mata Ibu membeliak besar. Suamiku yang tengah menyendok makanan pun langsung terbatuk-batuk. Tak kuduga, raut wajah ibu mertuaku pun langsung berubah masam.
“Apa? Bukan punya ayahmu? Jadi, selama ini kamu menipu kami, Fi?!”
Menipu? Ibu bilang aku menipu? Ya Allah, ada apa dengan mertuaku?
Apa jangan-jangan … suami dan mertuaku hanya ingin memanfaatkanku saja?
BAB 2Aku Tak Bodoh “Menipu? Menipu bagaimana sih, maksudnya, Bu?” Aku bertanya kepada Ibu sambil beristighfar dalam hati. Mas Rian yang semula terbatuk-batuk itu pun tiba-tiba saja mencengkeram lenganku. Ketika kutoleh, wajah Mas Rian sudah merah padam. “Kenapa kamu nggak pernah cerita sebelumnya, Fi?” Pertanyaan Mas Rian bagai pecut yang mencambuk hatiku. Suami yang kukenal selama ini tak begini harusnya. Mana sosok Mas Rian yang kerap perhatian dan selalu sayang padaku itu? “Lho, cerita? Tentang rumah dan tanah yang ditinggali almarhum ayahku? Kenapa aku harus cerita masalah kepemilikan rumah itu segala, Mas?” Mas Rian mendecak kesal. Cengkeraman tangannya pun dia lepas dari lenganku. Terdengar helaan napas yang masygul dan berat. “Fika, seharusnya sejak awal kamu ceritakan kepada kami kalau ayahmu ternyata tidak punya apa-apa!” Ibu mertuaku yang selama ini tak banyak bicara, tiba-tiba
BAB 3Bukan Perempuan Bodoh “Kurang ajar kamu, Fika! Dasar perempuan miskin! Nggak tahu diri!” Ibu berteriak nyaring. Wanita yang mengikat rambut hitamnya ke belakang itu mengejar ke arah tempatku berdiri. Tangan Ibu sudah terangkat tinggi. Mertuaku yang berkulit kuning langsat dan berwajah mirip dengan Mas Rian itu pun hendak menampar pipiku. Sayang, tangannya ditahan oleh Mas Rian yang tubuhnya telah penuh tumpahan nasi goreng. “Bu, cukup! Rian mohon, hentikan pertengkaran ini!” Suamiku berteriak di hadapa ibunya. Aku bergeser. Berusaha untuk keluar dari kepungan Mas Rian dan Ibu yang masih sibuk berkelahi. Namun, ruang yang mereka berikan begitu sempit hingga rasanya aku terjepit di antara tubuh keduanya. “Istrimu kurang ajar, Yan! Kamu itu lagian bodoh banget jadi laki-laki! Sudah disiram pakai nasi goreng begitu, masih aja kamu belain!” Ibu tampak sangat emosi. Tubuh ramping Ibu yang memang selalu
BAB 4Selamat Tinggal! Mas Rian tak terima akan sikapku. Tangan pria yang menyembulkan urat-urat berwarna kehijauan itu pun mencengkeram lenganku erat. Tentu saja langsung kutepis kasar. “Lepas!” sergahku berang. “Nggak! Aku nggak mau ngelepas kamu!” bentaknya balik. Mata suamiku yang kerap menatap sendu, kini berubah garang. Manik hitamnya membeliak besar. Seakan aku ini musuh lamanya. “Kalau ternyata aku hanya dinikahi karena kalian mengincar harta warisan, itu nggak bakalan kalian dapat, Mas! Jadi, lepaskan aku sekarang dan biarkan aku pulang ke kampung halamanku!” Aku berteriak nyaring. Tak peduli akan sesakit apa tenggorokanku. Yang penting, beban di dada plong. Mas Rian mendengus. Mimik wajahnya jelas menerangkan betapa geramnya dia kepadaku. Jangan sampai dia main tangan seperti ibunya tadi, pikirku. Kalau sampai dia memainkan tangannya ke tubuhku, jangan salahkan aku
BAB 5Sakit Jiwa “Tega kamu, Fika.” Suara Mas Rian gemetar. Tanpa dinyana, lelaki 24 tahun itu menitikkan air matanya. Meluncur begitu saja kristal bening itu ke pipinya yang mulus. Aku tersenyum. Bukan karena bahagia melihatnya menangis. Namun, ini adalah sebuah senyum yang sama penuh lukanya. “Jangan playing victim, Mas. Tangisanmu tidak akan mengubah apa pun,” desisku eneg. Mas Rian tak menyahut lagi. Buru-buru dia seka air mata di pipinya. Lelaki berkaus merah itu lalu menepis-nepis sisa nasi yang masih menyangkut di pakaian kerjanya. “Makasih sudah memfitnahku playing victim, Fi. Aku tahu kalau aku yang salah. Sedangkan kamu itu manusia suci yang tidak pernah punya salah, apalagi dosa.” Ucapan aneh yang Mas Rian katakan tadi hanyalah sebuah upaya untuk menekanku. Sarkasme dari bibir manismu itu tidak akan membuatku merasa bersalah. Sedikit pun aku tak berniat untuk memaafkan, terlebi
BAB 6Dikejar Setan Aku berlari sekuat tenaga dengan napas yang terengah-engah. Tak kupedulikan lagi tatapan heran orang-orang di sekitar lingkungan rumah mertuaku. Jalanan komplek yang cukup ramai pun, nekat kuterabas dengan sandal jepit yang tapaknya telah menipis. Sekitar lima puluh meter di depan sana, kulihat ada sesosok tukang ojeg berjaket hijau. Pria yang tengah menepi di bahu jalan itu, tampak tengah fokus memperhatikan ponsel di tangan kanannya. Aku berteriak, demi membuat bapak-bapak ojeg online itu menoleh. “Pak! Bapak! Saya mau naik!” pekikku heboh. “Mbak, kenapa lari-larian begitu?” Seseorang di sebelah kananku menegur.Kutoleh, ternyata ibu-ibu yang sering senam pagi Minggu dengan ibu mertuaku. Beliau yang mengendara motor matik dan memelankan laju kendaraannya itu, memperhatikan wajahku bingung. Seingatku, nama beliau adalah Bu Tari.Aku tak peduli. Kupelengosi muka ibu-ibu yang mengenakan daster hitam dan jilbab
“Neng, itu kenapa? Mas yang tadi jatoh?” Bapak ojeg bertanya denganku. Dari nada suara beliau, terdengar sangat resah dan cemas. Kami setali tiga uang. Sama-sama tak tenang, sebab bunyi gedubrak serta pekik jerit di belakang sana. “Nggak tahu, Pak! Nggak lihat. Pak, ayo buruan kabur aja!” pintaku mendesak bapak ojeg. “I-iya, Neng,” gagap bapak ojeg di tengah desauan angin dan hiruk pikuk jalanan yang mulai macet. Untung saja, tak ada yang mencegat kami. Aku pun tidak mampu untuk menoleh ke belakang. Mataku kini terpejam saking takutnya. “Neng, ini kita ke mana?” “Ke kantor JNR yang di jalan Senopati, Pak! Depan supermarket Hari Ini!” Kantor yang kumaksudkan adalah tempat bekerjanya Mas Rian. Pernah menjadi tempat bekerjaku juga. Pasti kalian bertanya-tanya, mengapa aku malah pergi ke sana. Aku ingin menemui Helena. Dia adalah satu-satunya sahabat karibku di kota ini. Kami be
“P-pak Hanan,” gumamku sambil memperhatikan wajah pria berkaus polo warna putih dengan garis-garis biru di bagian dadanya. Pria tinggi dengan potongan rambut caesar haircut itu menekan tombol kunci remotnya hingga terdengar suara ‘tin-tin’ dari mobil bagusnya. Tatapannya sekilas tajam ke arahku. Dia terus berjalan mendekat, membuatku sangat deg-degan. Pak Hanan adalah owner alias pemilik ekspedisi JNR cabang Senopati. Perusahaan JNR adalah perusahaan jasa di bidang pengiriman barang dari dalam dan luar kota, yang bisa dimiliki orang umum dengan membeli waralaba alias franchise-nya. Selain memiliki perusahaan ekspedisi ini, Pak Hanan juga pemilik minimarket franchise yang lokasinya hanya seratus meter dari sini. Lelaki berkulit putih dengan jambang dan jenggot tipis itu menatapku tanpa berkedip. Dia melirikku dari atas kepala hingga ke ujung kaki. Dari ekspresinya, kutebak mantan atasanku itu menganggap aneh terhadap penampilanku.
“Pak, tolong jangan bilang-bilang kalau saya di sini!” mohonku sambil mencengkeram lengan berbulu milik Pak Hanan. Mata Pak Hanan memicing sadis. Pria itu lalu mendelik dan memajukan dagunya ke depan. “Singkirkan tanganmu,” perintahnya cukup ketus. Refleks, aku melepaskan cengkeramanku pada lengannya. Suara dering ponsel milik Pak Hanan masih memekik keras di antara kami. Semakin was-was saja hatiku gara-gara dering nyaring tersebut. Pak Hanan lalu mengangkat telepon dari suamiku. Degupan jantungku langsung keras bertalu. Aku berdoa, semoga Mas Rian tidak apa-apa dan yang terjatuh tadi juga bukan orang lain. “Halo, Rian! Ngapain kamu nelepon saya? Bukannya segera masuk kantor, malah nelepon-nelepon nggak jelas begini!” geram Pak Hanan sampai bola matanya melotot besar. Kugenggam tangan Helena erat-erat. Kami berdua kini saling berpandangan. Sejurus kemudian, keluarlah sosok Dewangga dan Firman dari bilik yang berada