Kabur dari sekolah: checked.
Menggagalkan perjodohan: on progress.
Saat ini, Freesia sudah berdiri di depan pintu lobi hotel tempat restoran untuk acara makan malam perjodohannya berada. Itu pun, hanya dengan memakai kaus longgar warna putih bertuliskan Whatever dan hot pants. Dan ini karena neneknya!
Hanya karena Freesia sudah kabur dari sekolahnya, bukan berarti neneknya berhak mengatur siapa yang akan menjadi pendamping hidup Freesia. Not so fast, Motherf***er!
Uh, kebiasaan baru yang merepotkan di sini. Karena teman-temannya di luar negeri, Freesia jadi terbiasa mengumpat dengan bebas. Setelah belasan tahun dibesarkan dengan penuh etika dan segala macam aturan tata krama, Freesia merasa seolah dia berada di dunia yang berbeda ketika bertemu teman-temannya.
Beberapa dari mereka juga putra-putri konglomerat, tapi mereka tidak dibesarkan seketat Freesia. Dan ketika Freesia pertama bertemu mereka, mereka memperlakuan Freesia seperti anak udik. So f***ing annoying!
Meski hubungan mereka sudah lebih baik setelahnya. Tentunya karena status keluarga Freesia. Dari mereka, juga dari teman-teman Freesia di luar negeri, Freesia beajar mengumpat, hingga akhirnya terbiasa. Bahkan, terkadang ketika suasana hatinya sedang buruk, ia merasa lebih baik setelah mengumpat. Mengumpat adalah cara terbaik untuk meluapkan stres bagi Freesia.
Tentu saja, jika sampai keluarganya tahu, Freesia mungkin akan langsung dikurung dan setiap hari harus kembali mempelajari etika dan tata karma. Lihat saja apa yang mereka lakukan begitu tahu Freesia kabur dari sekolahnya. Mereka langsung berusaha mengikat Freesia dengan perjodohan. Mereka berusaha mengurung Freesia dalam sangkar berkedok pernikahan.
Maka, di sinilah Freesia sekarang. Dia datang untuk menggagalkan perjodohannya. Bagaimanapun caranya. Tadinya, Freesia ingin membayar aktor untuk menjadi kekasih bayarannya. Namun, waktunya terlalu mepet.
Freesia masih di bandara dan baru akan boarding ketika mendengar tentang perjodohan dan jadwal makan malam dengan calon suaminya ini. Begitu Freesia tiba di negara ini, dia langsung pergi kemari. Pun begitu tiba di bandara, Freesia sudah dijemput dan dikawal sampai ke tempat ini.
Freesia yang masih berdiri di depan pintu lobi menoleh ke belakang dan mobil orang-orang neneknya masih di sana. Tak ada jalan mundur dan tak ada waktu ataupun kesempatan untuk menyusun strategi. Jadi, Freesia harus menemukan cara untuk menggagalkan perjodohan itu di dalam gedung hotel ini.
Freesia terus memutar otak ketika melangkah masuk ke gedung hotel itu. Restoran ada di lantai lima. Untungnya, orang-orang neneknya tidak ikut masuk ke hotel itu. Ini adalah kesempatan Freesia.
Freesia pergi ke lift dan menekan tombol ke lantai restoran. Lift itu langsung bergerak ke lantai sepuluh tanpa berhenti. Begitu Freesia turun di lantai restoran, lift lain di sebelahnya terbuka dan seseorang turun dari sana. Seorang pria berpenampilan casual. Celana jeans dan kaus yang tertutup jaket kulit.
Freesia mengecek penampilan pria itu. Rambut hitam pendek pria itu tidak ditata dengan gel dan dibiarkan jatuh begitu saja. Pria itu mungkin masih berusia dua puluhan. Tebakan Freesia, sekitar dua puluh lima atau dua puluh enam.
Ketika pria itu akan melewatinya, Freesia menghadang jalannya. Freesia tersenyum ramah pada pria itu.
“Apa kau akan pergi ke restoran?” tanya Freesia.
Pria itu mengangguk.
“Kau mau bertemu seseorang?” tanya Freesia lagi.
Pria itu menggeleng.
“Apa kau sudah menikah?” tanya Freesia tanpa basa-basi.
Pria itu kembali menggeleng.
“Kau punya kekasih?”
Gelengan lainnya lagi.
Pria ini … jangan-jangan dia …
“Maaf, tapi apa kau … tak bisa bicara?” tembak Freesia. Ia tak punya waktu untuk dibuang. Di depan sana ada jurang yang sudah menunggunya.
“Apa kau ada masalah denganku?” tanya pria itu.
Oh, dia bisa bicara.
“Maaf jika aku menyinggungmu, tapi aku dalam situasi darurat, jadi bisakah kau membantuku?” Freesia kembali meminta.
Pria itu menelengkan kepala. “Kenapa aku?”
“Karena kau … tampak seperti orang baik.” Freesia menyengir. Dan Freesia tak punya banyak pilihan. Meminta staf hotel untuk berpura-pura menjadi kekasihnya akan terlalu mencurigakan.
“Oh, kau tidak bekerja di sini, kan?” Freesia memastikan.
Pria itu menjawab dengan gelengan lagi.
“Baguslah. Kalau begitu, kau bisa membantuku, kan?” pinta Freesia. “Sebagai gantinya, aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan.”
“Apa pun?” tanya pria itu.
Freesia mengangguk. “Apa pun,” tandasnya.
“Dan apa yang harus kulakukan?” tanya pria itu lagi.
Freesia belum sempat menjawab ketika terdengar suara dari pintu kaca restoran,
“Freesia?”
Freesia berbalik dan dilihatnya sosok tinggi pria yang dijodohkan dengannya berdiri di sana. Bramasta Adibrata. Ahli waris Brata Group. Putra sulung keluarga Adibrata yang terkenal dengan ambisinya. Semua orang menyebutnya berani, tapi di mata Freesia, pria itu adalah pria yang penuh ambisi dan keserakahan.
Sosok yang pas untuk menjadi ahli waris grup perusahaan sebesar Brata Group. Tentu saja, pilihan cucu menatu yang sempurna bagi nenek Freesia. Terlebih, Freesia, cucu tunggalnya, tak berbakat dalam bisnis dan manajemen perusahaan, pun tak tertarik dengan itu.
Itu jugalah alasan Freesia kabur dari sekolahnya. Setiap hari, dia selalu tertidur di kelas karena bosan. Ia tak tertarik dengan perusahaan mana pun. Dia hanya ingin hidup bebas seperti teman-temannya. Dia ingin pergi liburan ke mana pun yang dia inginkan. Dan dia ingin mengumpat kapan pun dia ingin.
Untuk itu, langkah kedua Freesia adalah, menggagalkan perjodohan ini. Bagaimanapun caranya.
Freesia menarik napas dalam dan berpindah ke sebelah pria yang entah ia tak tahu siapa namanya di sebelahnya ini. Lalu, Freesia meraih tangan pria asing itu dan menggenggam tangannya.
“Maaf, aku tahu aku tidak seharusnya melakukan ini. Tapi, aku tidak ingin berbohong padamu,” Freesia berkata. “Pria ini adalah kekasihku. Dia adalah satu-satunya pria yang kucintai. Dengan kata lain, satu-satunya jodoh yang kuinginkan dalam hidupku, pria inilah orangnya.”
***
Kekasih? Jodoh?
Allen menoleh pada gadis yang lebih pendek sekitar dua puluh senti darinya itu. Siapa gadis ini? Apa dia sudah gila?
Bagaimana bisa dia menyebut Allen kekasihnya ketika dia tak tahu apa pun tentang Allen? Dia bahkan menyebutkan Allen sebagai jodoh yang dia inginkan.
Allen menunduk dan memperhatikan tangan gadis ini yang menggenggam tangannya. Tangannya lebih kecil dari tangan Allen. Hanya dengan satu genggaman, Allen bisa menutup tangan gadis itu sepenuhnya. Dan rasanya, hanya dengan sedikit tekanan, Allen mungkin bisa menghancurkan tangan ini.
Namun, tangan kecil dalam genggamannya ini terasa dingin. Allen bisa merasakan ketegangannya, keputusasaannya. Allen sudah sering merasakan reaksi seperti ini dari orang-orang yang bertemu dengannya. Namun, selain itu, Allen merasakan satu hal lagi dari gadis ini.
Dari gadis ini, Allen seolah bisa mendengar,
“Aku tidak akan menyerah! Aku tidak akan kalah!”
Dan itu bukan berdasar kesombongan, seperti yang biasa dilihat Allen dari orang-orang yang berpikir bisa menang darinya, tapi berdasarkan tekad. Tekad kuat yang … aneh. Gadis ini tidak ingin kalah. Dia menolak kalah. Dia menggunakan cara apa pun untuk tidak kalah. Bahkan ketika dia berada di tepi jurang dengan pedang terarah padanya seperti ini.
Sungguh. Apa-apaan gadis yang mendadak menjadi jodoh Allen ini? Segila apa dia sebenarnya untuk melakukan hal seperti ini pada Allen?
***
Freesia sudah sampai di base pertama. Saat ini, Freesia, Bramasta, dan pria asing yang mendadak menjadi kekasihnya itu duduk satu meja. Bramasta tampak menatap pria di samping Freesia ini lekat. Jelas dia menghakimi pria ini dari penampilannya.Omong-omong, Freesia bahkan tidak tahu nama pria yang sekarang menjadi kekasihnya ini. Oh, pria yang malang. Dia tiba-tiba harus menjadi kekasih Freesia dan dihakimi oleh pria sombong yang duduk di depan Freesia ini.“Jadi … dia adalah kekasihmu?” Bramasta menyelesaikan sesi penghakimannya pada kekasih palsu Freesia dan akhirnya menatap Freesia.Freesia tersenyum semenyesal mungkin. “Maaf,” Freesia berkata. “Aku benar-benar menyesal karena harus mengacaukan perjodohan kita seperti ini.”Bramasta menggeleng. “Tidak,” sahutnya. “Sama sekali tidak kacau. Kau hanya punya kekasih. Itu tak mengubah apa pun.”Freesia berusaha untuk menahan umpatannya. F***ing crazy. Apa yang dipikirkan pria ini?“Apa … maksudmu?” tanya Freesia hati-hati.“Kau tahu apa
“Lalu, apa yang kau inginkan?” tanya Freesia.“Kau.”Jawaban Allen itu membuat Freesia melotot marah. “Kau … jangan kau pikir kau bisa merendahkanku hanya karena kau sudah membantuku! Aku tidak sudi …”Kata-kata Freesia terhenti oleh suara denting lift yang sudah tiba di lobi. Pintu lift terbuka dan Freesia melihat orang-orang neneknya menunggu di lobi. Sial!Freesia menekan tombol menutup, membuat pintu lift kembali tertutup. Lalu, Freesia menekan tombol lantai teratas gedung itu. Lift kembali bergerak ke atas dan Freesia bergerak ke belakang hingga punggungnya bersandar di dinding lift. Saat itulah, sesuatu jatuh dari bahunya.Freesia menunduk dan melihat jaket kulit yang tadi disampirkan Allen di bahunya mendarat di lantai. Ketika Allen tiba-tiba membungkuk ke arahnya, Freesia refleks memukul kepala pria itu ketika mendapati wajah pria itu berada tepat di depan pahanya.“Apa yang kau lakukan?! Dasar Mesum!” maki Freesia.Allen tidak lantas berdiri dan berlutut dengan satu kaki di s
Freesia tersentak ketika menyadari dirinya tertidur. Ia menatap sekeliling. Gelap. Sekelilingnya gelap. Freesia menoleh ke samping, tapi tak ada orang di sana. Di mana Allen?Jangan bilang … dia meninggalkan Freesia di sini? Tidak. Jangan bilang, ini tempat pertemuan pria itu dengan orang yang akan membeli Freesia? Apa dia benar-benar akan menjual Freesia?Suara ketukan dari kaca jendela depan membuat Freesia menatap ke depan dan ia bisa melihat Allen yang melambaikan tangan sembari tersenyum padanya. Pria itu lantas menunjuk telepon yang menempel di telinganya.Freesia membuka pintu mobil dan turun. Didengarnya Allen berkata,“Ya. Karena ini situasi tak terduga, kalian lanjutkan untuk plan B-nya.”Lalu, Allen menutup telepon dan menghampiri Freesia.“Kenapa kau keluar? Di sini dingin dan kau hanya memakai kaus tipis,” ucap pria itu.“Aku yang seharusnya bertanya,” balas Freesia. “Kenapa kau keluar? Kau bahkan tidak membangunkanku ketika aku tertidur. Apa aku sudah lama tertidur?”“S
Setelah keributan di halaman depan ketika Freesia baru tiba di rumah Allen tadi, ia diantarkan ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Allen, sementara kamar Lily ada di sebelah kamar Allen yang lainnya. Freesia berusaha menenangkan diri dengan berendam air hangat. Ia berpikir panjang sembari berendam.Pertama, Allen mungkin tidak seperti yang ia pikir. Ia tidak sekadar dari keluarga kaya. Mengingat orang-orang yang ia sebut karyawannya tadi tidak tampak seperti bodyguard yang biasanya mengawal Freesia.Meski, pria itu tinggal di rumah yang besar dan mewah ini, dengan banyak pelayan, sama seperti di rumah nenek Freesia, tapi Freesia merasa … rumah ini berbeda. Ada aura yang berbeda di sini. Neneknya juga mengerikan dan selalu bersikap tegas pada semua pelayan. Namun, aura di tempat ini berbeda.Semua orang tampak takut pada Allen, tapi juga menghormatinya. Rasanya seolah semua orang di rumah ini siap untuk berlutut di depan Allen. Tak ada yang berani menatap mata Allen. Tempat ini
Freesia terbangun karena ciuman di pipinya. Freesia panik selama sesaat, tapi suasana hatinya langsung membaik ketika menyadari siapa yang barusan mencium pipinya. Lily dengan senyum cerianya menyambut pagi Freesia bagai sinar mentari yang begitu hangat.“It’s fleaking molning, Fleesia. Waktunya bangun dan belmain!” seru Lily riang.“Selamat pagi, Lily,” sapa Freesia. “Itu yang harus kau ucapkan ketika bangun di pagi hari.”“Kenapa?” tanya Lily.“Karena mendengar orang menyapamu setiap pagi tentu terasa menyenangkan,” jawab Freesia.“Begitukah?” Mata Lily berbinar. “Baiklah. Selamat pagi, Fleesia.” Lily tersenyum lebar.“Good girl,” puji Freesia sembari menepuk lembut kepala Lily.“Fleesia, ayo mandi belsama. Aku ingin belendam denganmu,” ucap Lily.Freesia mengangguk. “Baiklah. Aku akan menyiapkan air hangatnya.”Lily bersorak dan berusaha turun dari tempat tidur. Freesia membantunya.“Aku akan memanggil Allen untuk mandi belsama kita,” ucap Lily sembari berlari ke pintu.Fressia sek
Freesia tidak tahu bagaimana akhirnya dia bisa mandi sendiri di kamar mandi kamarnya, tanpa Lily maupun Allen, untungnya. Ia tidak tahu apa yang dikatakan Allen untuk membujuk putri kecilnya itu hingga dia tidak lagi memaksa mereka bertiga mandi bersama.Namun, ketika Freesia dipanggil dan disuruh turun untuk sarapan, dia melihat sebuntal … tidak, sesosok lebah, yang tampak begitu bulat, terutama bagian pantatnya. Freesia tak bisa menahan tawa ketika akhirnya melihat wajah Lily yang tampak begitu bulat karena rambutnya terbuntel kepala lebah.Meski begitu, Freesia segera menghentikan tawa karena setidaknya ada belasan pria berjas hitam bertubuh besar yang menatapnya tajam, sementara Lily tampak merengut. Allen yang sudah duduk di kursinya dan menikmati sarapannya tak sedikit pun tampak peduli.Freesia berdehem dan mendekati Lily. “Kenapa kau tiba-tiba menjadi lebah?” tanya Freesia penasaran.“Cause Allen so f***ing stupid idiot!” maki Lily kesal.Seperti tadi, Allen tak bereaksi dan d
Freesia tak tahu apa yang membuat Lily begitu takut berenang karena ketika dia masuk ke kolam renang bersama Freesia, dia tampak baik-baik saja, meski tangan kecilnya sejak tadi terus berpegangan di kaus Freesia. Allen memang menepati kata-katanya bahwa pagi ini dia sudah menyiapkan pakaian ganti untuk Freesia, tapi tidak ada baju renang di sana. Jadi, Freesia mengenakan kaus dan celana pendek untuk menemani Lily berenang. Yang membuat Freesia heran, tidak ada bagian kolam untuk tinggi anak kecil seperti Lily di kolam renang itu. Bagian kolam paling rendah adalah sepinggang Freesia. Tentu saja, itu masih lebih tinggi dari Lily. Karena itu juga, Freesia masih menggendong Lily sejak mereka turun ke kolam itu tadi. Freesia lalu memperhatikan jika tidak ada pelampung untuk Lily. Freesia menoleh pada Allen yang duduk dengan santainya di kursi santai di tepi kolam renang, di bawah naungan payung besar di samping kursi itu. “Apa kau tidak punya pelampung untuk Lily?” tanya Freesia. “Tid
Allen memperhatikan bagaimana Lily tertawa dan tampak bersenang-senang ketika belajar berenang dengan Freesia. Meski, Allen tidak tahu butuh waktu berapa lama dia bisa berenang nantinya. Masih banyak hal yang harus dia pelajari. Namun, setidaknya untuk saat ini, melihat Lily tampak bersenang-senang, itu sudah cukup. Namun, Allen lebih terkejut melihat bagaimana reaksi Freesia tadi. Bahkan di bawah belasan senjata api, dia masih bisa dengan berani melawan Allen. Apa yang gadis itu pikirkan? Tadinya, Allen tak berencana menunjukkan hal-hal berbahaya di depan gadis itu karena tak ingin membuatnya kabur ketakutan. Ia sudah menyelidiki latar belakang keluarga gadis itu dan menyadari jika dirinya menemukan harta karunnya. Tidak. Atau … bisakah ia menyebutnya kotak Pandora? Gadis itu mungkin tak tahu apa pun, tapi … itu tidaklah penting. Karena Allen tahu segalanya. Dan sekarang ia punya alasan untuk menahan gadis itu di sampingnya. Karena … bukankah itu sudah tradisi keluarga mereka ber