Sejak dia bangun tadi, Lily tampak sangat bahagia. Tidak, lebih tepatnya, sejak Allen mengatakan jika dia akan mengajak Freesia dan Leon mengantarkan Lily ke sekolah. Allen sudah memberitahukan Freesia tentang situasi Reyn dan dia ingin Freesia menemui Reyn agar anak itu tidak terlalu waspada pada orang dewasa.Mungkin karena perlakuan orang-orang panti asuhan, anak itu terlalu waspada pada orang dewasa. Karena itu, dia selalu menolak bantuan guru-guru sekolahnya. Dia pertama kali membuka diri pada Lily yang berkeras menemaninya seharian kemarin.Ketika mereka tiba di sekolah Lily, Leon tertidur. Kepala sekolah Lily yang sudah dihubungi Allen dan menyambut mereka di gerbang, mengantarkan Freesia ke ruang kesehatan agar Leon bisa tidur dengan nyenyak di sana. Freesia memercayakan Leon pada dua pengasuh dan dua pengawal sebelum dia pergi ke tempat Lily dan Reyn berada. Sementara, Allen pergi ke ruang kepala sekolah untuk membicarakan masalah panti asuhan Reyn dengan pihak sekolah.Salah
“You’re impressive,” Brand berkomentar sembari mengawasi Lily dan anak-anak panti asuhan Alia bermain di kolam renang dari balkon lantai dua. Ah, ada satu lagi, anak yang menjadi sumber keresahan Allen saat ini. Anak seusia Lily yang bernama Reyn.“Yeah, indeed,” timpal Val. “Aku takjub Freesia masih menerimamu sebagai suaminya.”“Huh! Kalian belum merasakan saja jika kalian punya anak perempuan,” cibir Allen. “Anak itu bahkan sudah berani menggandeng tangan Lily …”“Kudengar, Lily yang menggandeng tangannya dulu. Jangan memutarbalikkan fakta dan membuat anak orang lain menjadi kriminal,” tegur Brand.“Jika Lily menggandeng tangannya lebih dulu, bukankah seharusnya dia melepaskan tangan Lily jika dia memang seorang gentleman?” balas Allen.“Freesia benar,” tukas Val. “Kau tak masuk akal. He’s a baby, Dude! A freaking baby!” Val terdengar frustasi.“Allen, jika kau terus bersikap seperti itu, kau akan merepotkan Freesia.”Brand, Allen, dan Val menoleh ke sumber suara yang berada di pin
Beberapa minggu kemudian …“Mama!” Lily berlari masuk ke rumah dengan membawa selembar kertas di tangannya.Freesia yang menunggu di ruang tamu seperti biasanya, meski kali ini tanpa Leon yang masih tidur, tersenyum menyambut kepulangan putrinya itu.“Bagaimana sekolahmu tadi, Kakak Lily?” tanya Freesia ketika Lily mencium pipinya.“Mama, lihat ini!” Lily mengangkat selembar kertas yang dibawanya tadi dan Freesia bisa melihat gambar di sana.Freesia ternganga takjub melihat gambar dirinya di sana. Freesia yang duduk di kursi santai di tepi kolam renang rumah Allen. Dan itu adalah gambar Freesia yang sedang tertawa. Dari semua fiture Freesia di gambar itu, ekspresi Freesia tampak begitu jelas. Kebahagiaan yang dirasakan Freesia tergambar dengan baik di sana.“Aku dan Reyn menggambar ini bersama-sama,” Lily berkata.Ah … jadi ini ekspresi yang disukai anak-anak ini dari Freesia? Freesia memeluk Lily.“Terima kasih, Sayang,” ucap Freesia sungguh-sungguh.Lily terkekeh bangga. “Reyn bilan
Kabur dari sekolah: checked.Menggagalkan perjodohan: on progress.Saat ini, Freesia sudah berdiri di depan pintu lobi hotel tempat restoran untuk acara makan malam perjodohannya berada. Itu pun, hanya dengan memakai kaus longgar warna putih bertuliskan Whatever dan hot pants. Dan ini karena neneknya!Hanya karena Freesia sudah kabur dari sekolahnya, bukan berarti neneknya berhak mengatur siapa yang akan menjadi pendamping hidup Freesia. Not so fast, Motherf***er!Uh, kebiasaan baru yang merepotkan di sini. Karena teman-temannya di luar negeri, Freesia jadi terbiasa mengumpat dengan bebas. Setelah belasan tahun dibesarkan dengan penuh etika dan segala macam aturan tata krama, Freesia merasa seolah dia berada di dunia yang berbeda ketika bertemu teman-temannya.Beberapa dari mereka juga putra-putri konglomerat, tapi mereka tidak dibesarkan seketat Freesia. Dan ketika Freesia pertama bertemu mereka, mereka memperlakuan Freesia seperti anak udik. So f***ing annoying!Meski hubungan merek
Freesia sudah sampai di base pertama. Saat ini, Freesia, Bramasta, dan pria asing yang mendadak menjadi kekasihnya itu duduk satu meja. Bramasta tampak menatap pria di samping Freesia ini lekat. Jelas dia menghakimi pria ini dari penampilannya.Omong-omong, Freesia bahkan tidak tahu nama pria yang sekarang menjadi kekasihnya ini. Oh, pria yang malang. Dia tiba-tiba harus menjadi kekasih Freesia dan dihakimi oleh pria sombong yang duduk di depan Freesia ini.“Jadi … dia adalah kekasihmu?” Bramasta menyelesaikan sesi penghakimannya pada kekasih palsu Freesia dan akhirnya menatap Freesia.Freesia tersenyum semenyesal mungkin. “Maaf,” Freesia berkata. “Aku benar-benar menyesal karena harus mengacaukan perjodohan kita seperti ini.”Bramasta menggeleng. “Tidak,” sahutnya. “Sama sekali tidak kacau. Kau hanya punya kekasih. Itu tak mengubah apa pun.”Freesia berusaha untuk menahan umpatannya. F***ing crazy. Apa yang dipikirkan pria ini?“Apa … maksudmu?” tanya Freesia hati-hati.“Kau tahu apa
“Lalu, apa yang kau inginkan?” tanya Freesia.“Kau.”Jawaban Allen itu membuat Freesia melotot marah. “Kau … jangan kau pikir kau bisa merendahkanku hanya karena kau sudah membantuku! Aku tidak sudi …”Kata-kata Freesia terhenti oleh suara denting lift yang sudah tiba di lobi. Pintu lift terbuka dan Freesia melihat orang-orang neneknya menunggu di lobi. Sial!Freesia menekan tombol menutup, membuat pintu lift kembali tertutup. Lalu, Freesia menekan tombol lantai teratas gedung itu. Lift kembali bergerak ke atas dan Freesia bergerak ke belakang hingga punggungnya bersandar di dinding lift. Saat itulah, sesuatu jatuh dari bahunya.Freesia menunduk dan melihat jaket kulit yang tadi disampirkan Allen di bahunya mendarat di lantai. Ketika Allen tiba-tiba membungkuk ke arahnya, Freesia refleks memukul kepala pria itu ketika mendapati wajah pria itu berada tepat di depan pahanya.“Apa yang kau lakukan?! Dasar Mesum!” maki Freesia.Allen tidak lantas berdiri dan berlutut dengan satu kaki di s
Freesia tersentak ketika menyadari dirinya tertidur. Ia menatap sekeliling. Gelap. Sekelilingnya gelap. Freesia menoleh ke samping, tapi tak ada orang di sana. Di mana Allen?Jangan bilang … dia meninggalkan Freesia di sini? Tidak. Jangan bilang, ini tempat pertemuan pria itu dengan orang yang akan membeli Freesia? Apa dia benar-benar akan menjual Freesia?Suara ketukan dari kaca jendela depan membuat Freesia menatap ke depan dan ia bisa melihat Allen yang melambaikan tangan sembari tersenyum padanya. Pria itu lantas menunjuk telepon yang menempel di telinganya.Freesia membuka pintu mobil dan turun. Didengarnya Allen berkata,“Ya. Karena ini situasi tak terduga, kalian lanjutkan untuk plan B-nya.”Lalu, Allen menutup telepon dan menghampiri Freesia.“Kenapa kau keluar? Di sini dingin dan kau hanya memakai kaus tipis,” ucap pria itu.“Aku yang seharusnya bertanya,” balas Freesia. “Kenapa kau keluar? Kau bahkan tidak membangunkanku ketika aku tertidur. Apa aku sudah lama tertidur?”“S
Setelah keributan di halaman depan ketika Freesia baru tiba di rumah Allen tadi, ia diantarkan ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Allen, sementara kamar Lily ada di sebelah kamar Allen yang lainnya. Freesia berusaha menenangkan diri dengan berendam air hangat. Ia berpikir panjang sembari berendam.Pertama, Allen mungkin tidak seperti yang ia pikir. Ia tidak sekadar dari keluarga kaya. Mengingat orang-orang yang ia sebut karyawannya tadi tidak tampak seperti bodyguard yang biasanya mengawal Freesia.Meski, pria itu tinggal di rumah yang besar dan mewah ini, dengan banyak pelayan, sama seperti di rumah nenek Freesia, tapi Freesia merasa … rumah ini berbeda. Ada aura yang berbeda di sini. Neneknya juga mengerikan dan selalu bersikap tegas pada semua pelayan. Namun, aura di tempat ini berbeda.Semua orang tampak takut pada Allen, tapi juga menghormatinya. Rasanya seolah semua orang di rumah ini siap untuk berlutut di depan Allen. Tak ada yang berani menatap mata Allen. Tempat ini