Masakan di meja makan masih utuh sehingga benak Larasati bertanya-tanya, mengapa Li Jing belum sarapan walau waktu sudah siang. Kebetulan ada seorang pelayan yang sedang menyapu, bidadari itu pun menolehnya. “Bibi, apa Li Jing sudah pergi ke Studio?” tanyanya. Sembari menunduk pelayan menjawab, “Tuan Muda belum terlihat sejak pagi, Nona.” “Benarkah.” Larasati mulai merasa aneh. Wanita di hadapan berpamitan. “Permisi, Nona.” Bidadari itu membalas senyum, tak lama kemudian melangkah menaiki anak tangga dan menuju lantai atas. Setelah dia membuka pintu sebuah kamar, ternyata Li Jing masih terlelap di ranjang dengan seluruh tubuh tertutup bad cover. “Bukannya hari ini kau ada syuting?” tanya Larasati. “Kenapa malah bermalas-malasan?” Akan tetapi, hening, tak ada jawaban dari Li Jing. Karena khawatir, Larasati cepat-cepat mendekat, lantas menyibak selimut di bagian kepala sang aktor. Seketika, matanya membelalak lebar begitu melihat pria tersebut menggigil kedinginan. Perlahan
Matahari mulai mengurangi panas dari sinarnya, pertanda waktu memasuki senja. Pada saat itu, Larasati dan Han berjalan-jalan di sekitaran taman kota.“Dunia artis memiliki banyak sekali peraturan, yang membuat kami harus melakukan penipuan publik. Juga kami punya batasan untuk menjalin hubungan asmara dengan artis lain, bahkan jika agensi kami sama-sama tidak setuju, bisa dipastikan karir kami akan hancur,” ungkap Han.“Kenapa bisa begitu?” Larasati menolehnya sesaat sebelum mengalihkan pandangan kembali ke depan. “Tapi apa pun alasannya, aku tidak menyukai sikap Ying Fei. Dia seperti sengaja melukai perasaan Li Jing.”“Kau terlihat seperti orang cemburu,” terka Han sembari memperhatikan bidadari tersebut.Larasati tersenyum jengah menyikapi. “Aku ini temannya, mana mungkin cemburu? Aku hanya tidak suka melihat Li Jing dipermainkan,” terangnya. “Saat Li Jing mabuk, dia berkata tidak ingin kehilanganku. Kalau aku pergi dia benar-benar sendiri.”Sejenak Han berpikir keras hingga mengeru
Di bumi, Li Jing menggandeng tangan Larasati, sebelum memasuki acara pesta Ulang Tahun Ying Fei yang ke-27. Bidadari tersebut tampil beda dengan balutan busana seksi berwarna maron serta rambut yang dibiarkan terurai, sedangkan Li Jing mengenakan pakaian formal berkemeja hitam. Keduanya melangkah menghampiri Ying Fei dan Han berada di koridor depan. Tentu saja aktris tersebut masih mengingat perkataan Madam sehingga matanya tak berkedip sewaktu melihat Larasati."Selamat, Ying Fei, kau telah memasuki usia matangmu," ucap Larasati sembari tersenyum. Ying Fei menjadi sedikit gugup. "Ya, terima kasih.""Aku akan memberikan hadiahmu nanti. Kau pasti menyukainya," kata Larasati yang menatap misterius.Muncul firasat buruk di benak Ying Fei, walau begitu, dia masih bersikap ramah. "Tak masalah. Nikmatilah pestanya." Ying Fei segera mendekat pada Li Jing, lalu menggandeng tangan pria itu dan membawanya menjauh dari Larasati. Hal tersebut membuat Larasati tersenyum angkuh menyikapi, bahkan
Karena mendengar suara bel yang dipencet berulang kali, Han pun segera membuka pintu rumah, yang ternyata Li Jing telah berdiri di luar dengan tatapan dingin. "Oh, kau," sapa Han sembari tersenyum.Li Jing tidak ingin berbasa-basi sehingga langsung saja menjelaskan, "Aku datang untuk menjemput Larasati." "Sayang sekali ... dia tidak ada di sini, sudah pergi sekitar lima menit lalu." Ekspresi gerak bibir di wajah Han makin mengembang. Dahi Li Jing seketika mengerut menyikapi. "Ke mana?" Seraya mengangkat pundak beserta kedua telapak tangan, Han berkata, "Aku tak tau."***Sejauh mata memandang, Li Jing yang mengemudikan mobil masih tidak melihat Larasati. Tentu saja, Li Jing menjadi khawatir sebab bidadari tersebut sudah tidak pulang semalaman. Terdengar notifikasi We Chat sehingga Li Jing segera menyambar smartphone di bagasi depan, lalu melihat siapa yang mengirim pesan.[Di pantai.] Cepat-cepat, dia memutar balik mobil melesat menuju ke Wuchang River Beach yang masih berada di
Larasati yang baru saja selesai memasak pagi, dikejutkan oleh suara bel berbunyi. Dia segera membuka pintu, lalu melihat lima orang berdiri di luar rumah.“Oh, ini yang namanya Larasati?” terka gadis berusia sekitar 22 tahun dengan sinisnya.Pandangan seorang pria berusia 30 menelisik. “Dia cukup cantik!”“Kau benar, Paman,” sahut pemuda berusia sekitar 26 tahun. Hal tersebut membuat seorang pria paruh baya berdeham melirik ketiganya. “Diam!” bentak seorang wanita paruh baya yang lalu menatap tajam Larasati.“Di mana Li Jing?” desak wanita berambut pendek dengan aksesori kalung mutiara besar dan mengenakan gaun semata kaki itu. Sembari memperhatikan semua orang, Larasati menjawab,” Ada, tapi siapa kalian?”“Kami keluarganya,” terang pria paruh baya. “Aku Tang Zizi, pamannya, dan dia Xiao Lu, bibinya.” “Mereka bertiga sepupu Li Jing, Yu er, Zhao Jinmai, dan Wen Yang.”“Silakan masuk.” Ketika Larasati memberi jalan, Xiao Lu melangkah masuk lebih dulu seraya melihat ke lantai atas.“
Saat Li Jing datang ke rumah Han, si pemilik rumah sedang duduk di sofa ruang tamu dengan posisi menyilangkan kaki, sementara tangan pria berkemeja hitam tersebut sibuk mengetik sesuatu di laptop. “Di mana Larasati?” tanya Li Jing. Han menolehnya, lantas menjawab, “Dia ada di kamarku.”Tanpa menunggu lagi, Li Jing menuju ke tempat yang dimaksud. Setelah melalui pintu terbuka, dia melihat Larasati tengah terlelap di ranjang. Posisi bidadari tersebut meringkuk dengan kimono handuk membungkus tubuhnya.Pikiran Li Jing menjadi liar, sampai-sampai menduga bahwa Larasati telah melakukan sesuatu yang kotor bersama Han. Hingga tak lama kemudian, Larasati menggeliatkan tubuh dan membuka mata. “Kau datang menjemputku?” Baru saja Larasati beralih ke posisi duduk, Li Jing sudah mendekat, lalu secara tiba-tiba menyambar tangannya dan menyeretnya keluar dari kamar.“Ayo pergi,” ajak Li Jing.Larasati menatap tak mengerti. “Tapi kenapa?” Sementara itu, Han telah berdiri di luar sehingga Li Jing
Setiba di Indonesia, Larasati yang baru keluar dari bandara memandangi langit cerah sampai-sampai tersenyum sendiri ketika menarik napas lega. Sebelum akhirnya, bidadari itu berjalan sembari menggeret ransel. Dia menghentikan satu taksi di jalanan, lalu memasukinya dengan membuka pintu terlebih dahulu. Tanpa menunggu lama, kereta tanpa kuda melesat menjauh. Akan tetapi, karena siang begitu panas, Larasati meminta sopir untuk menunggu sebentar, sementara dia turun dan melangkah menuju salah satu minimarket dari deretan ruko berjajar. Pada saat bersamaan, ada seorang anak laki-laki yang berlari cepat dari kejaran orang-orang, bahkan hampir menabrak Larasati. Untung saja bidadari bergaun putih semata kaki itu menghindar dengan cara memiringkan tubuh sehingga anak laki-laki tersebut jatuh tersungkur di tanah. Sejenak, Larasati memperhatikannya meringis kesakitan. Namun, sesaat kemudian, orang-orang telah datang dan memukuli anak tersebut. “Rasakan kau, ya!” “Dasar maling!” “Masih ke
Di kayangan tempat para dewa, suasana begitu asri. Pemandangan taman surga menyajikan keindahan sosok-sosok bidadari yang berlalu lalang dan tertawa renyah. Burung-burung pipit beterbangan di langit, bahkan kesejukan silir angin turut menyambut ketika Larasati berjalan memasuki istana. Sesekali, dia berpapasan dengan para peri yang segera menaruh rasa hormat saat melihatnya. Namun, karena yang dituju sang Atmajaya Wimala, Larasati hanya membalas senyum sembari mengedarkan padangan ke sekitar, hingga tanpa sengaja bertemu Hastapati di aula. “Laras Dewi, kebetulan kau berada di sini,” sapa sang Dewa Perang. Bidadari itu pun menunduk untuk memberi salam, sebelum mengangkat wajah kembali dan menatap Hastapati. “Aku harus ingatkan padamu. Putra Mahkota telah kutunangkan dengan putriku Randita. Sebaiknya, kau menjaga jarak meski Dewa Mandala temanmu,” pinta Hastapati. Tentu saja hal tersebut membuat Larasati terkejut, selama ini, Mandala tidak pernah bercerita bahwa dia akan menikah. Wa