Senandung Jazz mengalun menemaniku berkendara di bawah bulan purnama. Jariku mengetuk setir mobil mengikuti tempo. Sesekali aku ikut bernyanyi dengan menjiwai seolah aku penyanyi terkenal yang sedang berduet dengan penyanyi Jazz berbakat, meski aku tahu betul nada tinggiku lebih cocok untuk mengusir rakun liar dibanding didengar orang-orang.
Aku tidak peduli, yang penting aku bisa menunjukkan suasana hati yang sedang kurasakan kini. Radio mobil aku kencangkan hingga mengalahkan rintik hujan yang mengetuk semua bagian sisi mobil. Kilatan petir juga tak aku hiraukan. Aku terlalu bahagia, tidak seperti cuaca sendu di malam ini.
Aku baru saja memenangkan Grand Wills Award. Acara bergengsi untuk para penulis yang sudah cukup lama menggeluti bidang kepenulisan sepertiku.
(“Sudah kita dengarkan bersama perhelatan Grand Wills Award yang banyak dinantikan oleh penulis dan jurnalistik.”)
Senyum terukir di wajah ketika aku mendengar pembawa siaran sedang mengulas kembali acara beberapa jam yang lalu.
(“Ada yang menarik. Kita mendapatkan nama baru untuk pemenang Best Book of The Year, yaitu Jovian Timothy Ray atau nama penanya J.T Ray dengan buku berjudul “Ethereal Redemption: Leo’s Pursuit of Justice.” Sebuah cerita fantasi yang melegenda dan berhasil membuat para pembacanya terlena dengan alur cerita yang menarik. Menggambarkan perjalanan Leo dalam mencari keadilan dengan nuansa gaib, mencerminkan upayanya untuk mendapatkan kembali hak-haknya dan memperbaiki kesalahan yang terjadi dalam hidupnya.”)
Aku tersenyum semakin lebar saat penyiar mempromosikan buku juaraku. Aku menoleh ke belakang sekilas ketika lampu merah. Tumpukan bunga dan hadiah-hadiah dalam bungkus kado. Beberapa mainan plastik kucing ditunjukkan untuk tiga anak kembarku.
Aku meraih mainan plastik tiga kucing yang bergandengan tangan. Mainan ini cukup kecil, seukuran genggaman tanganku. Tapi tampak menarik karena ketiganya bisa melepas gandengan tangan dan bisa memasangkannya kembali.
“Ethan, Nathan, Ryan ulang tahun hari ini. Mereka pasti suka mainan ini,” gumamku seraya menggenggam mainan kucing plastik itu.
Aku tidak menyangka hadiah membanjiri tanganku setelah aku mengatakan di atas podium saat memberikan ucapan terima kasih pada penggemar serta ulang tahun ke-6 anak kembarku. Mereka bertiga pasti bangga memiliki ayah sepertiku.
Penulis fantasi yang namanya tengah naik daun. Ratusan ribu eksemplar buku telah tersebar di penjuru kota dan aku dengar sampai lintas benua.
Oh, aku merasa seperti di atas awan.
Lampu hijau menyala. Aku kembali menancapkan gas. Kali ini aku melajukan mobil lebih cepat agar anak-anakku tidak terlalu lama menunggu. Aku sudah minta pengasuh harian mereka untuk tidak menidurkan mereka di tengah malam ini dulu. Tapi kalau mereka sudah mengantuk, tidak apa.
Jalan kanan-kiriku semakin lengang. Tinggal melewati jembatan yang melintasi sungai, sudah sampai di kawasan rumahku. Aku menekan gas semakin dalam saat melihat jembatan itu.
“Gelap sekali.” Aku baru sadar bahwa lampu jembatan itu mati. Aku hanya mengandalkan lampu mobil saat melintasi jembatan.
Tiba-tiba muncul dari tepi pembatas jembatan seseorang dengan jas hujan hitam dan tudung yang menutup kepala. Sebelum aku sempat menekan klakson, orang itu tiba-tiba melempar sebuah batu dan memecahkan kaca mobil di hadapanku.
Aku spontan membanting setir ke kiri.
Brak!
Pembatas jembatan yang rapuh seketika hancur saat ditabrak oleh mobil dengan laju cepat. Tapi aku masih sempat menginjak rem. Bagian depan mobil condong ke arah sungai yang mengalir deras, bagian belakang melayang-layang menahan bagian depan agar tak jatuh.
Jantungku berpacu cepat. Dadaku naik turun. Aku lepas sabuk pengaman mobil dan bergerak ke kursi bagian belakang dengan sangat hati-hati.
Aku tertegun melihat pelaku yang melempar batu tadi berdiri di belakang mobil. Dia mendorong mobil ke arah sungai.
“Tunggu! Jangan—“
Aku buru-buru berpindah ke bagian belakang. Dan saat membuka pintu belakang, aku terkejut ada orang lain yang menahan pintu itu dari luar dengan jas hujan hitam yang sama. Aku mendorong pintu agar terbuka semakin lebar, namun waktuku tidak banyak.
Byurr!!
Punggungku menabrak bagian kaca mobil depan. Air menghantam masuk dari pintu belakang yang belum tertutup.
Aku tidak sempat mengambil udara. Air sudah menggulung isi mobil dan memaksa semuanya keluar. Aku tidak bisa melihat. Seluruhnya tampak gelap meski sudah coba membuka mata.
Masalah terbesarku, aku tidak bisa berenang.
Seluruh tubuhku terasa sakit. Aku memaksakan diri untuk bergerak ke permukaan dan berusaha mengambil beberapa napas di tengah-tengah aliran sungai yang deras. Tapi tubuh yang menegang justru terus membawaku turun. Tekanan akibat sungai yang dalam benar-benar menyulitkanku untuk mencapai permukaan.
Tiba-tiba saja kakiku kram. Terlalu sakit untuk digerakkan. Hulu sungai juga masih jauh dari tempatku berada. Aku tidak bisa melakukan apapun selain menahan napas. Berpegang pada sisa-sisa napas yang ada di paru-paru. Aku berusaha menahan napasku selama mungkin sampai ada yang menolongku.
Sampai napas di paru-paru habis, aku tidak menemukan siapapun.
Dada terasa sesak ketika terpaksa menarik napas. Sensasi seperti terbakar kurasakan saat tubuhku terisi oleh air. Semakin aku berontak, semakin kuat tekanan air ini menarikku ke bawah.
Aku tak kuasa menggenggam mainan kucing plastik di tanganku. Aku mulai mengantuk seiring banyaknya air yang masuk.
Apakah ini akhir hayatku?
Gemercik air mengalun lembut di telinga yang awalnya berdengung, semakin jelas terdengar. Desir angin menggesekkan ranting-ranting pohon dan menerpa tubuhku yang basah kuyup. Udara dingin menusuk memaksaku tersadar. Aku membuka mata perlahan. Aku berbaring dalam posisi tengkurap dengan wajah mengarah ke aliran sungai. Terdiam sejenak mengumpulkan tenaga. Saat aku gerakkan sedikit tanganku, tubuhku terasa sakit semua. Tapi aku tetap memaksa tubuhku bergerak dan melawan rasa sakit. Aku mendorong tanah untuk setengah berdiri, lalu langsung menjatuhkan tubuh ke posisi duduk. “Aghh sialan.” Aku merutuk pada rasa sakit menusuk di daerah punggung dan bokong. “Pembunuh sialan. Akan aku cari mereka berdua.” Ingatan itu sangat jelas tanpa perlu menunggu apa yang terjadi padaku. Aku bertekad mencari siapa dua orang yang mencelakaiku. Untung saja aku masih hidup, begitu pikirku. “Di mana kacamataku?” Aku memicingkan mata ke sekitar tanah tempat aku berbaring. Pandanganku sangat buram, terut
Mobil memasuki sebuah gerbang tinggi yang dijaga oleh dua pria berseragam. Aku pikir setelah gerbang, akan tampak rumahnya, tapi ternyata tidak. Mobil kembali melaju melewati jalan yang di sebelah kanan dan kirinya ditanami oleh pohon-pohon tinggi. Kegelapan menyelimuti pohon-pohon itu. Tak ada lampu taman apalagi kursi taman. Beberapa menit kemudian, barulah tampak sebuah bangunan berlantai empat. Mobil berhenti di samping kolam yang di tengah-tengahnya terpasang sebuah patung ikan yang mengeluarkan air dari mulutnya membentuk sebuah air terjun. Ada seorang pria yang menunggu di luar air mancur itu untuk membukakan pintuku. Awalnya aku sempat bingung, tapi saat aku melihat ‘Mama’ dan sopirnya keluar setelah dibukakan pintu juga, aku ikut keluar. Aku dibuat menganga setelah melihat lebih jelas bangunan berlantai empat yang disebut rumah itu. Ada sepasang pilar putih di antara pintu masuk berdaun dua itu. Di tiap lantai terdapat jendela. Di puncak atap atau di antara dua pilar itu, t
Dua tanganku diletakkan di atas gagang pintu lalu menekannya ke bawah. Setelah terdengar ‘klik', aku mendorong dua pintu itu sekaligus hingga terbuka lebar. Aroma harum dari bahan-bahan alami seperti vanila bercampur bunga violet menyeruak masuk ke paru-paru mereka ketika pintu tersebut baru terbuka. Terdapat satu kasur berukuran besar yang cukup untuk dua orang dalam satu ruangan tersebut. Tempat tidur itu memiliki atap kelambu dan berada di sisi kiri dari arah pintu. Di ruangan tersebut juga memiliki dua lemari kayu dengan dua daun, meja belajar, sebuah teknologi berbentuk tipis yang tergantung berlawanan arah tempat tidur yang bernama TV, berbagai teknologi lainnya yang tak aku mengerti, dan satu pintu kamar mandi yang berada dekat dengan lemari. Jika aku perhatikan, kamar luas ini tampak seperti gabungan dari dua kamar berbeda. “Ini surga,” gumamku tak sadar saat melihat betapa nyamannya kamar tersebut padahal baru berdiri di sekitar mulut pintu. Eva tertawa sekilas. “Tuan Muda
“Pertama, kita bereskan dulu kamar ini.” “Kita?” bingung Marvin. “Oh, ya. Kau hantu.” Aku menumpuk beberapa buku sebelum diletakkan di rak. “Kenapa tidak minta bantu Bi Eva?” Aku menatapnya heran. “Jadi kau biasa diurus sama Bi Eva?” tanyaku sambil melanjutkan mengambil buku-buku yang masih berserakan. “Iya. Memang tugasnya.” “Tunggu. Jangan-jangan kau tidak mengenal kata mandiri?” Aku berpura-pura terkejut, “Aku tahu, Pak Tua. Cuman ‘kan... aku tidak biasa beres-beres kamar. Apalagi kalau sudah diacak-acak mereka. Terus besok aku punya jadwal padat. Pasti sudah capek duluan kalau—“ “Jangan banyak alasan. Kau sudah jadi hantu. Ini kehidupanku. Kau lupa?” potongku. “Kalau kau mau mengeluh dan menggangguku beres-beres kamar, sebaiknya kau di luar.” Marvin mendengus. “Aku kira kau ingin beradaptasi dengan kehidupanku.” Setelah bagian rak buku selesai, aku berhenti sejenak dan mengarah padanya sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Memang. Tapi ada penyesuaian dengan kehidup
Ketika aku membuka mata, tampak sebuah pintu kayu di hadapanku. Pintu kayu yang begitu familier dan tiap hari aku lewati. Aku tidak langsung meletakkan tanganku di atas gagang pintu, melainkan melihat sekitar terlebih dahulu dan melihat apa saja yang membuat tanganku terasa berat.Tangan kiriku sedang membawa piagam penghargaan Book of The Year. Tangan kananku tergantung tas-tas hadiah sambil menggenggam tiga mainan plastik berbentuk kucing yang sedang menggandeng satu sama lain. Aku sedang berdiri di teras sebuah rumah berlantai dua. Mobil Audi 5000S berwarna hitam terparkir di halaman depan dan belum dimasukkan ke dalam bagasi.Aku pulang, begitu di pikiranku.Tanpa menunggu lama lagi, aku segera menekan gagang pintu rumah. Lorong yang di ujungnya mengarah ke tangga lantai dua, dan di kirinya ada dapur dan kanannya ada ruang keluarga juga ruang tamu. Aku melangkah cepat ke arah ruang keluarga. Tempat anak-anak biasa menungguku pulang.Tapi ternyata mereka bertiga tidak ada di ruang
Tidak seperti Marvin yang terbiasa dilayani, aku menolak para pelayan yang hendak mendandaniku dan memakaikanku pakaian untuk acara konferensi pers. Aku tidak sudi ada pelayan pria atau wanita yang tidak aku kenal sama sekali menyentuh-nyentuhku. Jadi, semua aku kerjakan sendiri di kamar dengan arahan dari Eva mengenai riasan.Pemakaian tabir surya, lalu ditambah pelembab bibir, alas bedak dan bedak tabur diajari oleh Eva tentang cara pemakaiannya. Satu kali contoh, aku bisa memakainya sendiri. Aku menolak riasan lebih dari ini.Setiap aku bercermin, aku teringat dengan masa mudaku yang penuh percaya diri di bidang tulis-menulis. Aku menyisir rambut sendiri ke belakang setelah ditambah gel rambut. Tampilan yang biasa aku gunakan tiap menghadiri sebuah acara yang berkaitan tentang karya-karyaku.Eva menghampiriku. Tangannya mengambil sisir ramping yang ujungnya agak tajam. Dia menarik garis menggunakan ujung sisir dari arah depan ke belakang, membelah rambut dan membaginya dengan bagia
Selama di perjalanan menuju universitas tempat Marvin mengemban pendidikan, aku jabarkan satu per satu yang perlu aku siapkan untuk menghadapi dunia yang tidak pernah aku masuki sebelumnya. Pendidikan terakhirku hanya SMA, setelah itu aku fokus untuk menulis.Mobil sedan yang aku tumpangi ini disopiri oleh William Holland, suami Eva sekaligus sopir pribadiku. Terlihat lebih muda dari Eva dan ingin dipanggil Will saja olehku. Will juga sangat santai dan tidak terlalu kaku, jadi dia sering memanggilku Marvin, bukan Tuan Muda Marvin seperti istrinya. Itu informasi sekilas yang aku terima dari Marvin. Sopir pribadi ‘Mama’ dan si kembar juga berbeda. Mereka memiliki mobil masing-masing. Aku tidak peduli Will melihatku aneh karena bicara sendiri atau tidak. Yang penting, aku perlu tahu banyak informasi dari Marvin untuk kehidupan kampusnya ini.Dari catatan yang aku tulis tentang semua kisah singkat kehidupan kampusnya dan daftar nama-nama temannya, aku menyimpulkan bahwa... Marvin ini sang
“Mau dicoba lagi?”Marvin bertanya padaku saat mobil melaju. “Apanya?”“Kemarin. Aku merasuki tubuhmu dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Asal kau tahu, jadwal kemarin berjalan lancar. Aku bisa menjawab pertanyaan wartawan, hasil jepretan foto model jaket terbaru L’Éclatan memuaskan, rektor kampusku setuju untuk bekerja sama dengan penerbit JBA, dan makan malam bersama keluarga Fisher untuk membicarakan kerja sama bisnis juga berjalan lancar.”“Ughh...” Aku mengusap wajah dan menyandarkan punggungku ke sandaran jok mobil. “Aku benci kehidupanmu, Marvin.”“Aku juga,” sambar Marvin.Aku mengintip di balik sela-sela jari. Arwah Marvin yang tembus pandang, cukup untuk membuatku sadar pada sepasang manik cokelat milik Will yang memperhatikanku dari spion dalam mobil.“Apa ada yang ingin kau sampaikan, Will?” Aku langsung bertanya sambil menjauhkan tanganku dari wajah.“Kamu bukan Marvin Alexander, ‘kan?” tebaknya.Aku melirik pada Marvin dulu. “Kau boleh jujur di depan Will. Dia berpr