“Aku akan mengarahkanmu. Tendang pisau lipat itu sejauh mungkin saat aba-abaku.” Begitu kata Rebeca, beberapa detik sebelum dia melanjutkan, “Ada satu laki-laki di belakang, berjalan diam-diam mendekatimu. Ada balok kayu di tangannya. Hitungan ke tiga, kau tendang pisau lipat itu, lalu segera menangkis laki-laki itu.” Aku bersiap diri. “Benarkah? Kau akan memberitahuku jika kau berhasil ditangkap?” Dominic tersenyum menantangku, meski posisinya masih terduduk di bawah juluran kepala kunci pas. “Dia ingin mengalihkan perhatianmu. Tetap fokus. Dia akan mengayunkan balok kayu dari arah atas,” ucap Rebeca. Ya, aku harus fokus pada suara Rebeca. “Hitungan ketiga dimulai. Satu ... Dua ... Tiga. Tendang sekarang!” Pisau lipat itu berseluncur di lantai beton dan berhenti di kolong mobil setelah aku tendang sembarang. Tanganku bergerak cepat menangkis ayunan balok kayu dari arah atas. Tugh! Suaranya tidak senyaring antara sesama logam, tapi cukup untuk menimbulkan sedikit gema di lanta
Ketika kami tiba di klinik dan dua pemuda Evanderson itu mendapat perawatan, aku mengajak bicara adik mereka yang bernama Luca Evanderson. Bertanya apa masalahnya? Bagaimana mereka bisa berurusan dengan Dominic? Aku mendapat jawaban jelas dan padat dari Luca. Dia berkata bahwa mereka adalah mahasiswa baru yang sedang butuh uang untuk pengobatan ibu mereka. Marco dapat informasi dari senior di jurusannya tentang sekelompok mahasiswa yang menyediakan jasa peminjaman uang. Kelompok tersebut bernama Dominators. Cukup menandatangani surat perjanjian, memberikan salinan kartu identitas, dan foto, mereka sudah dapat uang yang mereka butuhkan. Luca sudah membaca teliti surat perjanjian tersebut dan tergiur dengan jangka waktu panjang dalam pengembalian hutang yang diberikan mereka. Dia dan dua saudaranya menandatangani begitu saja tanpa menelaah lebih lanjut lampiran berlembar-lembar dari surat perjanjian tersebut. “Jika di surat yang kalian tanda tangani itu ada perjanjian tentang jual g
Ini tidak masuk akal.Bagaimana bisa Viona menuduh Eva sengaja mengunciku di dalam ruang kerja Philip? Eva yang sangat perhatian dan tidak pernah buat masalah, dituduh yang tidak-tidak. Padahal, jelas-jelas Viona yang mengunciku. Meski informasi itu aku dengar dari Marvin yang melihatnya sendiri, setidaknya ucapan Marvin lebih aku percaya dibanding Viona.Pijakan pada pedal gas, aku tekan semakin dalam seiring dengan isi pikiranku yang hampir kalap oleh rencana jahat yang dijalankan Viona pada wanita tak bersalah itu.“Jangan ngebut, Jovian!”Tepukan di pundak kiri menyadarkanku akan batas kecepatan yang hampir aku lewati. Aku menginjak rem dan perlahan menurunkan kecepatan ketika hampir tiba di lampu lalu lintas yang menyala merah.“Aku meminjamkanmu mobil bukan untuk dibawa balap-balapan!” seru Simon.“Tapi aku lagi buru-buru,” balasku.“Aku tidak peduli. Keselamatan nomor satu,” timpalnya. “Kalau aku tahu kau orangnya tidak penyabar saat mengemudi seperti ini, aku pasti tidak akan
Aku mengira, setelah Eva mendapat perlakuan yang menyudutkannya dari Viona dan Lucy, wanita paruh baya itu akan bermuram durja. Kantung mata menebal. Tidak ada senyum terukir di wajahnya yang keriput. Tidak tampak lagi suasana hangat, menenangkan, dan keibuan yang terpancar dari senyum manis khasnya yang menunjukkan dua lesung pipi.Aku mengira Eva akan jadi sosok wanita yang lemah—yang hilang akan harapan.Aku mengira seperti itu.Nyatanya, ketika aku baru melewati ruang tamu, aku mendapati Eva sedang membersihkan pajangan-pajangan rumah menggunakan kemoceng. Dia bekerja sambil menyenandungkan sebuah lagu yang sedang diputar dari radio kecil yang tampak antik oleh lapisan kayu menyelimuti benda itu. Kepalanya sedikit mengayun mengikuti irama lembut dari lagu yang diputar.Senyumku sedikit merekah saat mendengar lagu apa yang sedang dimainkan oleh penyiar. Aku mengenal lagu itu. Lagu jazz yang memukau dengan melodi yang lembut namun memikat, dibawakan oleh vokalis berbakat yang merupa
Aku masih ada cukup waktu untuk sekedar bersih-bersih dan makan siang yang disajikan oleh pelayan. Santap siang yang sedang aku makan ini bernama Beef Wellington, terdiri dari lapisan daging sapi panggang yang lembut dan beraroma, dibalut dengan kulit puff pastry yang garing.Sepotong Beef Wellington yang sempurna, kulitnya yang renyah dilapisi daging sapi panggang yang lembut, dihiasi dengan baluran selai jamur yang kaya rasa. Aku memotong potongan kecil makanan dengan hati-hati, menghayati setiap gigitannya dengan ekspresi kenikmatan. Aromanya yang menggugah selera memenuhi ruang makan, mengundang decak kagum dariku. Dikelilingi oleh atmosfer yang nyaman dan hidangan yang lezat, aku merasa puas dan bersyukur atas pengalaman makan siang yang istimewa ini.Seolah makanan yang pertama kali aku coba ini menjadi bahan bakar untuk menghadapi kehidupan keduaku.“Memangnya seenak itu? Di restoran mewah, aku pernah beberapa kali makan itu, Beef Wellington. Rasanya biasa saja.”Komentar Marvi
“Akhir tahun 2025, jadwal maju seminar proposal. Awal tahun 2026 mulai penelitian dan pertengahannya nanti adalah maju sidang Tugas Akhir. Semester ganjil ini aku ambil 10 SKS dan 3 SKS pengulangan mata kuliah Kimia Dasar karena semester awal aku kuliah, nilaiku tidak tuntas.”“Apa itu SKS?”“Satuan Kredit Semester. Beban studi yang harus kau ambil dalam satu semester.”Marvin kembali menjelaskan istilah-istilah lainnya yang ada di kuliah. Terutama materi mata kuliah dasar yang perlu aku mengerti. Aku berusaha untuk fokus menyimak penyampaian Marvin mengenai kehidupan kuliahnya.Dari mentari masih terlihat dari jendela kamar, sampai hanya hitam yang tampak di luar jendela kamar. Aku tidak peduli kondisi di luar kamar yang aku kunci ini. Hanya Eva yang aku perbolehkan masuk untuk mengantar makan dan minum.Materi dasar Kimia dan beberapa turunannya seperti Kimia Organik, Kimia Fisik, dan Kimia Anorganik sudah aku pahami sedikit. Ketika masuk ke penelitian untuk seminar proposal, kelopa
Intinya, aku hanya perlu bersikap senatural mungkin seolah tidak ada kamera yang menyorotiku. Itu yang aku dapatkan ketika Marvin menjelaskan singkat apa yang harus aku lakukan setelah keluar dari mobil yang disopiri oleh Will ini. Eric ikut keluar bersamaku, tetapi dia mengawasiku dari jarak tertentu. Mungkin sekalian mengarahkan anak buahnya dalam mengambil gambar pula.Will menurunkanku tepat di halte K yang paling dekat dengan gedung fakultas MIPA. Dengan alasan shooting, penjaga universitas memperbolehkan mobil pribadi memasuki jalanan kawasan gedung-gedung fakultas yang seharusnya hanya boleh dilewati oleh bus listrik fasilitas kampus. Aku tidak perlu menunggu bus dan menaiki bus menuju halte K lagi.Aku memperhatikan gedung MIPA itu sejenak. Tetapi fokusku sempat beralih ke seorang pria yang sedang membawa kamera besar di pundaknya yang kini berdiri di dekat pintu. Juga seorang wanita yang berdiri di sebelahnya, mengajaknya mengobrol. Aku curiga jangan-jangan mereka tim shootin
Meski hanya mengambil gambar beberapa menit saja selama kelas berlangsung, aku dapat melihat dan menyimpulkan bahwa sebagian besar teman-teman sekelasku ini tidak nyaman juga beberapa di antaranya tampak tegang ketika kamera menyorot pada wajah mereka. Mungkin hanya Miss Yuli sendiri—wanita berkacamata yang tampil sederhana dengan sweter polos dan rok panjangnya—yang tampak biasa saja saat mengajarkan materi penelitian kualitatif menggunakan papan tulis sentuh. Dia mengajar penuh semangat, tanpa peduli ada tiga kamera di sudut kelasnya. Setelah kelas selesai, aku dimintai komentar lagi oleh wanita yang sama di depan pintu masuk fakultas. Kali ini aku membaca label nama di pakaian seragamnya. Ariel Ostrich . “Bagaimana kelas hari ini?” “Cukup baik, Ostrich. Aku paham materi yang disampaikan Miss Yuli,” jawabku singkat. Aku melihat satu per satu mahasiswa di kelas ini pergi keluar dari kelas. Ada yang melambaikan tangan padaku, dan aku lambai balik sambil tersenyum. Ada juga yang aku