Amora sama sekali tidak mampu berkata apa-apa. Dia sendiri baru saat ini tahu akan keuangan yang sebenarnya. Selama ini, dia hanya terpaku pada laporan keuangan yang selalu dibuat baik-baik saja oleh Carlos. Sekarang dia sudah tahu, tapi semua itu sudah terlambat sama sekali."Emang kita masih punya cadangan seberapa besar lagi?" tanya Amora dengan tatapan penuh kebingungan kepada manejer keuangan.Dengan suara terbata-bata, sang manejer keuangan menjawab, "Maaf Bu Amora. Pada saat ini, uang yang ada di rekening sudah tidak mungkin untuk kita pakai lagi.""Maksudmu?" tanya Amora dengan tatapan tajam, "jelaskan apa maksudmu bahwa uang di rekening sudah tidak bisa digunakan lagi?""Uangnya sudah habis. Pada saat ini, kita sudah sama sekali tidak bisa melakukan pembayaran hutang. Bahkan untuk biaya operasional saja, kita sudah tidak mampu lagi!""Apa?" ucap Amora dengan suara tertahan. "Berapa saham kita yang bisa dijual untuk menutup itu semua?""Sebelumnya saya menghitung sekitar empat
Mendengar tidak ada pilihan lain, kecuali menerima tawaran seorang investor, Amora hanya bisa menarik napas pendek. Dia tahu bahwa ada kemungkinan dia akan kehilangan posisi. Sebagai pemegang saham minoritas, maka tidak ada jalan lain, kecuali ikut dengan pemilik yang terbanyak. Tidak ada yang bisa dilakukan akan hal itu."Baiklah. Aku setuju dengan semua yang kau tawarkan. Apa prosesnya bisa dilakukan sekarang juga?" tekanan yang diberikan Bank Nagara membuat Amora sama sekali tidak bisa memilih. Dia pasti lebih baik menjual delapan puluh persen saham, dari pada dia harus kehilangan perusahaan secara penuh. Setidaknya dengan kehilangan delapan puluh persen saham, dia masih mempunyai kesempatan di masa yang akan datang.Amora duduk di kursi kantor yang empuk dengan perasaan campur aduk. Ruangan meeting yang mewah dengan dinding kaca yang memberikan nuansa kehebatan di masa lalu, terasa begitu menyesakkan hari ini. Di hadapannya terhampar berkas-berkas transaksi yang harus ia selesaika
Suasana di dalam ruangan cukup meriah. Lampu hias dan berbagai ornamen terlihat begitu indah. Banyak meja tertata rapi dengan beragam menu makanan terhidang di meja. Pada hari ini akan dilakukan acara yang cukup meriah di Hotel Mambo Kemilau. Seorang CEO mereka sedang melakukan perayaan ulang tahun. Beragam hiasan dan ornamen mewah tersaji dengan begitu indah. Seakan ingin memberi tahu, betapa mewahnya acara yang sedang dilangsungkan. CEO Hotel Mambo Kemilau yang bernama Stefanus Maurelino, merupakan lelaki berusia 45 tahun. Dia memiliki seorang istri dengan dua orang anak cantik dan juga tampan. Meski banyak yang mencibir kemampuan memimpinnya, yang menurut mereka tidak memiliki kemampuan, tapi tidak ada yang berani secara terang-terangan menyampaikan hal itu. Karena mereka masih sayang dengan jabatan dan juga uang yang mereka dapat secara rutin dari Hotel Hotel Mambo Kemilau. Acara diawali dengan meriah, beberapa keluarga besar serta kolega yang hadir. Beberapa pembisnis serta
Seorang lelaki berkaca mata, langsung mendekati Devano. "Kalau kau mau meminjam uang, maka tidak perlu menyampaikan di tempat ini. Kau bisa mengajukan ke bagian keuangan," ucap seorang lelaki yang menggunakan kaca mata sambil menghampiri Devano. "Tuan Stefanus, saya mohon bantu saya melunasi biaya pengobatan ayah saya. Jika tidak dilakukan pembayaran, maka ayah saya tidak akan dilakukan tindakan pengobatan lebih lanjut. Beberapa waktu yang lalu saya sudah mengajukan ke bagian keuangan, tapi mereka tidak bisa memberi, karena aturan perusahaan tidak mungkin bisa memberikan pinjaman sebesar itu. Saya memohon dengan sangat kepada Anda. Tolonglah saya," ujar Devano dengan raut wajah memelas tanpa menghiraukan perkataan lelaki berkaca mata atau pun cibiran banyak orang. Devano sudah bekerja di Hotel Mambo Kemilau selama dua tahun. Dia adalah pekerja yang sangat rajin. Dia sama sekali tidak pernah melakukan pelanggaran. Dia termasuk orang yang tidak pernah menolak, jika diberi kerja lembu
Devano mengikuti langkah dari lelaki yang merupakan manejernya itu. "Kau ikuti aku, bajingan!" bisik sang manejer umum dengan raut wajah penuh kemarahan. "Kau sengaja membuat aku malu. Apa kau mau, aku dipecat karena ulahmu ini? Apa kau tahu dengan apa yang baru saja kau lakukan bisa membuat diriku kehilangan pekerjaan? Aku sama sekali tidak bisa membantu dirimu. Masih mending kau hanya dipecat, jika mereka menganggap gangguan yang kau lakukan sebagai tindakan kriminal, maka kau bisa juga dipenjara." Devano sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan olah sang manejer. Dia tentu saja tidak ingin membuat orang lain menjadi kehilangan pekerjaan karena dirinya. "Aku tidak ingin membuat susah orang lain. Namun, apa aku salah meminjam uang kepada CEO? Aku melakukan semua ini karena berkaitan dengan nyawa seseorang." "Jelas saja kau telah salah. Bagaimana wajah CEO pada waktu kau mengatakan hal itu di depan banyak orang. Dia tidak mungkin bisa menjawab iya atau pun tidak. Kau sama saja m
Setiba di rumah sakit, Devano langsung berjalan menuju ke kasir. Dia ingin menegosiasikan pembayaran. Dia ingin meminta waktu seminggu lagi. Namun, ketika dia mendekati meja kasir, seorang perawat menemui dirinya dan memberi tahu bahwa ayah angkatnya sudah melakukan operasi lanjutan karena uang yang harus dibayarkan sudah dilunasi. Tentu saja Devano ternganga kaget dan cepat dia bertanya kembali. "Operasi kedua ini membutuhkan biaya berapa besar?" Perawat tersebut tersenyum, lalu memandang ke arah kasir. Dengan sikap sigap, sang kasir memberikan sebuah kuitansi yang bertuliskan angka dua ratus juta. "Apa? Ternyata biaya yang kedua ini lebih mahal! Apa ayah angkatku akan melakukan operasi ketiga?" "Kami belum tahu akan hal itu, tapi ada kemungkinan bisa terjadi, jika dirasa operasi kedua ini tidak berhasil mengangkat sel kankernya secara keseluruhan." "Kapan batas terakhir aku harus membayar uang ini?" "Kau punya waktu seminggu lagi." "Siapa yang sudah membayar biaya operasi ya
Devano memang memiliki sikap keras kepala yang hampir sama dengan ayahnya, jadi pria tersebut sangat memahami. Meski begitu, dia tahu bahwa pemuda yang ada di depannya memiliki hati yang baik dan juga bertanggung jawab. Mendengar perkataan yang dikatakan Devano, pria yang merupakan utusan dari kakek Devano kembali berkata, "Saya rasa kakek Anda akan sangat sedih dengan penolakan Anda untuk kembali ke rumah. Saya harap Anda bisa memahami apa yang bos besar alami. Dia sama sekali tidak ingin membuat Anda menderita. Dia sudah berjanji untuk memberikan apa pun yang Anda inginkan." "Aku tidak membutuhkan apa pun dari lelaki tua itu, lebih baik kau pulang saja," jawab Devano dengan suara datar. Pria tersebut menghela napas pendek. Dia kemudian berkata pelan, "Saya tahu bahwa Anda pasti tidak akan mudah memaafkan Bos Besar. Dia juga mengatakan bahwa Anda mungkin akan membencinya, tapi Anda harus tahu bahwa Bos Besar sangat memikirkan Anda. Dia merasa menyesal karena melakukan sebuah tinda
Meski dia masih ingat bahwa ayahnya dahulu sering mengajaknya berkeliling dunia, tapi dirinya pada waktu itu belum memahami arti sebuah kekayaan. Devano masih belum bisa mencerna nilai yang baru saja disebutkan oleh lelaki yang ada di hadapannya karena nilainnya terlalu besar. Melebihi dari apa yang pernah dia bayangkan sebelumnya. Sekarang dia mulai mengerti tentang apa yang yang terjadi. Dia sangat paham bahwa setiap ada sumber uang, maka di sana juga akan muncul permasalahan. Dia mulai memahami alasan dari kakeknya mengusir dirinya dan juga kedua orang tuanya. Dia mulai curiga dengan penyebab kecelakaan yang menimpa mereka pada waktu itu. Dia yakin bahwa kecelakaan tersebut bukan kecelakaan yang tidak disengaja, tapi ada kemungkinan ada orang yang sengaja ingin membunuh kedua orang tuanya. Meski begitu, Devano masih terlihat ragu untuk menerima uang tersebut. Dia merasa, jika menerima uang tersebut, maka sama saja dengan dia sudah menjual nyawa ayah dan ibunya. Dia tidak mau ter