Sudah sebulan berlalu dengan segala pekerjaan menumpuk. Indira menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dengan rasa lelah yang bergelayut. Dia tidak sempat menikmati waktu senggang. Fashion show di Sanur yang sukses sebulan yang lalu membuat dirinya sibuk. Butik tempat ia bekerja mulai dibanjiri pesanan dan penawaran kerja sama.
Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil dan menyempatkan diri membuka social media yang ia tinggalkan dalam beberapa waktu ini. Berita yang ia baca rata-rata tidak ada yang special. Ketika tangannya mengalirkan layar ke atas, Indira menangkap foto Alden dengan seorang anak kecil sedang tertawa riang.
Rasa penasaran Indira terasa menghentak dan ia membaca captionnya.
‘My life and my sunshine! Be bright and always cheering my days, Renzo!’
Hati Indira begitu tersentuh oleh tulisan tersebut. Tapi itu cukup ganjil. Alden tidak memiliki keponakan atau sepupu lelaki. Abby, kakak Alden, memiliki seorang anak perempuan buk
Setelah sepuluh hari melewatkan saat-saat membosankan di rumah sakit, Indira diperbolehkan pulang. Kali ini ia tidak bisa menolak permintaan Lila, yang meminta Indira untuk tinggal bersama di villa pribadinya.Walau dengan sungkan dan segan, Indira mengiyakan. Lila menunjukkan kamar Indira yang terletak di lantai bawah bangunan tengah.“Di atas adalah kamar Dayu dan aku,” imbuh Lila kembali.Indira tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih. Semua kebaikan ini terasa menganjal dan ia tidak terbiasa menerima dalam hidupnya. Prinsip hidup Indira yang mengandalkan kemampuan diri sangat menentang uluran dari orang lain.Mungkin karena Pramono, kakeknya, mengajarkan jika tidak semua bantuan itu baik dan tulus. Indira menjadi cukup skeptis dan membentengi diri dari hal tersebut.Indira berdecak kagum. Jendela kamarnya menghadap tepat ke hamparan sawah yang menghijau. Villa di kawasan Oberoi, Seminyak tersebut memang lokasinya tepat di areal
Tas kerja Indira sudah nangkring di pundaknya. Ia harus mengayuh sepeda untuk pulang. Indira lebih memilih sepeda kayuh dari pada motor yang tinggal duduk dan menarik gas. Baginya menaiki sepeda adalah seni dan kenikmatan tersendiri.Lila meneriakkan Indira untuk tidak menunggunya pulang cepat malam nanti. Sementara Dayu sudah melesat kembali pulang ke Singaraja sejak siang tadi.“Ok!” balas Indira dan mulai mengenjot sepeda meninggalkan halaman parkir kantornya.Udara sore itu memang sedikit hangat. Peluh Indira mulai menetes dan ia makin bersemangat melewati wilayah pertokoan dan juga pura yang memanjakan mata Indira.Ia mulai merasa betah tinggal di Bali. Bunyi klakson di belakang membuat Indira menepi dan membiarkan mobil itu lewat. Tapi bunyi kembali terdengar. Indira mulai jengkel dan mengira ada pria iseng yang mencoba menggodanya.Dengan rasa malas melayani, Indira mengayuh semakin cepat.“Indi!”Ia men
“Kamu tahu kalo Indira baru keluar dari rumah sakit?” tanya Siwi. Keenan terkejut dan menoleh pada kakaknya.“Eng-enggak. Kamu tahu dari mana?” tanya Keenan heran.“Lila, pemilik butik tempat Indira kerja tadi malam party di tempat temanku. Dia mengatakan desainernya baru sembuh dan show mereka akan tertunda selama seminggu,” jawab Siwi.“Aku akan menengoknya,” ucap Keenan segera menelepon seketarisnya untuk segera memesan tiket ke Bali.“Sebaiknya kamu bicara sama Alden. Kalian udah nggak tegur sapa selama beberapa bulan lebih lho!” tegur Siwi mulai tampak kesal.“Alden menghindar mulu,” kelit Keenan. Siwi menyadari itu. Bukan hanya Keenan. Alden juga menghindar darinya dan Shana.“Mungkin Alden sibuk mengurus Ren saat ini,” gumam Siwi tetap berpikiran positif. “Aku akan bicara dengannya malam ini,” janji kakaknya. Keenan tidak merespons. Betapa
Ketika Indira sedang mempersiapkan diri menghadapi pertemuan tidak sengaja dengan Alden di restoran, tidak lama kemudian, lelaki itu datang bersama Renzo.Loka menyapa keduanya dengan hangat dan penuh persahabatan. Alden terbawa oleh sikap Loka yang sangat gentle juga terbuka.“Ini Renzo. Putraku,” ucap Alden dengan bangga. Loka segera mengajak anak kecil tersebut melihat air mancur sementara memberi waktu untuk Indira mengobrol bersama Alden.“Apa kabar kamu, Ndi?” tanya Alden kikuk. Indira menunduk dan memainkan lap makan dengan jarinya.“Baik. Gimana kabar keluargamu? Anakmu lucu juga,” jawab Indira dengan bahasa yang aneh menurut pikirannya. Itu bukan jawaban yang biasa ia ucapkan!“Baik semua. Kebetulan aku makan dengan keluarga mertua Abby. Mama dan papa nggak ikut,” jawab Alden.“Aku baru tahu kalo kamu punya anak. Selamat ya.”“Thanks. Aku langsung jatuh cinta p
Lorong putih rumah sakit itu cukup ramai pengunjung. Indira bergegas menuju meja resepsionis rumah sakit untuk menanyakan pasien dengan nama Loka. Belum sempat terjawab, seorang pria yang wajahnya mirip dengan Loka muncul.“Indira?”Gadis itu mengangguk dengan ragu.“Aku Metro. Terima kasih sudah mau datang. Mari,” ajaknya. Indira tidak sempat bertanya, ia segera bergegas dan mengikuti langkah panjang Metro. Mereka naik lift dalam diam dan turun di lantai tiga. Dada Indira makin berdebar ketika mereka tiba di depan sebuah kamar. Mereka memasuki kamar tersebut dan ada seorang pria separuh baya asing yang duduk dengan tubuh lunglai.“Dad, this is Indira,” ucap Metro mengenalkan Indira pada ayahnya. Indira mengangguk dengan segan. Pria bermata biru agak kehijauan tersebut menepuk pundak Indira dengan lembut.“Thank for coming. Really appreciated,” sambutnya dengan suara serak. Indira tersenyum dengan kec
Wanita dengan penampilan sensual tersebut, Bella, duduk dengan wajah cemberut di sebelah Indira. Keduanya masih menunggu keputusan dokter tentang kondisi Loka. Metro mondar mandir dengan wajah cemas. Ayah mereka hanya duduk di ujung ruang tunggu dengan ekspresi pasrah.“Jika ini semua sudah selesai, aku harap kau tidak akan pernah muncul lagi di kehidupan kami!” cetus Metro pada Bella dengan ketus.“Jangan menyalahkan aku, Metro! Dalam kejadian itu kau juga turut andil!” bantah Bella dengan sinis.Indira telah mendengar semua cerita dari ayah mereka. Sebuah kesalahan yang sangat memalukan terjadi dalam keluarga mereka.Sejak ibu dari Metro dan Loka meninggal, Derek, ayah mereka jarang sekali berada di rumah. Kedua putra mereka terlibat dalam pergaulan bebas dan menjadi lepas kendali.Hingga suatu malam, saat pesta ulang tahun Loka mereka dalam kondisi mabuk. Kekasih Loka, Bella, dalam kondisi tidak sadar bercinta dengan Metr
Sudah seminggu ini, Indira berusaha mengatur waktu antara pekerjaan dan juga menjenguk Loka. Tidak lagi ada pikiran untuk mencari kabar tentang Alden. Semua rasa penasarannya lenyap. Memang terkadang ada rasa bersalah karena tidak kembali menghubungi Alden, tapi ia sedang belajar memilih prioritas dalam hidupnya.Alasan utama bagi Indira menetapkan hati adalah karena ia ingin bahagia dengan pilihan yang sesuai dengan kondisi dan alur hidupnya.“Kamu yakin? Tidak ada lagi Alden dalam hidupmu? Bagaimana dengan Keenan? Aku dengar dia juga datang dan mengiyakan undangan temanku untuk pesta akhir minggu ini!” seru Lila sambil menyeruput kopinya.Dayu melirik ke arah Indira yang sibuk menatap laptop dan mengirim email pada penjahit utamanya.“Dua cowok itu bakalan nongol terus dalam hidupku, Mbak. Tapi sekarang aku punya janji dengan Loka yang jauh membutuhkan dukungan dan motivasiku,” sahut Indira.“Menurutmu, kenapa mereka
Perjodohan yang tanpa sengaja muncul dalam kepala Indira ternyata berbuah baik. Dayu sangat cocok dengan Metro yang ternyata manusia yang sangat serius. Keduanya sama-sama memiliki hobi dalam bidang bisnis dan akuntan.“Dua manusia kalkulator siap berkolaborasi!” ledek Loka tentang kedua pasangan tersebut. Indira terbahak dengan sebutan tersebut.Metro dan Dayu saling melempar senyum dengan bangga. Tidak terasa sejak operasi pengangkatan tumor otak Loka dua bulan lalu, kondisi Loka makin membaik dan Indira bersyukur karena tidak lagi harus mengunjungi Loka di rumah sakit.“Aku sangat benci bau steril rumah sakit,” protes Indira kemudian mengakui tentang kejengkelannya setiap mengunjungi Loka.“Semoga masa itu sudah berakhir,” harap Metro dengan gelisah.Kemajuan Loka memang cukup drastis. Namun justru itu yang ia takutkan. Ayahnya sendiri tidak yakin Loka bisa pulih lagi seutuhnya.“Ini seperti bom w