Shana baru selesai mandi dan merebahkan tubuhnya di kasur. Rasa segar menyingkirkan perasaan penuh emosinya. Berkat Siwi kini perlahan menyusut.
"Udah mendingan?" tanya Siwi yang muncul di pintu kamar yang tidak terkunci.
"Seger dan tenang," jawab Shana sembari menepuk kasurnya mengajak Siwi bergabung.
"Tadi serem juga loe ngamuk," canda Siwi sembari melemparkan diri ke kasur.
"Norak nggak sih?"
"Enggak juga. Itu cewek yang namanya Dania emang belagu banget."
"Gue muak banget, Wi. Kayak udah mentok semua simpati gue buat mereka. Belum apa-apa udah banyak gaya."
"Nah itu, banyak gaya dan mentang-mentang. Gue dukung sih tindakan loe, Shan."
"Thanks, Wi. Ini kayak flashback ...,"
"Hidupmu dulu, ya gue ngerti," potong Siwi. Mata Shana berkaca-kaca.
Jika bukan karena siswa berprestasi, Shana tidak mungkin kuliah hingga ke Australia. Ibunya hanya pegawai Tata Usaha sebua
Keenan mengakhiri rapat pagi itu dengan senyum mengembang. Setelah beberapa minggu selalu tampil murung, kini Keenan tampil berbeda. Fatar menyindir halus dan menggodanya. Keenan membalas dengan tertawa lepas."Ada sesuatu beneran nih kayaknya, sudah dapat yang dikejarkah?" selidik Fatar yang berakhir menjadi dekat dengan Keenan karena semua saran baiknya tentang keuangan."Lebih pada mengubah taktik dan cara pandang," sahut Keenan dengan helaan napas panjang."Good, yang membuat suasana hati dan pikiran itu memang cara pandang kita, kok," timpal Fatar senang dengan perubahan baik pada atasannya."Yup, seribu persen betul." Keenan membenarkan."Fatar, aku boleh tanya hal pribadi?" tanya Keenan kemudian."Please. Semoga saya bisa jawab, Pak," jawab Fatar ringan."Bagaimana kamu bisa menikah muda dan bahagia? Aku lihat rumah tanggamu sangat harmonis dan sejahtera," lontar Keenan dengan dahi berk
Alden membuka kembali file yang sudah ia dapatkan dan tampak termenung di meja kantornya. Pikirannya dipenuhi kebimbangan apakah dia harus memberitahu Siwi dan Keenan atau tidak.Resiko terburuknya adalah kedua sepupunya akan menuduh Alden sebagai perusak hubungan baik dan juga reaksi Indira yang mungkin akan terpuruk.Dilema sulit kini ia hadapi. Namun jika menutup semua itu, Alden sama saja dengan Widari beserta anteknya."Al," sapa Siwi sudah nyelonong masuk dan duduk di hadapannya dengan kertas A3 denah gedung baru mereka."Hei, Wi." Alden langsung tergagap dan buru-buru menutup dokumen yang terbentang di mejanya.Sayang, sebuah kertas perjanjian yang Haris temukan jatuh dan Siwi dengan sigap memungutnya. Alden pasrah saat Siwi kemudian membacanya.Wajah wanita yang sudah ia anggap kakak tampak pucat pasi."Ini apa, Al?" tanya Siwi gemetar. Alden menelan ludah dengan tidak nyaman."Bu
Tahun 1987Indri meminta suaminya supaya cepat bergegas. Ratno mengiyakan dan segera memakai sepatu.“Indi, mama sama papa pergi dulu ya, Sayang,” pamit Indri sambil mengecup buah hatinya yang baru berusia dua tahun.“Hati-hati di jalan. Ini kayaknya mau hujan!” seru Pramono sambil mengambil alih cucunya dari gendongan Indri, menantunya.“Iya, Pak. Kami cepat pulang kok. Paling bayar dan langsung pulang, Pak,” timpal Ratno dengan semangat.“Setelah ini selesai, kita bisa melanjutkan usaha dengan maksimal tanpa sangkutan hutang,” harap Ratno penuh optimis. Pramono tersenyum lembut.“Jangan lupa isi bensin sebelum jalan!” seru Pertiwi, ibu mereka. Ratno dan Indri mengiyakan dengan serentak.Pramono mengiringi kepergiaan keduanya dengan penuh doa. Indri dan Ratno berniat akan membayar hutang pada Widari. Pramono sudah tidak sanggup menghadapi tekanan dari Widari. Untunglah, sete
Ketika Alden menerima tugas untuk menyampaikan pada Indira mengenai rahasia kelam Widari, ia tidak mampu menolaknya.Pagi itu, ia sibuk menghindari Indira untuk mencari cara supaya tidak menuntaskan tugasnya.“Kamu sengaja ya?” tanya Shana pada Alden. Pemuda itu mengerutkan kening dan pura-pura tidak mengerti.“Maksudmu?”“Jangan pura-pura deh. Basi!” cibir Shana. Alden memilih untuk tidak menanggapi.“Kasihan Indira, Al. kamu mau menunda sampai kapan?” tanya Shana berubah melunak.Ada helaan napas yang terdengar begitu berat.“Aku nunggu waktu yang tepat aja,” sahut Alden sekenanya. Ada decak kesal pada wanita itu.“Kamu mau aku yang menyampaikan? Kan nggak lucu!”“Aku bilang nunggu waktu yang tepat, Shan.”“Udah ah, ngeles melulu.”Shana meninggalkan Alden dengan hati jengkel.***Narti akhirnya k
Siwi tidak lagi sanggup tinggal di Jakarta. Hingga pada detik terakhir ia kembali ke Salatiga, wanita itu memilih untuk tidak menyapa kedua orang tuanya. Siwi menyerahkan pada Keenan untuk merampungkan urusan eyangnya selanjutnya. Di sisi lain. Keenan mendesak ayahnya untuk menempuh jalur hukum. Tapi Seto masih tidak menyetujui. Alasannya, ibunya terlalu tua untuk berada dalam penjara.“Ya! Tapi tidak memikirkan Indira yang masih balita dulu, terlalu kecil untuk menjadi yatim piatu!” cecar Keenan sadis dan tanpa ampun.“Oh Tuhan, berhentilah menyalahkan papa, Keen,” pinta ibunya dengan sedih.“Terus menyalahkan siapa?!” tanya Keenan makin geram. “Kenyataannya, papa tahu dan malah turut menutupi serta membungkam fakta tersebut!” cecar Keenan lagi.“Eyang tidak mungkin kita tuntut dengan kondisinya yang sudah berusia tujuh puluh tahun, Keen,” timpal Vero meminta anaknya untuk mengendurkan tuntutan.
Udara pagi sangat dingin dan kabut tipis melayang di daerah Salatiga yang telah terguyur air sejak pagi. Alden masih termenung di dalam kamarnya. Sudah tiga bulan Indira pergi, ia tidak bisa tidur lelap sedikit pun.Kasus Widari ia tinggalkan dan lagi peduli akan semua urusan rumit. Baginya saat ini mencari cara bagaimana dia bisa melacak jejak Indira. Proyek yang sedang ia kerjakan dengan Shana dan Siwi pun menjadi terbengkalai. Hidupnya menjadi kacau.Setiap hari hanya keluyuran tanpa arah yang jelas. Alden seperti burung yang sayapnya telah patah, tak mampu terbang kembali.Tangannya menyambar kaos dan turun dari tempat tidur, dengan bertelanjang kaki menuju ke dapur. Harum aroma kopi menyeruak hidung. Siwi mengangsurkan gelas berisi kopi padanya. Keenan sudah menikmati kopi, gelas yang kedua.“Nggak bisa tidur lagi?” tanya Siwi. Alden menyesap kopi dan kesegaran aroma juga rasanya membuat nyaman dan juga bersemangat.“Aku tidu
Semua persiapan selama dua minggu, kini menuju hari yang mereka Tunggu. Indira sudah memastikan masing-masing berjalan dengan lancar. Dayu yang mendapat bagian pengatur acara mereka terlihat sangat repot. Sedangkan Indira duduk manis menyiapkan diri untuk mendampingi modelnya pada penampilan terakhir nanti. Kali ini, Lila memberi kesempatan pada Indira untuk tampil.“Jangan grogi, tetap senyum dan lambaikan tangan dengan elegan,” pesan Lila pada Indira. Gadis itu mengangguk dengan kikuk. Dia tidak terbiasa tampil. Namun karena tuntutan Lila, terpaksa ia mengiyakan permintaan tersebut.“Kamu desainer baju tersebut. Nggak lucu kalo kau yang tampil dan mengambil porsi panggungmu,” cetus Lila memberi alasan.Khusus hari pertama, butik mereka mendapat kesempatan untuk tampil selama dua jam penuh. Lila berhasil meyakinkan pihak panitia untuk memegang peluang ekslusif pada fashion week kali ini.Satu persatu model melenggang di catwalk de
“Aku nggak membuka sesi tanya jawab dan informasi mengenai kami,” sambar Indira saat kembali pada Lila dan Dayu. Keduanya yang siap membuka mulut, seketika menutup kembali dengan wajah kesal.“Kenapa nggak cerita sih tentang kedekatan kamu sama mereka? Harusnya kamu kan bangga jadi gadis pujaan dua cowok ganteng yang digandrungi seluruh perempuan Indonesia,” cetus Dayu. Indira duduk di sebelah Lila dengan menggelengkan kepala.“Tidak ada yang perlu dibanggain kali. Aku hanya bersahabat dengan mereka aja kok,” sanggah Indira masih merendah.“Kata Dania, kamu malahan sempat pacarana sama Keenan. Masih mau ngeles?” tuntut Dayu. Indira segera menoleh ke arah Dania yang kini tersenyum kikuk dan segan.“Itu dulu, waktu masih kecil,” jawab Indira melirik tajam pada si biang gossip.‘Dasar perempuan sok tahu,” batin Indira geram.“Astaga? Tiga tahun lalu itu bukan kecil la