Ketahuan nggak nih, kira-kira???? đ¤
Rafka terlihat gelisah. Ia tidak mau Aluna tahu bahwa dirinya ada di tempat itu. Karena memang lelaki itu datang secara diam-diam."Raf, ada apa?" tanya Rania yang ikut gelisah. "Aluna tengah berjalan ke mari, Ran. Apa yang harus aku lakukan?" ucap Rafka dengan suara yang sangat lirih. "Kamu masuk ke toilet saja, Raf. Cepat!" ujar Rania. Ia menyuruh Rafka masuk ke toilet khusus pasien yang ada di dalam ruangan itu. Rafka mengangguk dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Ia segera mengunci pintunya dari dalam.Pintu ruangan Rania terbuka setelah beberapa detik Rafka berhasil masuk ke kamar mandi. Rupanya Aluna yang datang bersama Rendi."Mbak Rania, sudah bangun? Maaf ya,bak Rania malah Aluna tinggalin sendirian di sini. Habisnya Kak Rendi maksa Aluna buat nemenin dia," jelas Aluna panjang lebar. Ia tidak ingin Rania salah paham terhadapnya. Rania mencoba untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, Luna. Mbak ngerti kok." Aluna memegangi perutnya. Tiba-tiba ia merasa ingin kencing. Gadis itu
Aluna terperanjat dan seketika menjauhkan tubuhnya dari samping Bayu. Ia malu karena kepergok teman baiknya tersebut. "Eh, iya nih. Kak Riko ngirim pesan. Katanya mau ajak aku ke acara pesta temannya. Pasti seru, ya?" ujar Aluna riang gembira. Raut wajah Bayu berubah serius. Ia kembali merapatkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Luna. "Kalau saran aku sih, Lun. Sebaiknya kamu tidak usah datang. Perasaanku nggak enak. Takut kamu kenapa-napa." "Kok kamu gitu sih, Bay?! Nggak sejalan banget otak kita." "Lun ... sejak awal kamu kenalin Kak Riko, aku pikir dia bukan lelaki baik-baik. Percayalah. Aku khawatir sama kamu." "Udahlah, Bay. Aku jadi bete, nih. Aku mau ke toilet dulu." *** Siang harinya Romi membawa berita baik untuk Rania dan Dewi. Wanita itu sudah diperbolehkan pulang di sore hari. "Aku mau ke luar sebentar ya, Wi." Tiba-tiba Romi izin pergi setelah mengabarkan berita baik itu kepada istri dan anaknya. "Mau ke mana, Pak?" tanya Dewi penasaran. "Ada urusan sebentar. T
"Bapak jujur saja sekarang. Kenapa tadi pergi ke sekolah Julio?" tanya Dewi dengan menahan diri agar tidak emosi. Sedari tadi ia meminta Romi berbicara yang sebenarnya. Tetapi lelaki itu hanya diam saja. "Apa benar Bapak ada hubungan dengan mamanya Rafka? Atau ada sesuatu yang Bapak sembunyikan tentang Julio?" "Tiâtidak. Tidak begitu, Wi. Kamu salah sangka. Aku hanya ingin mengembalikan benda kecil ini. Sepertinya milik Julio." Dewi segera merebut benda kecil yang dibawa Romi. Sebuah flashdisk yang kemungkinan dipakai untuk menyimpan data-data milik Julio saat ada tugas dari gurunya. Tetapi Dewi tidak begitu paham dengan benda itu. "Ini apa sih, Pak? Dewi tidak mengerti." Dewi pun berterus terang. "Bapak juga tidak tahu, Wi. Tetapi biasanya seperti ini dipakai untuk mengerjakan tugas anak sekolah. Jadi bapak pikir ini sangat penting. Takut jika Julio membutuhkannya." "Oh, jadi begitu. Kenapa Bapak tidak berterus terang saja tadi. Bikin ibu curiga saja." Romi garuk-garuk kepala
Rendi kebingungan harus menjawab apa. Ia takut jika salah bicara. "Itu ... Anuâ" Tangan Rendi menunjuk-nunjuk ke arah Rania yang sudah berada di dalam rumah. "Apakah Rania itu wanita simpanan?" tanya Bu Titin dengan berbisik. "Kalau ibu perhatiin sepertinya dia sedang hamil." 'Duh, mau jawab apa nih? Nanti kalau Bu Titin salah sangka bisa-bisa Bu Rania diusir dari kos-kosan.' Rendi dikejutkan dengan suara ponselnya yang berbunyi. Begitupun dengan Bu Titin yang refleks menjauhi lelaki itu. "Oh, baik, Bu. Terima kasih. Saya akan segera ke sana." Rendi memasukkan kembali ponselnya dalam saku. Ia segera kabur dari Bu Titin agar tidak ditanyai macam-macam lagi. "Eh, Ren. Mau ke mana? Kok buru-buru!" teriak Bu Titin yang sebenarnya sudah sangat penasaran tentang Rania. Rendi segera masuk ke tempat Rania. Tadi wanita itu meneleponnya agar ikut makan bersama. Dewi telah menyiapkan beberapa makanan meski tidak mewah. "Rendi, kamu ke mana saja? Kok langsung menghilang tadi," sapa Rania
Beberapa menit menunggu kedatangan Bayu, akhirnya lelaki itu datang juga. Ia berjalan cepat menghampiri temannya itu. "Lun ... apa yang terjadi?" tanyanya penuh rasa khawatir. Aluna langsung mendekap tubuh Bayu. Ia kembali menangis sejadi-jadinya. "Kak Riko, Bay ...." "Sebaiknya kita segera pergi dari sini." Bayu memakaikan jaketnya pada tubuh Aluna. Lalu memapah tubuh gadis ke dalam mobilnya. Hatinya ikut merasa sakit melihat perempuan yang ia cintai telah direnggut paksa kesuciannya. Lelaki itu sudah paham apa yang terjadi kepada Aluna. Dugaannya selama ini benar. Riko hanya mengintai tubuhnya dan mencari waktu yang tepat untuk melancarkan aksinya. Di dalam perjalanan Aluna terus terdiam. Ia merasa hidupnya tak berguna. Sempat terlintas di dalam hati untuk mengakhiri hidupnya saja. "Lun, kamu sabar ya? Jika ada apa-apa hubungi aku saja. Aku akan selalu ada untukmu." Bayu menggenggam tangan Luna. Ia berusaha untuk menguatkan gadis itu. Aluna hanya diam. Ia benar-benar merasa
Rania berusaha membangunkan Dewi. Tetapi ibunya tersebut tetap tak sadarkan diri. Wanita itu tidak punya pilihan lain. Ia berteriak meminta tolong kepada orang-orang sekitar yang ada di sana. Beruntung ada satu orang yang menawarkan kebaikan agar Dewi masuk ke dalam mobilnya dan segera dibawa ke rumah sakit. Dia adalah seorang lelaki yang cukup tampan. Lelaki itu mengangkat tubuh Dewi dan membantu memasukkan barang-barang belanjaan Rania ke dalam bagasi mobilnya. Ia melajukan mobil cukup kencang agar segera tiba di sebuah rumah sakit. Tak butuh waktu lama mobil lelaki itu telah berhenti di sebuah rumah sakit besar. Ia segera mengangkat tubuh Dewi dan mencarikan seorang dokter. "Terima kasih atas pertolongannya. Saya tidak tahu jika tidak ada Anda tadi pasti Ibu saya tidak segera ditangani," ucap Rania setelah ibunya masuk ke dalam sebuah ruangan di rumah sakit berkat pertolongan seorang lelaki yang tak dikenalinya. "Tidak perlu berterima kasih. Sudah kewajiban kita sesama manusia
Devan tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya. Ia bingung harus menjawab apa. Mungkin sebaiknya membiarkan Aluna masuk dan tahu sendiri bagaimana keadaan ibunya. "Masuklah. Rania ada di dalam," balas Devan sopan. Aluna mengangguk cepat. Ia segera masuk untuk menghampiri kakaknya dan melihat kondisi ibunya. Sementara Bayu dan Devan menunggu di luar. Mereka terlihat saling mengenalkan diri dan berbicara serius. Aluna berjalan pelan ketika melihat Rania menangis tersedu-sedu di samping Dewi. Ibunya tersebut terlihat memejamkan kedua mata dengan bibir yang memucat. "Mbak Rania, kenapa menangis?" tanya Luna pelan. "Apa yang terjadi sama Ibu?" Aluna semakin mendekat. Menyaksikan keadaan ibunya yang sudah tidak bergerak sama sekali. "Ibu sudah meninggal, Lun. Ibu sudah tiada." Rania semakin menangis kencang. Tiba-tiba tingkahnya seperti orang aneh. Ia seperti kesurupan dan berusaha menyakiti tubuhnya sendiri. "Mbak Rania yang sabar, Mbak. Tolong jangan seperti ini." Aluna berusaha
"Mas Amar?" lirih Rania tidak percaya. Ia merasa kaget dengan kedatangan mantan suaminya yang tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya datang seorang diri tanpa istrinya. Amar berjalan sambil melirik ke arah Devan. Dari gelegatnya timbul rasa cemburu yang membara. "Biar saya yang mengantarkan Rania." Mantan suami Rania tersebut mengulangi ucapannya. Memperlihatkan kepada Devan bahwa dirinya yang lebih pantas. Kemudian ia menghampiri Rania yang masih terlihat lemah. "Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ibu. Kamu yang sabar ya, Ran? Aku akan mengantarkanmu pulang." Amar berucap dengan yakin. Wajahnya ikut terlihat sedih. Walau bagaimanapun juga dulu Dewi adalah mertua yang cukup baik. Meski sempat menentang hubungannya dengan Rania. "Tapi Mas? Tisa bagaimana? Aku takut nanti dia salah paham." Rania tidak ingin disalahkan. "Dia sudah memberikan izin kepadaku. Tadi dia masih ada keperluan dengan Paman Danis." Amar menjelaskan dengan jujur. Ia mengetahui kabar kematian Dewi dari Tisa yang