So sad......... Mengsedih ya...... Setelah ini bab nya langsung menceritakan beberapa tahun ke depan ya Kakak... Terima kasih untuk yang masih setia mengikuti novel ini.... :)
“Mama ....” Alsha berlari dan langsung memeluk sang mama saat tiba di rumah. Anak kecil itu terlihat sangat bahagia. Disusul oleh Alma—kembaran Alsha yang selalu dipanggil kakak oleh gadis kecil menggemaskan itu. Karena Alma terlahir ke dunia lebih dulu meski hanya selisih beberapa menit saja. Alma langsung menyalami tangan Rania. Namn gadis kecil itu tampak tak bersemangat. Berbeda jauh dengan Alsha yang selalu ceria. Alsha masih bergelayut manja mendekap pinggang sang mama. Sementara Alma duduk di sofa. “Bagaimana sekolahnya?” tanya Rania penuh perhatian. “Lancar, Ma.” Setelah mengatakan kalimat itu, tiba-tiba wajah Alsha berubah menjadi sedih. “Kenapa, Sayang?” Rania jadi khawatir. “Papa kapan pulang, Ma? Alsha kangen banget sama Papa,” lirih Alsha dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Rania terdiam sejenak. Tidak menyangka jika putrinya akan menanyakan hal itu kepadanya. Kemudian ia segera mengusap pelan kepala Alsha untuk menenangkannya. “Sebentar lagi, Sayang. Pasti
"Eh, maaf Bu Rania. Tiba-tiba perut saya terasa sakit. Saya mau ke toilet dulu." Dimas langsung berlari ke belakang. Padahal Rania sangat membutuhkan jawaban darinya. Wanita itu merasa sangat penasaran. Ia memutuskan untuk keluar dari restorannya. “Sepertinya aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri. Biar aku tidak penasaran lagi. Memangnya bos baru itu mirip dengan siapa? Sampai-sampai karyawannya histeris seperti itu.” Rania berjalan dengan cepat. Tiga langkah keluar dari area restoran, wanita itu dikejutkan dengan sosok lelaki yang berdiri tidak jauh darinya. Tepatnya lelaki itu sudah berada di jalan yang sama dengan Rania.'Mas Rafka? Benarkah itu kamu?' batin Rania tak percaya. Ia dapat merasakan hatinya menjerit memanggil nama Rafka. Apakah ini maksud dari mimpinya semalam dan beberapa hari yang telah berlalu itu? Lutut Rania terasa lemas. Kepalanya mendadak pusing. Namun wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk tidak oleng di tempat. Beberapa detik lamanya Rania masih d
“Lalu ke mana dia sekarang? Kenapa tidak menemuimu?” tanya Dave penuh selidik. Rania menghirup nafas sepenuh dada. Ia merasakan seperti ada beban yang sangat berat sedang menikam tubuhnya. “Itu masalahnya, Dave. Dia tidak mengenaliku. Aku tadi memarahinya karena menemukan buku diary milikku yang hilang. Dia juga membacanya.” “Mungkin mereka hanya mirip, Ran. Kamu terlalu merindukan Rafka. Padahal di sini ada aku yang selalu ada untukmu.” Rania terdiam mendengar ucapan dari Dave. Setiap kali membahas tentang Rafka, ia selalu bersikap seperti itu. Membuatnya merasa kesal. “Maafkan aku, Dave.” “Ya sudah. Lebih baik kita pulang saja sekarang. Apa kamu tahu jika Alsha dan Alma sedang menunggumu di rumah? Kamu bilang hanya ke restoran sebentar,” ungkap Dave mengingatkan. “Kok kamu bisa tahu, Dave?” tanya Rania tidak mengerti. Dave berdiri dari duduknya dan segera mengajak Rania untuk kembali ke restoran. Dokter tampan itu sengaja membuatkan minuman hangat untuk Rania agar merasa le
Semenjak menikah dengan Bayu, Aluna tidak pernah merasakan bahagia. Suaminya tersebut hanya bekerja dengan gaji yang sangat kecil. Wanita itu tidak bisa untuk hanya sekedar shopping di mini market terdekat. Aluna pun hanya bisa makan seadanya. Apalagi setelah kepergian Rafka, ia tidak pernah mendapatkan uang tambahan lagi. “Pokoknya aku mau kerja!” ucap Aluna sewot. Suami pulang kerja bukannya disediakan minuman atau cemilan, tetapi justru diajak berdebat. “Terus gimana nasib Nabila, Lun? Apa kamu tidak kasihan sama dia?” tanya Bayu dengan nada rendah. Ia tidak mau sang istri tersinggung akan ucapannya. “Besok kamu libur ‘kan? Anterin aku ke rumah Bapak. Nabila aku titipkan saja sama Bapak. Biar sekolah di sana. Lumayan gratis.” “Kamu yakin? Nggak bakalan nyesel?” Bayu merasa tak tega dengan Nabila meskipun gadis kecil itu bukanlah anak kandungnya. Aluna terdiam. Ia kemudian pergi ke belakang. Membuatkan teh hangat untuk Bayu karena tenggorokannya terasa kering. “Sama Bapak akan
Beberapa menit telah berlalu. Alsha sudah tertidur dengan lelap. Rania mencium keningnya sejenak kemudian kembali ke kamarnya sendiri. Wanita itu segera mengecek ponselnya kembali. Apakah pesannya sudah dibalas oleh Nina atau belum. Rupanya Rania suda tidak bisa melihat profil milik Nina lagi. Ia sudah diblokir oleh sahabat suaminya itu. “Apa yang terjadi? Kenapa Nina memblokir akun milikku?” Rania semakin tak tenang. Ia pikir akan mendapatkan sebuah informasi dari wanita itu. Namun sekarang ia justru bertambah rasa penasaran yang ia miliki. Lagi-lagi kepala Rania terasa pusing saat memikirkan banyak hal. “Lebih baik aku tidur saja sekarang. Aku tidak boleh jatuh sakit. Jangan sampai membuat Alsha dan Alma jadi khawatir.” Keesokan harinya Rania bangun kesiangan. Matanya masih terasa berat. Ia baru saja menyingkap selimutnya dan mendapati putri kembarnya berlarian menghampirinya. Ternyata Alsha dan Alma sudah rapi dengan seragam sekolahnya. “Mama ... kenapa belum bangun?” Alsha te
Alsha berdiri di dekat dedaunan. Dadanya bergerak naik turun karena kelelahan. Namun tiba-tiba ada yang menarik tangannya dan mengajaknya sembunyi dibalik dedaunan itu. Hampir saja Alsha menjerit. Namun seorang anak lelaki yang sepertinya lebih tua dari Alsha menempelkan jari telunjuk di bibirnya. “Ssstt ... biarkan lelaki jahat itu pergi dulu. Kita aman di sini.” Alsha mengangguk paham. Ia bisa melihat jika seseorang di dekatnya itu tulus menolongnya. Beberapa waktu kemudian, lelaki dewasa tadi telah pergi. Alsha pun keluar dari tempat persembunyiannya. “Minum ini. Pasti kamu sangat haus.” Seseorang di dekatnya itu mengulurkan botol minuman yang dikeluarkan dari dalam tasnya. “Terima kasih.” Alsha terlihat sangat senang. Kedua sudut bibirnya terangkat hingga menampilkan senyumannya yang begitu manis. “Rumah kamu di mana? Aku antar pulang ya?” Anak lelaki itu mengulurkan tangannya. “Perkenalkan nama aku Dito.” Alsha meraih uluran tangan Dito. Ia hendak menyebutkan naman
Rania melihat nama yang tertera pada layar notifikasi di handpone-nya. Ternyata pesan dari Aluna. Sudah lama Rania tidak berkunjung ke rumah adiknya. Ia bahkan tidak sempat meneleponnya karena sibuk bekerja demi menghilangkan kesedihan yang masih sering hinggap di hatinya. [Mbak gimana kabarnya sekarang? Kapan pulang kampung? Bapak kangen dijengukkin sama Mbak Rania.] “Jadi kamu sekarang sedang bersama Bapak, Lun? Mbak juga kangen sama Bapak. Sampaikan maaf Mbak karena belum bisa menjenguk Bapak di kampung. Nanti kalau si kembar sudah liburan, Mbak usahakan pulang kampung.” Beberapa detik kemudian ponsel Rania berdering kembali. Namun kali ini berganti dengan sebuah panggilan telepon dari Aluna. Baru saja Rania mengangkat telepon tersebut, Aluna langsung berbicara pada intinya. “Mbak, Aluna mau ngomong serius nih.” “Ada apa sih, Lun? Mbak pikir Bapak yang mau bicara.” Rania menghela nafas berat. Ia tahu jika Aluna selalu butuh uang lebih. Berapapun nominal yang dimiliki oleh adi
“Kita makan dulu yuk Sayang,” ajak Rania kepada Alsha dan Alma. “Tanggung ini, Ma.” Jawaban dari Alma membuat Rania tak bersemangat. Ia segera menghirup udara kuat-kuat. Mereka benar-bener membutuhkan sosok seorang ayah. Tetapi hati wanita itu belum bisa menerima Dave sebagai pengganti Rafka. Apalagi ia telah dipertemukan dengan sosok lelaki yang begitu mirip dengan wajah suaminya. “Dave ... ajak anak-anak makan malam dulu, ya?” lirih Rania berbisik kepada Dave. Hanya itu yang bisa Rania ucapkan kepada dokter tersebut. Lelaki itu tampak tersenyum senang. Dave menganggukkan kepalanya. Kali ini ia merasa dibutuhkan oleh Rania kembali. “Alsha dan Alma ... sekarang waktunya kita makan dulu. Nanti dilanjut lagi ya, anak-anak?” Dave mengusap kepala mereka satu persatu dengan lembut. “Siap, Pak Dokter!” “Siap, Om Dave!” Alsha dan Alma berucap bersamaan. Kemudian mereka saling berpandangan karena cara memanggil nama yang berbeda. Alma tidak suka jika Alsha memanggil seperti itu. “Suda