Semoga Alsha baik-baik saja ya....
Alsha berdiri di dekat dedaunan. Dadanya bergerak naik turun karena kelelahan. Namun tiba-tiba ada yang menarik tangannya dan mengajaknya sembunyi dibalik dedaunan itu. Hampir saja Alsha menjerit. Namun seorang anak lelaki yang sepertinya lebih tua dari Alsha menempelkan jari telunjuk di bibirnya. “Ssstt ... biarkan lelaki jahat itu pergi dulu. Kita aman di sini.” Alsha mengangguk paham. Ia bisa melihat jika seseorang di dekatnya itu tulus menolongnya. Beberapa waktu kemudian, lelaki dewasa tadi telah pergi. Alsha pun keluar dari tempat persembunyiannya. “Minum ini. Pasti kamu sangat haus.” Seseorang di dekatnya itu mengulurkan botol minuman yang dikeluarkan dari dalam tasnya. “Terima kasih.” Alsha terlihat sangat senang. Kedua sudut bibirnya terangkat hingga menampilkan senyumannya yang begitu manis. “Rumah kamu di mana? Aku antar pulang ya?” Anak lelaki itu mengulurkan tangannya. “Perkenalkan nama aku Dito.” Alsha meraih uluran tangan Dito. Ia hendak menyebutkan naman
Rania melihat nama yang tertera pada layar notifikasi di handpone-nya. Ternyata pesan dari Aluna. Sudah lama Rania tidak berkunjung ke rumah adiknya. Ia bahkan tidak sempat meneleponnya karena sibuk bekerja demi menghilangkan kesedihan yang masih sering hinggap di hatinya. [Mbak gimana kabarnya sekarang? Kapan pulang kampung? Bapak kangen dijengukkin sama Mbak Rania.] “Jadi kamu sekarang sedang bersama Bapak, Lun? Mbak juga kangen sama Bapak. Sampaikan maaf Mbak karena belum bisa menjenguk Bapak di kampung. Nanti kalau si kembar sudah liburan, Mbak usahakan pulang kampung.” Beberapa detik kemudian ponsel Rania berdering kembali. Namun kali ini berganti dengan sebuah panggilan telepon dari Aluna. Baru saja Rania mengangkat telepon tersebut, Aluna langsung berbicara pada intinya. “Mbak, Aluna mau ngomong serius nih.” “Ada apa sih, Lun? Mbak pikir Bapak yang mau bicara.” Rania menghela nafas berat. Ia tahu jika Aluna selalu butuh uang lebih. Berapapun nominal yang dimiliki oleh adi
“Kita makan dulu yuk Sayang,” ajak Rania kepada Alsha dan Alma. “Tanggung ini, Ma.” Jawaban dari Alma membuat Rania tak bersemangat. Ia segera menghirup udara kuat-kuat. Mereka benar-bener membutuhkan sosok seorang ayah. Tetapi hati wanita itu belum bisa menerima Dave sebagai pengganti Rafka. Apalagi ia telah dipertemukan dengan sosok lelaki yang begitu mirip dengan wajah suaminya. “Dave ... ajak anak-anak makan malam dulu, ya?” lirih Rania berbisik kepada Dave. Hanya itu yang bisa Rania ucapkan kepada dokter tersebut. Lelaki itu tampak tersenyum senang. Dave menganggukkan kepalanya. Kali ini ia merasa dibutuhkan oleh Rania kembali. “Alsha dan Alma ... sekarang waktunya kita makan dulu. Nanti dilanjut lagi ya, anak-anak?” Dave mengusap kepala mereka satu persatu dengan lembut. “Siap, Pak Dokter!” “Siap, Om Dave!” Alsha dan Alma berucap bersamaan. Kemudian mereka saling berpandangan karena cara memanggil nama yang berbeda. Alma tidak suka jika Alsha memanggil seperti itu. “Suda
Rania melihat Alsha masih mengerjakan tugas sekolah seorang diri. “Sayang, belum selesai ngerjain PR-nya? Kakakmu mana?” tanya Rania lembut seraya ikut duduk di samping Alsha dan mengecek pekerjaannya. “Katanya Kak Alma sudah ngantuk, Ma. Makanya istirahat duluan.” Rania manggut-manggut. Ia bangga melihat tulisan Alsha yang sangat rajin. Semua jawaban atas pertanyaan dari tugas-tugas sekolah itu juga disampaikan dengan baik. Hingga wanita itu menyadari jika Alsha juga mengerjakan tugas milik Alma. Mungkin itu yang membuatnya belum selesai mengerjakannya. “Lain kali jangan mau kalau disuruh mengerjakan tugas milik kakak kamu. Nanti jadi kebiasaan dan pasti Alma akan malas mengerjakan semua tugas sekolah. Dia akan bergantung juga memanfaatkan kamu Alsha. Itu yang membuatnya tidak mau berpikir lebih dan tertinggal.” “Tapi, Ma. Alsha tidak bisa untuk menolak. Nanti kalau Kak Alma marah bagaimana?” Alsha berucap dengan sedih. Tangan kanan Rania segera mengusap pelan kepala putrinya be
Beberapa hari telah berlalu. Rania masih sibuk membuat menu baru di restorannya. Dalam sekejap saja restoran tersebut sangat ramai karena wanita itu memberikan diskon besar-besaran untuk menu-menu terbaru yang sudah siap. Rania tersenyum lega. Tidak salah ia mendatangkan koki handal dari sebuah kota yang cukup terkenal. Wanita itu juga bahagia melihat anak buahnya bekerja dengan lebih semangat. Namun di saat Rania sedang memeriksa bahan-bahan yang mulai tipis stoknya, ia dikejutkan dengan bunyi ponsel yang berdering terus-menerus. Awalnya wanita itu sempat mengabaikannya, lama kelamaan ia penasaran juga dengan siapa yang sedang telepon. Tertera nama ibu guru yang menjadi pendamping dalam lomba kemah yang diikuti oleh Alsha dan Alma di sekolahnya. Kening Rania tampak berkerut. Ia penasaran mengapa ibu guru tersebut menghubunginya. Rania pun cepat-cepat mengangkat telepon itu. “Mama, lama sekali angkat teleponnya?” “Alma? Ada apa?” Sepertinya Rania merasakan kekhawatiran pada Alma
“Tentu saja, boleh.” Lelaki itu tersenyum tulus seraya merentangkan kedua tangannya. Alsha segera mendekap erat lelaki yang telah menolongnya sambil memejamkan kedua matanya. Entah mengapa perasaan kini sangat bahagia. Sementara Rania yang menyaksikan kehangatan mereka berdua ikut terharu. Tetapi ia tidak mau Alsha terlalu berharap kepada lelaki itu. “Alsha ....!” teriak Rania kemudian. Saking semangatnya ia berlari hingga tidak memperhatikan keadaan sekitarnya. Rania tak sadar ada sebuah lubang di dekatnya. “Augh ... sakit!” Rania berteriak kesakitan. Kaki kanannya terperosok ke dalam lubang itu. Rasanya sangat perih. Ia merasakan ada sesuatu yang menusuk mengenai kakinya tersebut. “Mama!” Alsha pun ikut cemas. “Om, itu Mama saya. Sepertinya Mama sedang terluka.” “Baiklah, anak manis. Kamu tunggu di sini sebentar. Om akan menolong mama kamu.” Lelaki mengusap kepala Alsha sebelum benar-benar pergi. Setelah itu ia segera berlari untuk menolong Rania. Rania masih terlihat kesaki
Dalam tiga hari berturut-turut, Dave selalu menjenguk Rania di rumahnya dan membawakan beberapa makanan favorit wanita itu. Ia juga selalu mengecek keadaan luka di kaki Rania. Rania tidak pergi ke restoran untuk beberapa hari itu. Ia lebih memilih untuk beristirahat dan mencoba melupakan semua hal tentang Rafka. Hari ini kakinya sudah sembuh. Rania bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun ia berencana pergi ke restoran kembali esok hari. Entah mengapa malam itu Dave baru datang. Tak seperti biasanya yang datang lebih awal. Tetapi Rania tidak mempermasalahkan soal itu. “Martabak kesukaan kamu.” Dave meletakkan sekotak makanan ringan itu di atas meja sambil tersenyum manis kepada Rania. Lalu ia mengedarkan pandangannya. “Oh, ya. Anak-anak ke mana?” Rania berucap pelan. “Mereka sudah tidur. Sepertinya kelelahan.” Wanita itu menghirup udara kuat-kuat. Sebelum akhirnya berbicara kembali kepada dokter tampan tersebut. “Dave, tidak seharusnya kamu selalu membawakan makanan seperti ini.
Rania langsung mendekat ke arah pintu kamar itu. Lagi-lagi pintunya tidak terkunci dan sedikit terbuka. Membuat Rania bisa mendengar Dave yang tengah berbicara. “Apa mau kamu? Tidak cukup dengan uang yang aku berikan selama ini?” tanya Dave terlihat frutasi. “Aku kangen kamu, Dave.” “Kamu tahu jika aku mencintai Rania. Dan sekarang dia telah menerima lamaranku. Sebentar lagi aku akan menikah dengan Rania. Tolong jangan ganggu aku lagi.” “Satu kali saja, Dave. Setelah ini aku akan merelakan kamu bersama wanita itu. Wanita yang telah merebut Rafka dariku.” Wanita itu mulai melepaskan pakaian yang dikenakan Dave. Tetapi lelaki itu segera menepisnya. “Cukup, Nina! Aku tidak mencintaimu. Harusnya kamu tahu akan hal itu.” “Baiklah jika kamu tidak mau, Dave. Aku bisa bilang kepada Rania bahwa kamu terlibat dalam kematian Rafka yang secara disengaja.” Nina berbicara dengan sangat yakin. Selama ini ia selalu memeras Dave dan menginginkan sentuhan lelaki itu. Sayangnya Dave selalu menghind