DIPTA Kacung kampret. Itu adalah kiasan peyoratif yang tepat menggambarkan keadaan Dipta saat ini ketika dia bekerja bersama abangnya seharian penuh. Setelah habis dibentak-bentak saat rapat tadi pagi, kini Bang Hakim mulai mengujinya dengan berbagai macam kegiatan receh seperti mencetak dan menyalin dokumen, membuat notulen rapat yang tentu saja hasilnya dibawah ekspektasi karena Dipta tak pernah melakukannya. Hampir dua puluh tahun pekerjaannya, sebagian besar dilakukan di lapangan sebagai pengawal. Pekerjaan di belakang meja yang sifatnya paperwork hanya sesekali dia lakukan, itu pun dengan penuh rasa keberatan dan protes besar kepada Mas Sultan atau atasannya sebelumnya. Dan yang terakhir adalah ke sana kemari antar divisi seperti setrikaan mengecek laporan yang akan dikirimkan kepada Bang Hakim. Dipta diminta untuk menyortir dokumen tersebut dari yang terpenting hingga tak terpenting. “Saya butuh bantuan–Pak, secara dasar untuk memastikan bagian mana yang menurutmu pent
Bang Hakim mengecek sebuah brief yang dibuat oleh tim PR yang dipekerjakan khusus untuk memoles citra keluarga Rustam di depan publik. Tim ini berhasil mengubah citra urakan dan kebal hukum Jeremy Rustam dan Hakim Rustam–yang secara negatif dipersepsikan oleh publik menjadi citra preman insyaf yang kini membantu penghidupan banyak orang lewat banyaknya usaha yang dikembangkan oleh perusahaan milik papanya. Apakah banyak yang terkecoh? Tentu saja! Persona Bang Hakim adalah persona penerus keluarga Rustam yang menyayangi keluarga dan kedua anaknya yang masih kecil. Istri dan anak bahagia, Hakim yang dermawan serta gemar membantu rakyat yang kesulitan. Banyak kasus viral yang dibantu oleh Bang Hakim penyelesaiannya sehingga citranya terangkat seperti seorang malaikat yang baik hati dan menggunakan uangnya dengan benar. Bahkan beberapa narasi yang mengatakan jika Bang Hakim layak masuk ke dalam bursa legislatif atau bahkan eksekutif yang lagi-lagi dilempar tim PR-nya, cukup berbuah m
Dipta menyipitkan matanya ketika mendapati rambut Mas Sultan yang berantakan, serta bagaimana terburu-burunya pria itu dalam memakai kembali kaus katunnya sesaat sebelum membuka pintu untuk Dipta. Jangan bilang jika Dipta mengganggu kegiatan dewasa Mas Sultan–Dia menggelengkan kepalanya, tak ingin memikirkan itu lebih jauh lagi. “Lo lagi sibuk, Mas?” tanya Dipta basa-basi. “Sibuk, tapi kayaknya lo waktu di telepon urgent banget,” balas Mas Sultan sambil membuka pintunya lebar-lebar. Mengindikasikan kesediaannya agar Dipta bisa masuk ke dalam ruang privatnya. “Kalau lo ngerasa keberatan gue ke sini, gue bisa datang lagi lain waktu–” Dipta berhenti dan mendadak ragu dengan jawaban atasannya–atau lebih tepatnya, mantan atasannya tersebut. “Masuk aja, kayak sama siapa aja sih, sungkan begitu,” balas Mas Sultan seraya mendorong bahunya agar masuk sepenuhnya ke dalam apartemen besar yang terletak di tengah jantung kota Jakarta. Dipta baru saja berjalan sebentar menuju island dapur un
ELAKecupan lembut di dahinya membuat Ela terbangun singkat dari tidurnya. “Kok nggak tidur di kamar? Sakit nanti punggungnya.” Suara dalam yang Ela dan dia rindukan membuatnya terjaga dan sedikit disorientasi karena terbangun tiba-tiba. “Mas Dipta?” Ela memastikan sekali lagi. “Iya, aku baru saja pulang. Maaf ya membangunkanmu seperti ini. Tapi kita pindah dulu yuk ke kamar,” ujar Dipta menanggapi seraya merengkuh tubuh Ela dalam pelukannya dan membopongnya menaiki tangga menuju kamar Ela. “Kok baru pulang, Mas? Malem banget lho!” tanya Ela dengan suaranya yang serak. Harum tubuh Dipta membuat Ela refleks melekatkan kepalanya di dada Dipta sekaligus tanpa tahu malu menghidu aroma khas Dipta yang kini semakin familiar bagi indra penciumannya. “Iya, maaf ya ada hal penting yang harus kubereskan dulu tadi,” balas Dipta sambil terkekeh pelan. Sepertinya menyadari tingkah konyol setengah sadar Ela tadi. “Aku keterima kerja lho!” Maka, untuk menutupi rasa malunya, Ela membagikan
Curiosity kills the cat. Mungkin itu adalah peribahasa yang tepat untuk menyadarkan Ela akan situasi yang dialaminya sekarang di dalam powder room galeri saat jam makan siang. Ela tak bisa menahan rasa penasarannya sejak Dipta menjatuhkan ‘bom informasi’ pagi tadi. Setelah melewati pertimbangan konyol yang berputar-putar di dalam benaknya–akhirnya Ela memberanikan diri untuk membuka pesan yang berasal dari papa dan Mbak Deshinta. Langkah konyol selanjutnya setelah itu adalah mengurus, atau… kepo lebih tepatnya, mengenai berita tentang rencana pernikahannya dengan Dipta yang telah dibagikan oleh Hakim Rustam semalam. Dipta pun enggan dan mewanti-wanti Ela agar tak mempedulikan berita tentang mereka berdua yang tersebar di jagat maya pada saat ini. Pria itu memintanya untuk fokus dalam menjalankan hari pertamanya bekerja di Galeria Fine Art di bawah arahan Mbak Rengganis. She was indeed in her element. Di mata Ela, Mbak Rengganis terlihat begitu keren sejak tadi pagi. Dengan saba
Dengan gamang Ela duduk di Rendezvous Cafe sambil memandang ke luar lewat jendela besar yang membingkai hampir seluruh sudut kafe ini. Kafe cantik besutan Mbak Rengganis yang terletak di dalam kompleks galeri dengan gaya elegan minimalis dilingkupi dengan pencahayaan yang terang serta kaca-kaca dan tanaman estetik yang membuat para pengunjungnya cukup betah bertahan, melipir dari sengatan sinar matahari siang ini. Ela memasukkan kembali ponselnya ke dalam medium tote bag putih Alaia yang senada dengan high-waisted cigarette trousers dari Alexander Mcqueen serta off white sleeveless blouse dari merk lokal Bali based bernama Padukani. Semuanya serba putih. Hanya rambut hitamnya saja yang di blow sejak pagi tadi yang menjadi kontras dalam palet warna wardrobe-nya di hari pertamanya kerja. Ah, well… sepatunya juga memberikan sedikit rona warna, slingback kitten pump Gianvito Rossi berwarna nude agar memberikan kesan tubuhnya semakin jenjang. Setelah berhasil menenangkan diri hampir lim
Menu mereka telah tiba, dan mereka berdua langsung menyantapnya sambil bertukar cerita. Terutama Ela yang dengan semangat membagikan ceritanya di hari pertama bekerja. “Gimana teman-teman barumu?” tanya Dipta di tengah-tengah percakapan mereka. Ela terdiam sejenak, sebelum mengedikkan bahu dan menjawab, “Ya gitu, deh, Mas. So far okay,” ujarnya penuh formalitas. Tapi sejak berinteraksi dengan Inggrid tadi, dia merasakan ada bibit-bibit drama yang akan menantinya. Meskipun demikian, Ela cukup bekerja dengan baik dan menjalin hubungan baik dengan rekan kerja lainnya yang sejauh ini Ela sukai. Dan perihal tadi… rasanya itu hal kecil yang tak perlu dibesar-besarkan lagi. Dan bicara soal fitnah yang menimpa dirinya di jagat sosial, Ela mencoba mengutarakan keresahannya kepada Dipta dengan lebih tertata lagi. Bukan untuk dikasihani–namun untuk melepaskan segala kecemasan yang menggelayut mengganggu pikirannya. Bukankah berbagi keluh kesah dengan pasangan bisa membuat segalanya menjadi l
DIPTA“Tim gue masih memantau sampai sekarang pergerakan target, dan sepertinya mereka tim yang cukup solid dan bukan satu kali ini saja menjalankan misi seperti waktu itu.” Dipta mendengarkan penjelasan Mas Sultan dengan tenang dan fokus seraya menatap rekaman cctv yang mengulik pergerakan seorang perempuan sebagai subjek utamanya. Grace Hariman. Umur 44 tahun. Single, pemilik toko elektronik di Mangga Dua Square. Namun itu hanyalah cover belaka. Di belakangnya, perempuan itu memiliki jaringan hitman tertutup yang aktif merekrut residivis untuk menjalankan aksi kriminal sesuai pesanan klien mereka. Mulai dari intimidasi, penguntitan, penculikan hingga yang terparah… perintah eksekusi. Mas Sultan bisa mendapatkan jejak perempuan misterius ini karena nomor tak dikenal masuk ke dalam daftar ponsel yang mereka intai dalam beberapa waktu belakangan ini. Yang membuat hal ini semakin menarik adalah… nomor Grace Hariman terdeteksi dari nomor ponsel Dhanu Trihadi. Ya, bukan orang yang p