Huaaa! Maaf banget baru bisa update sekarang! Aku semingguan ini sibuk pindahan soalnya. Belum lagi kerjaan yang semakin dikejar deadline sebelum libur lebaran. Ditambah lagi ini lagi pilek bengek... haha paket komplit ya. Sekarang baru sedikit luang waktunya makanya bisa lanjutin cerita Ela dan Dipta lagi. Semoga suka ya!
Dengan gamang Ela duduk di Rendezvous Cafe sambil memandang ke luar lewat jendela besar yang membingkai hampir seluruh sudut kafe ini. Kafe cantik besutan Mbak Rengganis yang terletak di dalam kompleks galeri dengan gaya elegan minimalis dilingkupi dengan pencahayaan yang terang serta kaca-kaca dan tanaman estetik yang membuat para pengunjungnya cukup betah bertahan, melipir dari sengatan sinar matahari siang ini. Ela memasukkan kembali ponselnya ke dalam medium tote bag putih Alaia yang senada dengan high-waisted cigarette trousers dari Alexander Mcqueen serta off white sleeveless blouse dari merk lokal Bali based bernama Padukani. Semuanya serba putih. Hanya rambut hitamnya saja yang di blow sejak pagi tadi yang menjadi kontras dalam palet warna wardrobe-nya di hari pertamanya kerja. Ah, well… sepatunya juga memberikan sedikit rona warna, slingback kitten pump Gianvito Rossi berwarna nude agar memberikan kesan tubuhnya semakin jenjang. Setelah berhasil menenangkan diri hampir lim
Menu mereka telah tiba, dan mereka berdua langsung menyantapnya sambil bertukar cerita. Terutama Ela yang dengan semangat membagikan ceritanya di hari pertama bekerja. “Gimana teman-teman barumu?” tanya Dipta di tengah-tengah percakapan mereka. Ela terdiam sejenak, sebelum mengedikkan bahu dan menjawab, “Ya gitu, deh, Mas. So far okay,” ujarnya penuh formalitas. Tapi sejak berinteraksi dengan Inggrid tadi, dia merasakan ada bibit-bibit drama yang akan menantinya. Meskipun demikian, Ela cukup bekerja dengan baik dan menjalin hubungan baik dengan rekan kerja lainnya yang sejauh ini Ela sukai. Dan perihal tadi… rasanya itu hal kecil yang tak perlu dibesar-besarkan lagi. Dan bicara soal fitnah yang menimpa dirinya di jagat sosial, Ela mencoba mengutarakan keresahannya kepada Dipta dengan lebih tertata lagi. Bukan untuk dikasihani–namun untuk melepaskan segala kecemasan yang menggelayut mengganggu pikirannya. Bukankah berbagi keluh kesah dengan pasangan bisa membuat segalanya menjadi l
DIPTA“Tim gue masih memantau sampai sekarang pergerakan target, dan sepertinya mereka tim yang cukup solid dan bukan satu kali ini saja menjalankan misi seperti waktu itu.” Dipta mendengarkan penjelasan Mas Sultan dengan tenang dan fokus seraya menatap rekaman cctv yang mengulik pergerakan seorang perempuan sebagai subjek utamanya. Grace Hariman. Umur 44 tahun. Single, pemilik toko elektronik di Mangga Dua Square. Namun itu hanyalah cover belaka. Di belakangnya, perempuan itu memiliki jaringan hitman tertutup yang aktif merekrut residivis untuk menjalankan aksi kriminal sesuai pesanan klien mereka. Mulai dari intimidasi, penguntitan, penculikan hingga yang terparah… perintah eksekusi. Mas Sultan bisa mendapatkan jejak perempuan misterius ini karena nomor tak dikenal masuk ke dalam daftar ponsel yang mereka intai dalam beberapa waktu belakangan ini. Yang membuat hal ini semakin menarik adalah… nomor Grace Hariman terdeteksi dari nomor ponsel Dhanu Trihadi. Ya, bukan orang yang p
Dipta bolak balik melirik ke arah Ela yang duduk bersebelahan darinya. Gadisnya itu dengan saksama memperhatikan gerak tubuh Grace Hariman yang berhasil terekam dalam cctv hingga akhirnya mereka berhasil menangkap wajahnya. Di monitor besar lainnya, terpampang wajah penuh Grace Hariman dengan lebih jelas dan wajah tersebut membuat Ela mengernyitkan keningnya sejenak. Sepertinya mencoba mengumpulkan kepingan ingatan yang tercecer dan terbenam di dalam bawah sadarnya. “Ring the bell, sweetheart?” tanya Mas Sultan di tengah keheningan ruang komando kantor The Noble Safeguards ini. Ela menggelengkan kepalanya ragu. “Sulit untukku mengingat orang-orang yang terlibat pada saat itu, Mas Sultan,” ungkap Ela dengan jujur. Dalam nada suaranya, terselip perasaan kecewa–yang meski halus nyaris tak terdeteksi, namun tetap dapat membuat hati Dipta ikut terasa berat dan sesak. Selayaknya Dipta bisa ikut merasakan beban yang Ela pikul sendirian. “Nggak apa-apa, Sayang. Kamu nggak usah khawatir.
Banyak yang harus dia dan Ela lakukan setelah malam penuh lika-liku dalam mengungkap kebenaran salah satu pelaku penjebakan mereka berdua di kantor Mas Sultan waktu itu. Ela sudah mengungkapkan niatnya untuk membalas perbuatan para pelaku, dan ketika ditanya balasan seperti apa yang Ela inginkan, rupanya perempuan itu masih memperlihatkan kebaikan hatinya. Kekasihnya itu mengatakan kalau dia ingin Dhanu dijebloskan ke dalam penjara dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi Mas Sultan yang berada di tengah-tengah diskusi mereka itu sontak menyampaikan ketidaksetujuannya. “Kok gitu doang, sih, beb?” tanya Mas Sultan dengan sok akrab yang membuat Dipta lantas memutar bola matanya. “Mas Sultan, please… mind your words!” tegurnya sedikit kesal. Iya, Dipta paham benar jika Mas Sultan hanya berkelakar saja demi menurunkan tensi dan membuat suasana menjadi lebih cair selepas memberitakan informasi mengenai keterlibatan Dhanu dalam penjebakan. Tapi tetap saja… ada rasa cemburu yang
ELARasanya cukup rumit untuk menjalani hari dan rutinitas seperti biasa ketika kita tahu ada kebenaran yang terkuak dan mengubah cara hidup serta cara berpikirnya.Setelah Ela menyadari siapa yang menjerumuskannya di malam penjebakan itu bersama Dipta, Ela kini semakin gigih untuk merampungkan rencana pernikahannya dengan Dipta.Tak hanya karena perasaan mereka yang saling berbalas penuh kasih, namun juga demi mengusahakan kebahagian dan ketenangan hidup yang dahulu sempat dirusak oleh Dhanu Trihadi.Beberapa hari setelah pengungkapan keterkaitan antara Grace Hariman dan Dhanu Trihadi–Ela sempat tidak bersemangat dalam menjalani hidup. Dia merasa seperti orang yang paling bodoh yang begitu mudah terperdaya oleh Dhanu. Merasa menjadi perempuan yang paling
Lagipula banyak hal yang mesti Dipta pikirkan dan selesaikan olehnya sendiri. Terutama tentang masalah pelaku penjebakan yang dipikirkan cara balas dendam terbaiknya bersama dengan Masl Sultan, lalu masalahnya dengan keluarga Rustam dan transisi pekerjaannya di bawah kepemimpinan kakaknya Dipta sendiri, Bang Hakim Rustam.Makanya Ela menjustifikasi semua kegiatan mandirinya ini sebelum akhirnya pada malam ini mereka berdua duduk bersama di restoran Ambience untuk makan malam dan mengecek persiapan yang dilakukan oleh EO dalam mempersiapkan venue dan hal lainnya.Saat Ela sibuk membalas pesan Riko yang menjadi PIC di EO tersebut, Dipta yang duduk di seberangnya penasaran dan akhirnya bertanya kepadanya dengan siapa Ela berkirim pesan saat ini.
“Kamu baru memberitahu Mama berita ini sekarang? Tiga hari menjelang acara pernikahanmu, Ela? What do you take me for? Kamu sudah durhaka ya tak anggap Mama sebagai orang tuamu lagi, ya!” Suara teriakan mama yang penuh drama terdengar nyaring di rumah kediaman keluarga Dharmawan membuat Ela memejamkan matanya sejenak.Dipta berada di sampingnya dan mengelus punggungnya, mencoba menenangkan Ela agar dirinya tetap tenang tidak terprovokasi.“Mama sendiri bukan, yang menolak seluruh panggilanku sejak aku angkat kaki dari rumah?” ujarnya membela diri.“Ya itu karena kamu sendiri yang bebal sekali tidak mau menuruti keinginan Mama!” balas sang mama tak kalah kerasnya dari ucapan per