***"Saya sakit apa, Dokter?"Dokter perempuan di depan Aludra menghela napas sebelum menjawab pertanyaan yang diucapkan pasien di depannya ini sementara tatapannya tak berpaling sama sekali dari Aludra yang terlihat sangat tegang menunggu jawaban."Dokter, saya nunggu lho," kata Aludra mengingatkan, agar Dokter tersebut segera menyebutkan penyakit apa yang diderita Aludra sekarang. "Saya sakit apa?""Organ hati Bu Aludra mengalami kerusakan," ucap dokter tersebut pada akhirnya. Dari name tag yang dia pakai, Aludra kini tahu nama dokter itu adalah dokter Mayang."Kerusakan?" tanya Aludra. Masih berusaha bersikap tenang, dia memandang dokter Mayang penuh tanya. "Maksud dokter gimana?""Beberapa sel jaringan pada organ hati Bu Aludra rusak dan sudah tak berfungsi," ucap dokter Mayang. "Itulah sebabnya Bu Aludra sering mengalami mual muntah, nafsu makan berkurang bahkan muntah darah.""Jadi hati saya rusak?" tanya Aludra sambil menyentuh bagian bawah dada sebelah kanan. "Ini.""Iya, Bu,"
***"Tumben banget udah tiduran? Biasanya masih nonton drakor sambil nungguin anak-anak."Pulang sekitar pukul tujuh malam karena pekerjaan mendadak, pertanyaan tersebut langsung terucap dari bibir Arka saat melihat Aludra sudah tidur di dengan posisi miring di tempat tidur memakai selimut.Padahal, biasanya setiap dia pulang baik itu sore maupun malam, Aludra setia menjemput ke depan pintu jika si kembar sudah tidur."Pengen aja, Mas. Mager," jawab Aludra dengan suara sebiasa mungkin karena pada kenyataannya saat ini dia sedang berusaha mati-matian menahan tangis.Pukul enam sore tadi, ketika Aludra baru saja selesai menidurkan Regan maupun Raiden yang terlelap secara bersamaan, rasa sakit di perut bagian atasnya kembali muncul dan tentu saja semakin sakit dari biasanya.Tak mau Arka tahu, Aludra memilih untuk berbaring dengan selimut agar suaminya itu tak curiga."Udah makan malam?" tanya Arka sambil mengendurkan dasi juga melepas satu-persatu kancing kemeja di depan cermin."Udah,"
***"Mau pake ayam enggak?""Boleh, dadanya aja.""Oke."Tak melulu menyerang, ada kalanya semua rasa sakit yang selalu dirasakan Aludra hilang tak bersisa—membuat dia seolah sedang baik-baik saja.Setengah jam lalu, Aludra rasanya ingin mati saja karena rasa sakit di perut yang menyiksa juga darah yang keluar dari hidungnya.Namun, sekarang Aludra sudah kembali seperti biasa. Tak merasakan sakit, dia kembali baik-baik saja—bahkan bisa melaksanakan kewajibannya melayani Arka.Seperti bom waktu, Aludra tak tahu kapan saja rasa sakit itu akan datang, tapi yang jelas dia selalu berharap semuanya datang ketika tak ada Arka atau Amanda di rumah agar Aludra tak perlu berusaha menyembunyikan sakitnya itu.Entah sampai kapan akan terus bersembunyi, yang jelas Aludra belum siap jika semua orang tahu kalau dia mengidap sebuah penyakit.Aludra tak mau orang-orang mengkhawatirkannya dan tentu saja dia juga tak mau merepotkan banyak orang.Dan yang paling penting, Aludra tak ingin membuat Arka sed
***"Aku sayang kamu."Ucapan itu terucap dari bibir Arka ketika bibirnya mendarat dengan sempurna di kening Aludra sesaat setelah keduanya selesai melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.Shalat isya berjamaah. Sebuah rutinitas yang hampir setiap malam dilakukan Arka bersama Aludra.Tak bisa melaksanakan shalat lain secara berjamaah, Arka dan Aludra memilih waktu isya untuk melakukan semuanya. Terkadang, jika waktunya luang, Arka sering mengajak Aludra membaca Al Quran bersama karena cita-citanya memang hanya satu.Menjadi imam untuk Aludra di dunia maupun di akhirat nanti. Meskipun nantinya di dunia, mereka akan dipisahkan oleh maut, Arka selalu berharap Tuhan berbaik hati dengan mempersatukan dia dengan Aludra kembali di Surga-Nya nanti."Aku juga sayang kamu," kata Aludra. Masih memakai mukena, dia bersandar pada pinggiran kasur sambil memandang Arka yang masih duduk dengan pakaian muslim juga sarung dan peci. "Mas.""Hm.""Aku selalu suka dengan penampilan kamu yang kaya gi
***"Kapan kamu luang?"Dewa yang sedang menyantap roti sandwichnya seketika langsung berhenti lalu memandang Aurora sambil menaikkan sebelah alisnya."Luang apa? Ambigu banget kamu," tanya Dewa."Luang enggak ada kerjaan dong, Mas," kata Aurora. "Luang apalagi emangnya? Minggu kemarin kan kamu sabtu-minggu kerja. Minggu depan gitu juga enggak?""Kenapa emangnya?""Pengen ke Bandung," kata Aurora. "Kangen Aludra."Tumben.""Apanya yang tumben?" tanya Aurora."Kamu tumben banget kangen sama Aludra.""Kamu ih, apaan sih?" tanya Aurora tak suka. "Aku ibunya. Wajar kali kalau aku kangen sama anakku.""Jauh dikangenin, deket diomelin.""Bahas itu lagi?" tanya Aurora. "Semuanya udah kelar lho, aku bahkan udah minta maaf juga kan, sama Rara? Kenapa ngungkit terus?""Santai aja, enggak usah ngegas," celetuk Dewa. "Sensitif banget, kamu.""Ucapan kamu menyebalkan.""Morning Ma, Pa." Perdebatan Aurora dan Dewa terhenti ketika Alula yang sudah rapi dengan pakaian kantornya datang sambil membawa
***"Ya ampun cucu-cucu Mama kok pada ganteng begini ya?"Amanda mengukir senyum sambil memandangi Regan juga Raiden yang sudah tampan dengan overall jeans yang mereka pakai.Jumat sore, Amanda meminta izin pada Aludra untuk mengajak cucu-cucunya ke luar bersama Dirga yang kebetulan pulang lebih awal.Tak jauh, rencananya Amanda ingin membawa Regan dan Raiden ke Mall untuk membeli mainan. Terlalu awal memang, tapi memang seantusias itu Amanda ingin membelanjai kedua cucunya."Gimana, Ma. Ganteng, kan?" tanya Aludra. Tak akan ikut keluar, perempuan itu masih memakai pakaian santai bahkan belum mandi."Ganteng, Sayang. Selera kamu emang lucu-lucu ya," kata Amanda."Hehe."Setelah semuanya siap—termasuk baju ganti juga dua botol susu besar milik Regan dan Raiden selesai dikemas ke dalam tas bayi berukuran sedang, Amanda dan Aludra segera menggendong dua balita tampan itu untuk menghampiri Dirga yang sudah menunggu di ruang tamu."Udah siap?" tanya Dirga saat Amanda dan Aludra datang."Ud
***"Minum dulu."Aludra menyodorkan segelas es jeruk yang baru saja dibawa Bi Minah pada seorang perempuan yang kini duduk di depannya—memasang raut wajah serius."Enggak butuh minum, butuhnya penjelasan," ketus perempuan di depan Aludra.Aludra mendongak. "Penjelasan apa?" tanyanya."Penjelasan apa?" tanya perempuan tersebut—mengulang ucapan Aludra. "Menurut kamu, telepon pagi tadi enggak butuh penjelasan, apa? Nangis-nangis telepon Kakak terus putusin telepon gitu aja. Ditelepon balik, malah enggak aktif.""Kamu pikir, itu enggak bikin panik?"Alula. Tentu saja perempuan yang duduk di depan Aludra dengan wajah seriusnya adalah Alula.Dia yang semula berniat pergi ke Bandung besok pagi, langsung memajukan jadwal kepergiannya menjadi sore ini setelah pukul satu siang tadi meminta izin pulang lebih awal.Dan satu-satunya alasan Alula mempercepat semuanya tentu saja telepon dari Aludra tadi pagi. Mendengar adiknya menangis tanpa tahu sebab yang jelas, Alula tak enak hati.Selama di kan
***"Ra, are you okay?"Berdiri di depan kamar mandi, Alula terlihat khawatir pada Aludra yang saat ini sedang memuntahkan isi perutnya seperti biasa."Fine, Kak," kata Aludra. Namun, pada kenyataannya ucapan yang dia lontarkan berbanding terbalik dengan keadaannya yang justru tak baik-baik saja.Aludra memuntahkan isi perutnya tak sedikit dan tentu saja semua itu membuat badannya terasa lemas sekarang. Jangankan berjalan, untuk berdiri pun rasanya dia tak sanggup."Ra," panggil Alula lagi, ketika Aludra tak bersuara. "Aludra Raveena, jawab Kakak!""Aludra!"Tak mendapatkan sautan, Alula mundur—bersiap-siap untuk mendobrak pintu. Namun, sebelum semua itu terjadi, Aludra lebih dulu keluar dengan wajah yang sedikit pucat."Kenapa, Kak?""Kamu bikin Kakak khawatir, tau enggak?" tanya Alula.Aludra tersenyum. Di tengah rasa lemas yang mendera, dia masih sempat menunjukkan raut wajah yang tak sedih.Padahal, apa yang dia alami cukup membuat Aludra rasanya ingin menangis setiap harinya."M