***"Minum dulu."Aludra menyodorkan segelas es jeruk yang baru saja dibawa Bi Minah pada seorang perempuan yang kini duduk di depannya—memasang raut wajah serius."Enggak butuh minum, butuhnya penjelasan," ketus perempuan di depan Aludra.Aludra mendongak. "Penjelasan apa?" tanyanya."Penjelasan apa?" tanya perempuan tersebut—mengulang ucapan Aludra. "Menurut kamu, telepon pagi tadi enggak butuh penjelasan, apa? Nangis-nangis telepon Kakak terus putusin telepon gitu aja. Ditelepon balik, malah enggak aktif.""Kamu pikir, itu enggak bikin panik?"Alula. Tentu saja perempuan yang duduk di depan Aludra dengan wajah seriusnya adalah Alula.Dia yang semula berniat pergi ke Bandung besok pagi, langsung memajukan jadwal kepergiannya menjadi sore ini setelah pukul satu siang tadi meminta izin pulang lebih awal.Dan satu-satunya alasan Alula mempercepat semuanya tentu saja telepon dari Aludra tadi pagi. Mendengar adiknya menangis tanpa tahu sebab yang jelas, Alula tak enak hati.Selama di kan
***"Ra, are you okay?"Berdiri di depan kamar mandi, Alula terlihat khawatir pada Aludra yang saat ini sedang memuntahkan isi perutnya seperti biasa."Fine, Kak," kata Aludra. Namun, pada kenyataannya ucapan yang dia lontarkan berbanding terbalik dengan keadaannya yang justru tak baik-baik saja.Aludra memuntahkan isi perutnya tak sedikit dan tentu saja semua itu membuat badannya terasa lemas sekarang. Jangankan berjalan, untuk berdiri pun rasanya dia tak sanggup."Ra," panggil Alula lagi, ketika Aludra tak bersuara. "Aludra Raveena, jawab Kakak!""Aludra!"Tak mendapatkan sautan, Alula mundur—bersiap-siap untuk mendobrak pintu. Namun, sebelum semua itu terjadi, Aludra lebih dulu keluar dengan wajah yang sedikit pucat."Kenapa, Kak?""Kamu bikin Kakak khawatir, tau enggak?" tanya Alula.Aludra tersenyum. Di tengah rasa lemas yang mendera, dia masih sempat menunjukkan raut wajah yang tak sedih.Padahal, apa yang dia alami cukup membuat Aludra rasanya ingin menangis setiap harinya."M
***"Kak udah, ini udah numpuk. Nanti enggak kemakan."Sekali lagi, Aludra berusaha protes ketika Alula tiba-tiba saja menambahkan lagi satu potong ayam goreng ke piringnya. Padahal, yang pertama dia ambil pun belum termakan."Harus dimakan," kata Alula posessive. "Kamu harus banyak makan, supaya penya-""Kak." Aludra melotot sebagai kode—membuat Alula refleks mengentikan ucapannya ketika dia baru sadar kehadiran Bi Minah yang masih sibuk mencuci piring kotor.Sesuai rencana, untuk malam ini sampai malam besok Alula akan menginap di rumah Aludra untuk menemani sang adik. Meskipun, besok ada Arka. Tetap saja dia ingin berada di dekat Aludra sebelum minggu nanti harus kembali ke Jakarta dengan perasaan yang tentu saja tak akan tenang karena penyakit yang diderita Aludra layaknya bom waktu.Bisa kapan saja meledak—membuat kondisi Aludra benar-benar terpuruk.Jika boleh berharap, Alula ingin Aludra segera berada di titik terlemah kondisinya agar Arka tahu dan adiknya itu dibawa ke rumah
***"Aludra aneh."Tanpa basa-basi, ucapan tersebut langsung diucapkan Arka tepat ketika Alula datang menghampiri lalu duduk di sampingnya.Mengerutkan kening, Alula memandang adik iparnya dengan tatapan pura-pura tak mengerti, karena pada kenyataannya dia jelas tahu maksid dari ucapan Arka tersebut."Aneh gimana?"Arka menoleh. Dia yang semula menatap tangga di depan rumah, kini mengalihkan perhatiannya pada Alula."Dia lebih sensitif belakangan ini," kata Arka. "Enggak tau kenapa, Aludra sering marah-marah tanpa sabab.""Itu karena kamu lakuin kesalahan aja kali," jawab Alula tenang. "Alula marah pasti ada penyebabnya."Arka menghela napas. Memanfaatkan Aludra yang kini tertidur pulas setelah menyusui Regan, dia memang sengaja menemui Alula di kamar tamu untuk mengajak mantan istri sekaligus kakak iparnya itu mengobrol.Karena barangkali saja—sebagai Kakak, Alula mengetahui sesuatu pada Aludra yang disembunyikan darinya.Sampai detik ini, feeling Arka tentang Aludra yang menyembunyi
***"Pokoknya hari ini aku harus cantik."Berdandan di depan cermin, Aludra terus menyapukan spon bedak ke semua permukaan wajahnya agar terlihat cantik di depan Arka, malam ini.Minggu depan harus pergi ke luar kota untuk mengurus pekerjaan, dinner perayaan ulang tahun Arka yang kedua puluh sembilan maju satu minggu.Memesan tempat di sebuah restoran, bukan Aludra yang memberi kejutan melainkan sebaliknya.Di restoran, Arka sudah menyiapkan meja khusus untuk dia dan Aludra. Tak hanya satu kursi, Arka bahkan sengaja mereservasi satu restoran untuk malam ini—khusus dirinya dan Aludra.Dan yang akan diberikan Aludra sebagai kado ulang tahun hanyalah jam tangan karena memang Arka tak menuntut kado apapun.Bagi Arka, Aludra mau memaklumi pekerjaannya dan bersedia makan malam di waktu yang lebih cepat pun, dia bahagia.Sesuai permintaannya waktu itu, Arka juga hanya menginginkan Aludra tetap di sampingnya."Malam-malam kayanya enggak bakalan kelihatan kalau mata aku agak kuning," kata Alud
***"Aludra mana?"Arka yang sejak tadi duduk menunggu di kursi panjang depan IGD seketika menoleh ketika sebuah pertanyaan diucapkan untuknya.Bukan Dirga maupun Amanda, yang datang menemuinya adalah Aksa karena memang setelah menemukan Aludra tak sadar, Arka memilih untuk menghubungi sang kakak.Arka takut Regan dan Raiden belum tidur. Jika dia menelepon kedua orang tuanya, bukan tak mungkin mereka akan panik sampai lupa dengan si kembar."Di dalam," kata Arka. Wajahnya jelas terlihat frustasi menunggu dokter yang menangani Aludra tak kunjung keluar.Demi apapun, jika terjadi sesuatu yang macam-macam, Arka tak akan memaafkan dirinya sendiri."Udah berapa lama?" tanya Aksa setelah beberapa detik lalu pandangannya tertuju ke arah pintu bening bertuliskan Instalasi gawat darurat."Hampir setengah jam," kata Arka.Aksa menghela napas. Mendekati Arka, pria itu duduk di samping sang adik lalu sedikit membungkukan badannya.Setelah itu, Aksa memandang Arka dengan seksama. "Jadi sebenarnya
***"Mas pelan-pelan aja, enggak usah lari!"Alih-alih mengindahkan ucapan Aurora, yang dilakukan Dewa sekarang justru terus berlari menyusuri lobi rumah sakit tempat Aludra dirawat.Mendapat telepon dari Arka yang mengabarinya tentang kondisi Aludra, Dewa membatalkan semua jadwal meetingnya hari ini lalu bergegas menuju Bandung bersama Aurora juga Alula.Mengemudi dengan kecepatan tinggi, pajero sport hitam milik Dewa sampai di rumah sakit setelah menempuh perjalanan dua jam karena ketiganya memang berangkat pukul enam pagi."Shit." Dewa mengumpat ketika semua lift masih berada di atas. Mengedarkan pandangan, dia berlari menuju tangga agar bisa segera sampai di ruangan rawat Aludra di lantai tiga.Siuman, kondisi Aludra memang sedikit membaik dan dokter Septa pun mengizinkan dia untuk menjalani perawatan di ruangan biasa.Namun, tentunya setelah ini Aludra tak akan diizinkan untuk pulang. Parahnya kerusakan yang terjadi pada hatinya membuat dia harus segera mendapatkan donor.Jika di
***"Oke semuanya selesai ya, Mbak. Hasilnya akan keluar dua jam dari sekarang.""Baik, terima kasih suster."Teguh dengan pendiriannya, Alula tetap memutuskan untuk mendonorkan jaringan hatinya pada Aludra.Tak peduli sekeras apapun sang adik melarangnya untuk menjadi pendonor, Alula tetap melakukan rangkaian pemeriksaan untuk memastikan kecocokan jaringan hatinya dengan Aludra.Sebenarnya, dokter Septa sudah yakin Alula akan memiliki jaringan hati yang sama dengan Aludra karena bagaimanapun keduanya adalah saudara kembar identik.Namun, tentu saja tes pun harus dilaksanakan karena bukan hanya kecocokan saja yang harus dipertimbangkan, melainkan kesehatan Alula juga.Menjadi pendonor hati ataupun organ tubuh lain haruslah sehat fisik mapun psikis karena nantinya semua itu akan berpengaruh pada pasian yang menerima donor."Lu."Keluar dari ruangan pemeriksaan, Aurora yang sejak tadi menemani putrinya itu akhirnya bersuara setelah sejak tadi hanya diam tanpa melakukan protes apapun."K