“Aku tak bisa, Kayla. Kau tahu bahwa aku sudah menikah?” “Persetan dengan hubungan pernikahan kalian!” seru Kayla dengan kalimat sarkas. Sinar matanya berkilat, bibirnya bergetar, alisnya mengangkat. Kayla benar-benar murka. “Kau pikir aku tidak tahu bahwa hubungan kalian hanya sandiwara?” sambungnya kemudian. Mata Arjuna membulat, jemari yang tengah bermain cangkir, tiba-tiba terhenti. Ia menelan ludah. Di detik berikutnya suara gelak tawa terdengar menakutkan, Kayla tertawa melihat reaksi Arjuna yang begitu berlebihan. “Reaksimu sangat berlebihan, Arjuna!” Kayla memandang wajah pria dihadapannya yang mengeluarkan sedikit air keringat di pelipisnya. “Kau tidak benar-benar sedang bersandiwara seperti yang ada di drama korea, ‘kan?” telisik Kayla sambil mengambil sumpit di meja itu. Pandangan Kayla masih tertuju pada pria itu dan disaat yang sama, sesumpit nasi masuk ke dalam mulutnya. Arjuna berdeham, menetralisir kegugupannya, ternyata Kayla hanya sembarang berucap.
“Nek, seandainya Arjuna tak pernah menikah denganku—apakah dia akan tetap ada di posisinya saat ini?” Dahi Nirwasita mengernyit. “Maksudku—mendapatkan segala apa yang dia inginkan?”Sejenak wanita itu termangu. Disaat berikutnya, Nirwasita tersenyum. “Arjuna berhak atas apa yang kumiliki, termasuk hidup Nenek ini,” terang wanita itu dengan nada getir. Anjani terpegun. Mendengar nada getir yang terucap dari bibir wanita itu, membuat hati Anjani kembali melunak. Rasa iba untuk tidak meninggalkan sang suami kembali memenuhi ruang otaknya. Kerap kali ia berpikir bahwa Arjuna hanya pria malang yang dihancurkan oleh perceraian kedua orang tua. Serta memberi trauma yang cukup membekas. “Saat mendiang Sivaa membawa Arjuna pergi dari rumah … sejak itu pula Nenek kehilangan kontak dengan mereka. Mendiang Yudhistira cukup keras saat itu bahkan Nenek sendiri tak mengerti apa yang merasukinya hingga melarang Nenek berhubungan dengan Arjuna maupun mendiang ibunya.” Mata Nirwasita menerawang d
“Bukankah sebelum Pak Arjuna menandatangani proyek ini, anda sudah tahu detail model bisnisnya?” sanggah Anjani dengan formal hingga membuat Arjuna terdiam. Anjani tahu bahwa saat ini Arjuna tengah menguji Ammar di hadapan para middle top manajemen yang hadir. Entah apa yang terjadi antara kedua pria disana, namun yang jelas Anjani menerka sesuatu tak beres telah terjadi. “Sebagai Direktur bidang itu, saya sudah menganalisa kemungkinan resiko yang akan terjadi. Bukankah anda juga tahu prediksi dari tingkat keberhasilan proyek ini?”Anjani seolah menantang, giginya beradu dengan mulut terbungkam. Saat di kantor keduanya sama sekali tidak terlihat seperti sepasang suami istri yang saling mencintai. Itu mengapa, banyak isu yang beredar bahwa Arjuna menikahi Anjani tidak benar-benar dalam keadaan sadar dan hanya sebagai bentuk pelarian dari kisah cintanya terdahulu bersama Kayla. Para peserta rapat saling memandang satu sama lain, melihat sikap Anjani yang terkesan melindungi Ammar, mem
“Kau sudah datang?” Arjuna dan Anjani saling memandang dalam diam. Hening. Kris yang memahami situasi, segera meninggalkan keduanya. Tanpa pamit, ia berlalu. Saat pintu tertutup dan Kris hilang dari padangan, Arjuna tersadar. Ia berdeham, menaruh berkas lalu menghampiri gadis itu. Langkah kaki Arjuna dan Anjani saling mendekat, hingga akhirnya mereka bertemu di dekat sofa. “Rencana anggaran yang ku—” Belum genap ucapan itu lolos dari mulutnya, Anjani menyela, “Ini.”Arjuna menatap sebuah map lalu Anjani bergantian. Saat berikutnya, Arjuna mempersilahkan gadis itu duduk, meski tanpa senyum, Anjani merasa sikap Arjuna lebih baik dibangdikan saat itu. Namun, Anjani menolak, hingga membuat Arjuna merasa asing terhadap gadis tersebut. Mereka sungguh seperti pekerja dan pemberi kerja, tak sedikit pun terlihat kedekatan disana. Arjuna lantas hanya bisa membiarkan. “Semua detail sudah saya jelaskan disana—ada beberapa catatan agar anda bisa memahaminya … dan jika tidak ada lagi yang ingin
“Aku akan menunggu, sampai kapan pun itu. Bukankah kalian akhirnya akan bercerai?”Arjuna terkesiap. Matanya membulat. Pernyataan macam apa itu. Arjuna melangkah dengan cepat lantas menarik lengan gadis itu. Jantungnya bergemuruh. Arjuna marah, benar-benar marah. “Siapa bilang kami akan bercerai?”Kayla mendesah kesakitan, Arjuna mencengkram tangan gadis itu dengan kuat, hingga membuat Kayla ketakutan.“Akh … sakit,” keluh Kayla, memelas. Ia belum menjawab pertanyaan Arjuna. Ia hanya meringis mencari simpati pria disana. Setelah emosi Arjuna terlihat reda dan lengannya lepas dari cengkaraman tersebut, Kayla meraih jemari Arjuna lalu mengusapnya lembut. Terdengar deru nafas tak beraturan dari emosi Arjuna yang meluap. Pria itu memandang Kayla setelahnya.“Sebelum bertemu denganmu, Anjani mengajakku bicara.” Kayla memulai dengan nada datar dan pelan, mencoba membawa suasana menjadi dramatis. Kedua alis Arjuna bertaut dengan mata menyipit. “Setidaknya, tunggu sampai kami bercerai. Maka
Anjani terdiam ketika mobil Arjuna memasuki halaman parkir, ia mendengar suara ban berdecit. Setelah itu, ia melihat sosok Arjuna di hadapannya. Jantungnya pun seolah tak aman. “Kau datang?” tanya Arjuna.“Hmmm,”Anjani menjawab sekenanya. Gadis itu berusaha agar terlihat mampu tanpa ada Arjuna di sisinya. Sudah hampir dua minggu mereka pisah rumah dan sejak saat itu pula Anjani merasa cukup mampu mengendalikan dirinya untuk tidak menangis. Namun, ia tak mengingkari bahwa dirinya sangat merindukan Arjuna. Kemudian mereka kembali tak bertegur sapa. Anjani berlalu lebih dulu meninggalkan Arjuna yang menatap kepergian dirinya. Meja makan telah di dominasi suara garpu dan sendok yang tengah beradu. Nyonya Nirwasita memandangi cucu dan cucu mantunya bergantian. Arjuna duduk di sisi kiri dan Anjani di sisi kananya, membuat Nyonya Nirwasita tak henti menggelengkan kepala. Tingkah dua bocah itu bagai anak remaja yang sedang bertengkar, bahkan saling memandang pun mereka menghindar, membuat
Cup! Anjani merasakan sebuah bibir mengecupnya lembut, lalu sedetik kemudian Arjuna memperdalam ciuman itu hingga berubah penuh gairah. Jemari Arjuna turun ke leher namun bibirnya terus memainkan irama, sesekali lidahnya menggelitik, membuat Anjani merasakan sensasi yang begitu luar biasa. Jiwanya seolah menginginkan lebih. Arjuna lantas memperdalam ciuman itu hingga tercipta melodi indah dari bibir sang gadis. Nafas mereka saling bertemu lalu menciptakan suasana semakin panas. Bahkan suhu ruangan yang dingin seolah tak bisa mendinginkan tubuh mereka yang terus bergejolak. Air keringat mulai terlihat di pelipis keduanya, Arjuna merasa tubuhnya semakin memanas, seperti tahu apa yang dipikirkan, Anjani membantu pria itu membuka kancing kemeja satu persatu dengan tidak sabaran, sementara bibir mereka masih saling berpagut. Arjuna mengangkat tubuh Anjani, membawanya dalam dekapan tanpa membiarkan bibir mereka terlepas. Bersamaan dengan itu, Arjuna berjalan mundur, membawa Anjani ke arah
Beberapa saat kemudian, Anjani yang sudah bangun sejak tiga puluh menit lalu, memandang wajahnya di depan cermin, mengulang kembali memori yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata, tanpa sadar, ia membelai bibir yang menjadi mangsa Arjuna saat itu, rasanya menggelitik, ketika dirinya mengingat kembali ciuman hangat tersebut. Ia mengutuk pikiran kotornya di pagi hari. Sudut bibirnya terangkat, hingga sebuah tangan menyentuh pucuk kepala dan detik berikutnya mendaratkan sebuah kecupan disana, Anjani baru menyadari kehadiran Arjuna yang tengah berdiri dibelakangnya. Mereka saling memandang dari cermin. Senyuman dibalas dengan senyuman, baru kali ini Anjani merasa hidupnya begitu sempurna.Tangan Arjuna turun ke bahu dan disaat itu pula, Anjani meraih tangan yang telah mendekapnya erat, semalam. “Jangan berubah lagi, ya,” pinta Anjani dengan nada lirih. Tak memberinya jawaban, Arjuna memberi sebuah kecupan yang kedua di pucuk kepala gadis itu. Mereka turun untuk sarapan, karena wak