“Kau sudah datang?” Arjuna dan Anjani saling memandang dalam diam. Hening. Kris yang memahami situasi, segera meninggalkan keduanya. Tanpa pamit, ia berlalu. Saat pintu tertutup dan Kris hilang dari padangan, Arjuna tersadar. Ia berdeham, menaruh berkas lalu menghampiri gadis itu. Langkah kaki Arjuna dan Anjani saling mendekat, hingga akhirnya mereka bertemu di dekat sofa. “Rencana anggaran yang ku—” Belum genap ucapan itu lolos dari mulutnya, Anjani menyela, “Ini.”Arjuna menatap sebuah map lalu Anjani bergantian. Saat berikutnya, Arjuna mempersilahkan gadis itu duduk, meski tanpa senyum, Anjani merasa sikap Arjuna lebih baik dibangdikan saat itu. Namun, Anjani menolak, hingga membuat Arjuna merasa asing terhadap gadis tersebut. Mereka sungguh seperti pekerja dan pemberi kerja, tak sedikit pun terlihat kedekatan disana. Arjuna lantas hanya bisa membiarkan. “Semua detail sudah saya jelaskan disana—ada beberapa catatan agar anda bisa memahaminya … dan jika tidak ada lagi yang ingin
“Aku akan menunggu, sampai kapan pun itu. Bukankah kalian akhirnya akan bercerai?”Arjuna terkesiap. Matanya membulat. Pernyataan macam apa itu. Arjuna melangkah dengan cepat lantas menarik lengan gadis itu. Jantungnya bergemuruh. Arjuna marah, benar-benar marah. “Siapa bilang kami akan bercerai?”Kayla mendesah kesakitan, Arjuna mencengkram tangan gadis itu dengan kuat, hingga membuat Kayla ketakutan.“Akh … sakit,” keluh Kayla, memelas. Ia belum menjawab pertanyaan Arjuna. Ia hanya meringis mencari simpati pria disana. Setelah emosi Arjuna terlihat reda dan lengannya lepas dari cengkaraman tersebut, Kayla meraih jemari Arjuna lalu mengusapnya lembut. Terdengar deru nafas tak beraturan dari emosi Arjuna yang meluap. Pria itu memandang Kayla setelahnya.“Sebelum bertemu denganmu, Anjani mengajakku bicara.” Kayla memulai dengan nada datar dan pelan, mencoba membawa suasana menjadi dramatis. Kedua alis Arjuna bertaut dengan mata menyipit. “Setidaknya, tunggu sampai kami bercerai. Maka
Anjani terdiam ketika mobil Arjuna memasuki halaman parkir, ia mendengar suara ban berdecit. Setelah itu, ia melihat sosok Arjuna di hadapannya. Jantungnya pun seolah tak aman. “Kau datang?” tanya Arjuna.“Hmmm,”Anjani menjawab sekenanya. Gadis itu berusaha agar terlihat mampu tanpa ada Arjuna di sisinya. Sudah hampir dua minggu mereka pisah rumah dan sejak saat itu pula Anjani merasa cukup mampu mengendalikan dirinya untuk tidak menangis. Namun, ia tak mengingkari bahwa dirinya sangat merindukan Arjuna. Kemudian mereka kembali tak bertegur sapa. Anjani berlalu lebih dulu meninggalkan Arjuna yang menatap kepergian dirinya. Meja makan telah di dominasi suara garpu dan sendok yang tengah beradu. Nyonya Nirwasita memandangi cucu dan cucu mantunya bergantian. Arjuna duduk di sisi kiri dan Anjani di sisi kananya, membuat Nyonya Nirwasita tak henti menggelengkan kepala. Tingkah dua bocah itu bagai anak remaja yang sedang bertengkar, bahkan saling memandang pun mereka menghindar, membuat
Cup! Anjani merasakan sebuah bibir mengecupnya lembut, lalu sedetik kemudian Arjuna memperdalam ciuman itu hingga berubah penuh gairah. Jemari Arjuna turun ke leher namun bibirnya terus memainkan irama, sesekali lidahnya menggelitik, membuat Anjani merasakan sensasi yang begitu luar biasa. Jiwanya seolah menginginkan lebih. Arjuna lantas memperdalam ciuman itu hingga tercipta melodi indah dari bibir sang gadis. Nafas mereka saling bertemu lalu menciptakan suasana semakin panas. Bahkan suhu ruangan yang dingin seolah tak bisa mendinginkan tubuh mereka yang terus bergejolak. Air keringat mulai terlihat di pelipis keduanya, Arjuna merasa tubuhnya semakin memanas, seperti tahu apa yang dipikirkan, Anjani membantu pria itu membuka kancing kemeja satu persatu dengan tidak sabaran, sementara bibir mereka masih saling berpagut. Arjuna mengangkat tubuh Anjani, membawanya dalam dekapan tanpa membiarkan bibir mereka terlepas. Bersamaan dengan itu, Arjuna berjalan mundur, membawa Anjani ke arah
Beberapa saat kemudian, Anjani yang sudah bangun sejak tiga puluh menit lalu, memandang wajahnya di depan cermin, mengulang kembali memori yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata, tanpa sadar, ia membelai bibir yang menjadi mangsa Arjuna saat itu, rasanya menggelitik, ketika dirinya mengingat kembali ciuman hangat tersebut. Ia mengutuk pikiran kotornya di pagi hari. Sudut bibirnya terangkat, hingga sebuah tangan menyentuh pucuk kepala dan detik berikutnya mendaratkan sebuah kecupan disana, Anjani baru menyadari kehadiran Arjuna yang tengah berdiri dibelakangnya. Mereka saling memandang dari cermin. Senyuman dibalas dengan senyuman, baru kali ini Anjani merasa hidupnya begitu sempurna.Tangan Arjuna turun ke bahu dan disaat itu pula, Anjani meraih tangan yang telah mendekapnya erat, semalam. “Jangan berubah lagi, ya,” pinta Anjani dengan nada lirih. Tak memberinya jawaban, Arjuna memberi sebuah kecupan yang kedua di pucuk kepala gadis itu. Mereka turun untuk sarapan, karena wak
Tok… Tok… Tok…Kecupan manis baru saja mendarat di mata kanan gadis itu, suara ketukan pintu menjeda mereka. Tak menghiraukan, Arjuna hendak mendaratkan kecupan selanjutnya di bibir sang istri, namun, ketukan pintu disana semakin kencang, hingga membuat konsentrasinya pecah. Arjuna pun bangkit, menghela nafas kasar dan menunjukkan raut wajah kesal. Disaat yang sama, Anjani bangkit, merapikan rambutnya yang mungkin sudah berantakan. Lalu kakinya berpijak, mencoba mengekori Arjuna. Arjuna membuka pintu lalu menampilkan sosok yang begitu mengejutkan.“Kau?”Arjuna memekik, matanya memicing, menatap seseorang yang tak seharusnya disana. “Mengapa kau ada disini?” tanya pria itu, heran. Pria lain terkesiap, matanya mengerjap beberapa kali. Terkejut mungkin, niat hati datang untuk koordinasi pekerjaan, ia justru mendapat tatapan sinis atasannya. Yups. Di ambang pintu itu telah berdiri Kris membawa setumpuk dokumen yang dibutuhkan. “Bukankah kau yang menyuruhku membawa dokumen penting ini u
Sepasang mata menjauh dari tempat itu setelah merasa hatinya mulai berkecamuk. Langkah kaki bergerak lebih cepat, hingga tanpa sadar orang tersebut menyebabkan kekacauan dengan menabrak seorang pelayan yang tengah mengantar hidangan hingga membuat hidangan tersebut berserakan karena kecerobohannya.Empat pasang mata lain mengamati ke arah tersebut, namun, penyebab kekacauan itu sudah berlalu pergi. Dalam hati, Anjani bergumam, semoga yang ia lihat tidaklah nyata. Ia lantas kembali mengalihkan pandangan serta obrolan di meja makan.“Sampai mana tadi?” tanya Nenek, setelah santapan makan siang habis, mereka berbincang sambil menghabiskan hidangan penutup disana.“Cicit, Nek,” jawab Naomi dengan cepat.“Oh iya, betul. Jadi kapan berikan Nenek cicit?” Pertanyaan itu spontan membuat Anjani terkejut. Nyatanya tak hanya gadis itu, Arjuna pun sama terkejutnya. Mata mereka membulat. Sendok es krim yang baru masuk ke mulut, terhenti sedikit lebih lama. “Nek, please!”Arjuna memohon, memandang
“Jadi benar dugaanku selama ini—kalian hanya berpura-pura saling mencintai!”Arjuna dan Anjani menoleh pada sumber suara yang berjarak satu meter sisi kiri mereka. Setelahnya, mata mereka membulat, melihat seorang gadis menuntutnya.“Jawab?!” pekik gadis tersebut membuat beberapa turis melihat ke arah mereka.Tak ada jawaban dari keduanya. “Susah payah aku meragukan ucapan Rama tentang kalian, tapi, justru kini aku terlihat sangat bodoh. Karena tak menyadari kebohongan kalian!”Kepalan tangan dibersamai gertakan gigi, terpancar dari sinar mata gadis disana. Rasanya, ingin sekali ia membunuh kedua orang disana dengan rasa sakit yang sama, seperti yang ia rasakan. Tuntutan gadis itu, sama sekali tak membuat Arjuna maupun Anjani berkutik. “Eung … Kay-la?” gumam Anjani. “Tutup mulutmu, jalang! Jangan pernah sebut namaku dengan mulut kotormu itu!” Kalimat itu kontan membuat Arjuna murka. Matanya menelisik lebih dalam. Namun, Kayla benar-benar seperti tengah kerasukan, hingga membuatnya