Dalam kamar yang sepi dan sendiri, Anita duduk bersandar pada tembok kamarnya. Laptop yang baru ia beli 3 bulan lalu, yang tergeletak di antara rak buku dan gelas pensil, dipandangnya muram.
“Haahh.... Padahal baru saja kau aku beli dengan susah payah. Sampai-sampai aku tidak beli stok jajan bulanan hanya agar aku bisa segera membelimu. Tapi kini kau malah hanya tergeletak di sana tanpa melakukan apa-apa,” kata Anita merasa kecewa.
Masih dalam ketermenungan, Anita kembali berpikir tentang semua usaha dan pencapaian yang ia lalui selama bekerja di DA.crop. Semua jerih payah dan pengorbanan yang ia lakukan, kini terasa bagai mimpi yang hanya lewat dalam pikirannya. Semua kenyataan yang beberapa waktu lalu ia rasakan begitu nyata. Kini terasa begitu semu dan menyedihkan.
&
Pagi hari, di kantor. Sagara sedang memeriksa beberapa dokumen penting di atas mejanya yang kemarin sempat tertunda. Ia membaca dokumen-dokumen itu dengan teliti dan penuh konsentrasi. Namun konsentrasinya menjadi pecah saat ia mulai menyadari bahwa sudah lebih dari 10 menit Anita berdiri sambil memandanginya.“Ada apa kau melihatku seperti itu terus? Aku tahu aku sangat tampan. Tapi bukan berarti kamu boleh melihatku selama hampir 15 menit tanpa berpaling,” seloroh Sagara yang seketika membuyarkan tatapan kasihan Anita padanya.Sejak pagi Anita tak henti memikirkan kondisi hati Sagara. Anita yang pernah merasakan putus cinta tentu merasa prihatin dengan Sagara. Namun rasa prihatinnya seketika melebur saat Sagara melontarkan kata-kata yang mampu membuat urat kesal Anita muncul ke permukaan kulit kepala
Jam istirahat kerja masih tersisa 15 menit. Anita pun masih duduk mengobrol lepas dengan pak Braham. Namun di tengah obrolan yang terdengar bagai obrolan anak dan ayah, sebuah panggilan telepon masuk di handphone Pak Braham dan menghentikan obrolan keduanya.Pak Braham segera mengangkat teleponnya.Wajah Pak Braham terlihat serius dan tegang saat mendengar pembicaraan orang di balik telepon itu. Sesekali, ia melirik ke arah Anita. Seolah-olah, yang sedang di bicarakan oleh penelepon itu berkaitan dengannya.“Ah, iya Pak. Baik, iya baik, Pak,”Anita memandang wajah Pak Braham selidik. Ia menebak-nebak dalam hati, siapa orang yang telah menelepon Pak Braham sam
Belajar dari pengalamannya, untuk hari ini, Anita sudah membuat 50 gelas kopi sekaligus. Ia mengantar kopi sebanyak itu menggunakan meja troli seperti yang ada di restoran-restoran.Awalnya ia merasa kesulitan saat membawa kopi sebanyak itu. Namun Anita tetap melakukan hal berlebihan tersebut sebagai bentuk protesnya atas sikap Sagara yang kian menjadi.“Hoi! Kau mau membunuhku? Untuk apa kau membawa kopi sebanyak ini? Apa kau lupa kalau aku punya mag? Aku bisa mati karena kopi sebanyak ini!” protes Sagara saat mejanya sudah dipenuhi 20 gelas kopi, sisanya masih ada di meja troli.“Memang lebih baik Bapak mati saja! Aku sudah lelah membuatkan kopi untuk Bapak. Sudah hampir 500 gelas kopi dalam 2 minggu ini, dan Bapak masih t
Di dalam sebuah mall. Dua wanita berparas cantik sedang berjalan sambil membawa barang belanjaan yang jumlahnya cukup banyak dan menyusahkan. Mereka adalah Anita dan Cecilia.“Hei, apa sebanyak ini barang yang mesti dibeli?” tanya Cecilia cemberut sambil membawa berkantung-kantung belanjaan di kedua tangannya.“Ya,,, begitu lah. Pokoknya kita harus membeli semua yang ada di catatan itu. Tidak kurang tidak lebih,” jawab Anita sambil tersenyum senang.Cecilia mengernyitkan kening. Dia merasa ada yang tak beres pada Anita. Dugaannya bukan dilandasi akan jumlah belanjaan yang cukup banyak. Namun, pada ekspresi Anita yang sudah begitu bahagia sejak berangkat dari rumah. Dan ekspresi itu tetap bertahan sampai detik ini juga.
Suara dengkuran lirih terdengar dari bibir tipis tanpa lapisan lipstik, yang di mana di ujung bibir itu terdapat genangan air yang membasahi batal bersarung putih dengan motif bunga di pinggirannya.“Cih, dasar wanita. Di luar selalu tampak rapi dan anggun. Tapi jika sudah di tempat tidur seperti ini, penampilannya menjadi sangat mengerikan!” gerutu Sagara yang sudah berpakaian santai namun tetap menampilkan sosok cool serta tampannya. Ia kini berdiri tepat di samping Anita sambil terus memandangi wajah tidurnya.“Hoi, bangun! Mau sampai kapan kamu tidur? Ini sudah siang, bukankah seharusnya kamu membangunkan aku jam 7?” seru Sagara dengan kesal.Kemarin malam Sagara sudah berpesan pada Anita untuk membangunkan dirinya
Wajah lesu tergambar jelas di wajah Sagara sepanjang mobil membawanya bersama Anita menuju sebuah mall terdekat di kota itu.“Apa ada masalah, Pak?” tanya Anita merasa tak tahan melihat wajah Sagara yang tercetak cukup jelas di kaca mobil.“Tidak ada,” jawab Sagara singkat. Pandangannya masih menatap luar jendela.Anita menghela nafas. “Apa karena wanita itu?” tebak Anita.Sebelumnya Anita sempat melihat Antonio dan Anindita yang duduk santai bersama Sagara sebelum akhirnya pergi terlebih dahulu sebelum ia datang.“Tidak.”
Dalam kamar hotelnya, Anita sedang asyik berbaring di atas kasur sambil pandangannya tertuju pada sebuah lampu gantung yang terlihat begitu klasik dan indah. Mata bening dengan kornea berwarna coklat gelap itu menatap lampu gantung itu, dalam. Semakin lama matanya menatap semakin larut dirinya dalam pikirannya. Mendadak seraut wajah menyergap masuk dalam pikirannya. Wajah tegas dan terlihat begitu menawan itu membuatnya dirinya tanpa sadar menyunggingkan senyuman tipis.“Ah,,, seandainya saja kamu normal sedikit saja.”Entah sosok siapa yang sedang Anita bayangkan. Namun yang pasti sosok itu sudah mulai merasuk dalam pikiran dan siap mengetuk pintu hatinya yang tidak terkunci.Entah itu di dunianya, atau pun dalam hatinya, Anita s
Anita tampak lesu dan suram semenjak Anniversary hotel Cempaka Indah malam itu. Dirinya menjadi tak bersemangat seperti biasanya. Ia bahkan tak banyak protes saat Sagara memintanya untuk membuatkan kopi lagi, lagi dan lagi.Ocehan dan gerutuan yang biasanya keluar dari mulutnya saat Sagara meminta kopi berulang kali, tak terdengar sama sekali. Anita hanya menanggapi setiap perintah Sagara dengan anggukan dan ucapan iya tanpa ada tambahan kata lain di belakangnya.Hal itu membuat Sagara menjadi ke pikiran dan membuatnya tak bisa bekerja dengan tenang. Ia merasa ruangannya jadi terasa sepi, hampa dan tak nyaman.“Kamu sakit?” tanya Sagara saat Anita meletakkan kopi ke-15. Ia sudah tak tahan untuk tidak bertanya soal perubahan sikap