Padahal satu macam aja.....
Regan memberikan ucapan selamat kepada Jeffan seraya menyerahkan kado yang dibawanya.“Selamat, Jeffan. Akhirnya sold out juga.”Tangan kanan Regan menggenggam tangan Jeffan. Sedangkan tangan kirinya menepuk pundak Jeffan dan berusaha memeluknya.“Kadonya besar sekali, Bos!” Jeffan merasa terharu. Beberapa hari yang lalu ia sudah mendapatkan sebuah mobil. Dan sekarang Regan masih memberinya lagi hadiah yang tak kalah mahal.“Sudah, jangan cengeng!” Regan meninju bahu Jeffan. Ia masih tak percaya jika asisten kepercayaannya itu sudah menikah.Mereka mengambil foto berempat. Namun hanya sekali. Selanjutnya Amira tidak mau ikut. Entah kenapa.‘Mengapa rasanya aneh melihat Amira. Sepertinya dia tidak benar-benar bahagia. Sementara Jeffan terlihat sangat mencintainya. Apa yang terjadi kepada Amira?’ batin Reina bertanya-tanya.“Ayo, Sayang. Kita foto lagi. Kok malah bengong, sih?!” Ucapan Regan menyadarkan Reina. Wanita itu tersenyum kikuk di hadapan suaminya.Beberapa jam telah berlalu. R
Keesokan harinya Regan dan Reina benar-benar keluar dari rumah mansion mewah itu. “Kalian yakin mau tinggal sendirian?” tanya Justin sedikit terkejut. Walau bagaimanapun ia nyaman tinggal bersama anak kandungnya itu. “Iya, Pa. Tekad kami sudah bulat. Lebih baik kami mencoba hidup mandiri.” “Baiklah. Papa cuma bisa merestui. Kalau ada apa-apa beri kabar. Papa tinggu kabar baik dari kalian.” Claudia muncul dari belakang. Ia ikut menghampiri Regan dan Reina. “Kenapa pergi dari sini? Sudah bosan?” tanya wanita itu sinis. “Sudah, Ma ... tidak perlu seperti ini. Biarkan saja mereka hidup mandiri. Mereka juga butuh privasi.” “Kenapa Papa jadi belain mereka?” Claudia merasa kecewa. “Baiklah. Mama tunggu kabar kehamilan dari kamu secepatnya. Jangan lama-lama.” “Kami pamit, Ma.” Regan menyalami papa dan mamanya. Begitupun Reina meski tak disambut dengan baik oleh Claudia. Regan mengajak Reina menempati rumah baru mereka. “Pak Regan ... kita tidak jadi tinggal di apartemen?”
Danny sedang duduk bersama Amel. Putrinya itu terlihat sangat sibuk dengan ponselnya.“Amel ... tolong hubungi, Reina. Katakan jika ayah rindu kepadanya.”Lelaki paruh baya itu terbatuk-batuk. Ia merasakan jika kesehatannya semakin menurun. Danny merindukan putri kesayangannya.“Kenapa sih, Yah? Ayah butuh uang? Amel lagi nggak punya nih. Maaf.”“Bukan begitu, Amel. Ayah cuma—”“Iya deh nanti Amel kasih tau, Reina.” Wanita itu membatin di dalam hatinya. ‘Aku juga lagi butuh dia.’“Kenapa tidak mencoba menghubunginya sekarang? Oh, ya. Hari ini ayah lihat kamu tidak masuk kerja,” ungkap Danny kemudian. “Kamu kapan menikah, Amel?”“Belum ada yang cocok, Ayah. Amel masuk dulu ke kamar.” Tanpa melihat ke arah Danny, Amel langsung pergi begitu saja. Sepertinya ia kesal mendengar pertanyaan ayah tirinya.Danny geleng-geleng kepala. Umur Amel sudah sangat cukup untuk menikah. Sementara Reina saja sudah menikah dan bahagia bersama Regan. “Apakah sebaiknya aku jodohkan Amel dengan anak temanku?
“Sebaiknya kita segera pulang, Reina. Perasaanku jadi tidak enak,” ajak Regan setelah menunggu beberapa menit lamanya di tempat itu.“Pak Regan benar.” Mereka berjalan beriringan hingga ponsel Reina berdering. “Sebentar, Pak. Reina angkat dulu teleponnya.”“Apa?” Reina merasa sedih setelah berbicara dalam telepon.“Ada apa, Sayang? Siapa yang telepon?” tanya Regan khawatir.“Ayah jatuh dan tak sadarkan diri, Pak. Sebaiknya kita segera ke rumah Ayah.”“Baiklah, ayo!” Cepat-cepat mereka masuk ke dalam mobil.Reina terlihat sangat resah. Ia takut Danny kenapa-napa.“Kamu tenang, ya? Semoga ayah baik-baik saja. Aku yakin jika Ayah adalah lelaki yang kuat.”Reina mengangguk lemah. Kini ia merasa sedikit tenang setelah Regan menyemangatinya.Tiba di rumah Danny, Reina langsung berjalan cepat dan mengetuk pintu rumah di hadapannya. Regan memang telah memberikan rumah yang layak kepada keluarga Reina. Seperti janjinya dulu saat menawari pernikahan kontrak kepada wanita itu. Hanya saja Reina
Rafa mengangguk semangat.“Kakak khawatir ya sama Kak Regan? Dia kok nggak nyariin Kakak, ya?” Rafa mendongakkan kepalanya. Melirik ke atas seolah tampak berpikir.Tiba-tiba Reina teringat akan kejadian tadi. ‘Jangan-jangan Pak Regan masih digodain Kak Amel. Ah, tidak! Reina tidak rela.’Wanita itu geleng-geleng kepala.“Kenapa Kak Reina? Mikirin apa sih?” tanya Rafa penasaran.“Em ... tidak apa-apa, Sayang. Sebaiknya kamu segera tidur, ya? Sekarang sudah malam.” Jemari Reina mengusap lembut kepala adiknya.Rafa menganggukkan kepalanya. Ia meminta Reina menyanyikan lagu untuknya.Beberapa menit telah berlalu. Rafa sudah tertidur begitu lelap. Reina pun ingin ikut tidur karena merasa capek. Ia sampai melupakan suaminya.Namun tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk dari luar.“Siapa?” tanya Reina.Tak ada jawaban.“Pasti Pak Regan! Malas sekali.” Reina mencoba tak menghiraukan, tetapi pintu terus-menerus diketuk dari luar.Dengan terpaksa Reina bangkit dari kasur. Ia berjalan pelan mem
Setelah kepergian ulat bulu satu itu, Regan memeriksa isi bekal makan siangnya. Lelaki itu tersenyum manis lalu mulai mengirim pesan kepada Reina.[Terima kasih makan siangnya, Sayang.]Regan menanti balasan pesan dari Reina sambil menikmati makanan yang ada di depannya. Berkat makan siang itu, moodnya kembali membaik.“Semoga Pak Regan suka dengan makanannya. Maaf tidak bisa datang sendiri. Apakah Kak Amel berbuat macam-macam kepada Bapak, hem?”Balasan pesan dari Reina sukses membuat Regan senyum-senyum. Ia senang jika istrinya cemburu.[Makanannya sangat enak. Kamu sangat mengerti jika aku merindukan masakan kamu. Apalagi orangnya. Amel ke sini meminta uang karena aku belum sempat mengirimkan uang untuknya dan untuk kebutuhan keluarga.]Reina merasa tidak enak hati kepada Regan. Tetapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.“Maafkan Reina ya Pak Regan. Keluarga Reina jadi memanfaatkan Bapak.”[Kenapa harus meminta maaf? Ini semua sudah janjiku. Aku juga sudah mengirimkan uang untukmu.
Regan memeriksa ponselnya yang sejak tadi berdering. Ia mendapatkan laporan dari anak buahnya.“Astaga, aku sampai melupakan tentang hal ini. Sebaiknya aku segera ke sana sekarang.”Regan segera meninggalkan ruangannya. Ia berkendara dengan kecepatan sedang.***Setelah Xavier mengantarkan mamanya pulang ke mansion, ia memilih untuk kembali ke rumah yang lama. Rumah yang rencananya akan ia tinggali bersama istri barunya nanti.Meski Xavier kini sangat membenci Justin, namun ia sadar membutuhkan harta dari lelaki itu.Xavier merasa hampir gila. Ia mulai menjalani kehidupan seperti dulu. Menghabiskan waktunya dengan bermain wanita dan mabuk-mabukan.“Aku benci kamu, Justin keparat! Berani sekali menduakan mamaku!” Xavier berteriak. Membuang botol yang kosong ke dinding kamar.Sementara Justin baru saja berpamitan dengan Kimberly. Ia harus mengambil sesuatu di rumah lamanya.“Jika ada apa-apa, segera hubungi aku.”Setelah berkendara cukup lama, akhirnya Regan sampai di tempat yang dituju
Regan harus pulang ke rumah lagi. Ia mendapat kabar dari Bi Nita jika mamanya berusaha untuk bunuh diri. CEO tampan itu melajukan mobilnya sangat kencang. Ia ingin segera tiba di rumah. Regan berlari menuju kamar setelah sampai di depan rumahnya. “Bi ... apa yang terjadi?” tanya Regan merasa gelisah. Rupanya Dokter Morgan sudah tiba di terlebih dahulu dan memberikan obat penenang untuk Olivia. “Bagaimana bisa terjadi, Bi?” Regan bertanya lagi kepada Bi Nita. “Tadi bibi bermaksud mengupaskan buah buat Nyonya Olivia. Tetapi tiba-tiba Beliau datang dari belakang dan merebut pisaunya. Untung bibi bisa bergerak dengan cepat.” “Syukurlah, Bi. Lain kali lebih berhati-hati lagi ya, Bi.” Dokter Morgan keluar dari kamar. Ia pun ikut merasa khawatir. “Mama kamu sudah tertidur. Pak Regan yang sabar, ya?” Dokter itu terlihat sangat sabar dan peduli terhadap keluarga Regan. Sejak dulu dia memang menjadi dokter kepercayaan. Hanya saja lelaki tampan itu masih betah menjomblo sampai sekarang