Share

7. Merindukan Orang yang Telah Tiada

Hm ... hanya karena Pak Jhon tidak sabaran untuk mendapat penjelasan dan pengakuan anak bungsunya yaitu Dea, akhirnya yang terjadi adalah, mobil yang dinaiki banyak orang itu oleng dan hampir menabrak pembatas jalan.

CKIIIIT!

Untungnya Pak Jhon bisa mengendalikan kembali mobilnya dan memilih untuk berhenti. Daripada mati gara-gara ceroboh.

"Ya Allah, Pak! Hati-hati!" Dea Posa terkaget-kaget sampai mikir apa dia baru saja hampir berurusan dengan malaikat kematian lagi? Aduh ... Dea sampai basah oleh keringat.

"Gusti, tak kira kita akan mati, Bun." Nana Banana malah nyeplos sekata-kata. Mengilatkam bulatnya mata Pak Jhon dan Momy Karina.

"Nana! Jangan ngomong gitu!" tegur Momy Karina sambil mencubit pinggang Nana. Nana meringis sakit, dia yang polos hanya nyengir usai meminta maaf bila kata-katanya salah.

"Iya, untung masih selamat." Dan ganti dengan kalimat ini.

'Buset, tahu ini si Nana. Kagak bisa baca situasi lagi genting juga. Mata bapakku sampai mau keluar lompat, tuh.'

"Bapak nggak apa-apa, kan?" Kakak Dea bertanya. Cemas, bagaimana tidak. Usai hampir menabrak pembatas jalan, mana mungkin jantung Pak Jhon baik-baik saja. Sedikitnya kaget, lah.

"Enggak. Enggak apa-apa. Sebaiknya sekarang kita melanjutkan perjalanan. Biar urusan Dea nanti kita bicarakan di rumah," ucap Pak Jhon sambil menyalakan kembali mesin mobil.

Tangan yang mulai keriput itu sedikit gemetar. Tapi untungnya tak ada yang menyadari. Mobil pun melaju kembali, kali ini agak pelan.

***

Sampai di rumah, Pak Jhon kembali dibuat jengkel oleh kelakuan Dea Posa karena anak itu tak langsung masuk ke rumah, malah dadah-dadah pada Nana di balik pagar.

Hal yang membuat darah Pak Jhon bergejolak. Kak Dian yang menyadari itu kontan meminta Pak Jhoj masuk lebih dulu, biar Dea, dia yang urus.

"Pastikan Dea segera masuk dan jangan sampai dia keluyuran lagi." Pak Jhon melangkah menuju pintu utama. Meninggalkn ketiga anaknya yang kini terfokus pada Dea.

"May, kamu samperin sana si Dea. Dasar anak itu, udah salah malah bertingkah!"

Kak Maya berjalan tergesa. Menghampiri Dea.

"De, udah jangan ngegibah terus. Besok aja, ya. Bapak udah ngambek di dalem, tuh. Jangan nambah-nambah," kata Kak Maya sambil menyeret Dea sekuat tenaga.

Maklum saja, Kak Maya lagi hamil begini. Jadi kurang tenaga. Habis tenaganya sejak bangun pagi hanya untuk muntah.

"Iya, iya, Kak Maya. Dadah Nana. Sampai besok, ya!"

Masih saja dadah-dadah. Kak Maya jadi gemas, mau tak hih rasanya!

Dea dan Kak Maya pun masuk. Namun, ketika melihat Pak Jhon duduk di sofa dan menatap tajam, Dea sudah malas duluan. Pasti mau mengungkit masalah jeruji besi lagi, terus menyalahkan dia.

Akkh!

"Duduk!" titahnya. Tuh, kan. Suara Pak Jhon sudah menggelegar bak petir di tengah malam. Mengejutkan ketiga anak-anaknya, kecuali Dea.

Dea terlalu fokus pada bapaknya yang egois.

"Duduk, Dea! Apa yang kamu lakukan? Malah diam kayak patung!" Kak Dina menarik Dea ke arah sofa, membuat Dea akhirnya duduk saling berhadapan dengan bapaknya.

"Dea, kasih bapak penjelasan kenapa kamu kabur dari rumah?!"

Ih! Lagi-lagi dituding kabur dari rumah. Tapi memang benar juga, sih apa yang dikatakan bapaknya. Pergi diam-diam dan membawa pakaian sama saja dengan kabur, kan?

"Gara-gara kamu bapak sampai—"

"Pak! Jangan nyalahin Dea terus, dong. Bapak sendiri juga salah. Orang kalau anaknya pergi itu dicariin baik-baik, dicari tahu apa penyebab dia pergi, terus introspeksi diri kenapa bisa Dea pergi. Bener Bapak nggak ada ngerasa salah sedikitpun?!" potong Dea. Dia nyerocos, dan ini kali pertama dia memuntahkan kemarahannya kepada Pak Jhon.

Luar biasa. Berani sekali Dea! Ketika kakaknya terkaget-kaget. Anak baru lahir kemarin itu sekarang mampu melawan bapak mereka?! Astaga! Demi langit dan bumi, ketiganya cemas takut akan ada pertikaian sengit malam ini.

"Heh, Dea. Jangan gitu sama bapak. Bapak tanya baik-baik, bukan nyalahin kamu. Astaga anak ini." Kak Dina angkat bicara sebelum bapaknya. Dengan maksud untuk meredakan suasana yang mendadak horor.

Iyalah, jika Pak Jhon marah besar, rasanya aura horor pada keluar.

"Au ah gelap," kata Dea, dan berakhir membuat Pak Jhon murka.

BRAAAK!

Digebraknya meja, sontak semua terkaget-kaget. Dea menatap mata Pak Jhon yang mengilat marah. Sorotnya terlihat berapi-api, bahkan mungkin rasanya ingin menelan hidup-hidup anaknya yang membangkang ini.

"Bapak tanya baik-baik, dan kamu malah berlaku kurang ajar! Siapa yang mengajari kamu menjadi anak seperti ini?! Hah?! Jika ibumu melihatnya, dia pasti merasa sedih!"

Sekarang mata Dea yang dibuat berkaca-kaca perih. Ibu? Mengapa bapaknya mengungkit ibunya yang sudah tiada?! Benar-benar jahat!

"Dea begini juga karena Bapak! Bapak banyak ngatur, makanya Dea muak. Masalah jodoh aja sampe diatur! Jadi jangan nyalahin Dea melulu! Sumpah, deh! Nggak paham sama Bapak!"

Dea Posa menitikkan air mata. Saking kecewanya, saking muaknya. Dia menjengkat pergi menuju kamar tanpa mau lagi menatap mata bapaknya.

"Dea!" Kak Anita hendak mengejar, tapi langsung ditahan oleh Pak Jhon.

"Sudah. Biarkan dia. Kalian masuklah ke kamar masing-masing. Tidur. Jangan tunggu bapak kalian naik darah baru pergi," ucap Pak Jhon dengan tatapan kosong.

Sepeninggal anak-anaknya yang lain, Pak Jhon menatap pintu kamar Dea, menghela napas berat dan membuangnya. Dikesampingkan rasa marah yang menggebu-gebu itu, Pak Jhon berusaha menenangkan diri. Terutama ketika mendengar lengking tangis anak bontotnya itu.

"Bukan bapak ga sayang dan sok ngatur, Dea. Asal kamu tahu saja, semua demi kebaikan kamu." Hingga tak terasa air matanya keluar sedikit.

Pak Jhon teringat mendiang istrinya. Ia meraih bingkai foto ibu dari anak-anaknya. Lalu berjalan menuju kamar Dea. Pak Jhon berdiri di depan pintu kamar itu, berpikir apa mungkin tindakannya memang salah?

Di dalam, Dea pun masih menangis lepas. Saat ini, Dea juga tengah memandangi potret mendiang ibunya yang sudah cukup lama tiada.

"Andai aja Ibu masih ada. Bapak nggak akan segila itu!" kata Dea membuat langkah Pak Jhon yang baru maju selangkah terhenti.

"Bapak sekarang jahat, Bu! Bapak bener-bener jahat!"

Demi Tuhan, nyeri hati Pak Jhon. Dengan apa yang sudah ia lakukan demi melindungi putri bungsunya dari lelaki buaya, ia dicap jahat.

"Bu, kamu dengar kata anakmu? Dia menyebutku jahat. Bagaimana menurut kamu?" gumam Pak Jhon sambil menatap kembali foto di tangan. Air matanya menitik tak tertahan.

Tadinya ingin mengetuk pintu, ingin bicara baik-baik dengan harapan agar Dea bisa mengerti. Ia ingin anaknya paham bahwa acara seleksi calon mantu yang dilakukannya adalah untuk kebaikannya. Bukan yang lain. Bukan tak boleh punya pasangan itu saja. Tapi karena mendengar kata itu, Pak Jhon batal mengetuk. Lebih baik dia pergi ke kamarnya.

Sekarang, keduanya tengah menangis tanpa suara di kamr masing-masing, menangisi orang yang selalu dirindukan setiap harinya.

Bu Anggiani. Sosok mendiang istri terbaik bagi Pak Jhon, juga ibu terbaik bagi Dea.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status