"Bisa tidak kamu usaha seperti yang lain?"
Suami yang harusnya membimbing istrinya dan menafkahinya, justru menyudutkan sang istri. Sebanyak apapun pekerjaan yang dilakukan sang istri tak ada harganya di mata sang suami.
"Aku sudah mencari pekerjaan, tapi tak juga ada yang memanggilku."
Sang istri mengatakan kebenarannya, ia terus mencari pekerjaan hanya saja tak kunjung mendapat panggilan. Jadi dia hanya bisa di rumah mengurus anak semata wayangnya dan juga rumah yang memang tak besar.
"Kalau hanya mengandalkan gajiku saja itu tidak cukup, mau sampai kapan kita seperti ini?"
Sang suami berlalu pergi untuk bekerja, tak ada salam pamitan seperti biasanya. Ia keluar dengan amarah yang memenuhinya.
Sementara sang Istri yang sejak pagi buta ditekan oleh sang Suami hanya bisa menahan rasa sakitnya. Ia ingin mencurahkan segalanya, tapi hal itu tak bisa karena anaknya yang masih berumur 4 tahun menangis di atas kasurnya.
Rasa sakit yang menyelimutinya ia tahan dan memeluk anaknya yang terus saja menangis. Rasanya mencium bau tubuh anaknya adalah obat penenang untuknya.
"Rena lapar?" tanya sang Ibu pada Anaknya.
Bocah kecil berumur 4 tahun itu mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan sang Ibu.
"Mba Weni, Mba di rumah?"
Ketukan pintu cukup mengejutkan sang pemilik rumah, Ibu dari Rena.
"Iya, ada apa?"
Ibu Rena, Weni Anggara atau biasa dipanggil Weni bertanya saat membukakan pintu rumahnya. Seorang wanita yang tinggal di sebelah rumahnya itu tersenyum.
"Aku membawakan makanan, kebetulan Ibu memasakan lebih."
Wanita yang lebih muda dari Weni itu memberikan bungkusan hitam. Ia juga langsung mengambil alih Rena yang tengah tersenyum menyambut wanita bernama Mila Harahap.
"Rena baru bangun?"
Mila bermain dengan Rena dengan sangat cerianya, hal itu sudah menjadi hal biasa untuk Weni. Mila dan keluarganya sangat baik dan cukup akrab dengan keluarga Weni.
"Terima kasih banyak ya, Mil. Maaf aku belum bisa bales apa-apa," ucap Weni saat Mila kembali memberikan Rena padanya.
"Tidak masalah, Mba Weni kan juga sering bantu aku." Mila tersenyum kembali. "Lain kali aku boleh belajar dengan Mba Weni lagi kan?" tanya Mila bersemangat.
Weni mengangguk yakin, "Kapan pun itu, datang saja."
"Terima kasih." Mila kembali tersenyum. "Mila pulang dulu ya Mba," pamit Mila.
Weni mengangguk dan Mila pun berangsur pergi, meninggalkan Weni yang tengah menggendong Rena dan membawa bungkusan plastik.
Weni menaruh Rena di lantai dan menempatkan isi yang ada di plastik. Weni tersenyum saat mendapati beberapa potong ayang goreng dan juga sayur sup kesukaan Rena.
"Rena, lihat." Weni membawakannya sepiring lengkap dengan nasi untuk Rena. "Ayam goreng kesukaan Rena," ucap Weni dengan senang.
"Hore, ayam!" seru Rena dengan suara imutnya.
Weni dengan senang menyuapi Rena hingga habis banyak, sementara dirinya hanya memakan sisaan dari Rena. Baginya Rena dan Suaminya lah yang utama, jadi ia menyisihkan makanan hanya untuk mereka.
"Rena main sendiri dulu ya, Mama mau membersihkan rumah." Weni berbicara pada Rena saat ia sudah selesai menyuapi dan memandikan Rena.
Rena mengangguk, ia kini bermain masak-masakan seorang diri di ruang depan. Sementara Weni segera melakukan tugasnya sebagai Ibu rumah tangga.
***
Senja dan malam hari adalah waktu istirahat Weni karena Rena tengah tertidur. Ia pun memegang ponselnya untuk menanyakan suaminya yang belum juga pulang.
Namun Suaminya kembali mengabaikannya, hal ini sudah berjalan sekitar tiga tahun. Suami Weni, Haris berubah cukup tempramen dan kasar.
Haris yang lembut dan pengertian hilang begitu saja, h itu terjadi sejak Haris turun pangkat dan dipindah tugaskan.
Tok tok tok
Suara pintu rumah Weni terdengar hingga ke kamarnya, membuat Weni mau tak mau beranjak dari kasurnya.
"Mba maaf, bisa tolong bantuin aku mengerjakan ini."
Mila yang berada di ambang pintu terbuka menyeruak masuk dengan membawa sebuah laptop. Weni yang paham itu hanya bisa mempersilahkan Mila masuk.
Mila adalah anak yang masih duduk di kelas 2 sekolah menengah atas. Sekolah yang ia masuki adalah sekolah internasional, jadi semua mata pelajarannya berbahasa Inggris.
Kebetulan Weni cukup cakap dalam bahasa Inggris, jadi terkadang Mila meminta tolong padanya untuk membantu mengerjakan tugasnya. Weni tidak keberatan akan hal itu, baginya belajar kembali adalah hal yang menyenangkan.
Jam menunjukkan pukul 9 malam, tugas Mila pun akhirnya selesai. Mila yang selalu membawa cemilan saat datang, meminta Weni untuk mengobrol sebentar sambil menghabiskan cemilan.
"Mas Haris belum pulang?" tanya Mila yang baru sadar.
"Dia belakangan pulang jam sebelas malam, sepertinya sedang banyak pekerjaan."
Mila menanggapi jawaban Weni dengan mulut yang membentuk huruf 'O' dan mengangguk mengerti. Tanpa dipungkiri Mila cukup senang karena tak bertemu dengan Haris.
"Mba, aku mau curhat." Mila menatap Weni penuh harap.
"Ada apa?"
"Aku baru punya pacar baru," serunya dengan volume yang kecil agar Rena tidak terbangun.
"Benarkah? Bukannya kamu baru putus seminggu lalu?"
Weni tak menyangka Mila sangat cepat mendapatkan penggantinya. Padahal seminggu lalu ia menangis karena baru putus dengan pacarnya.
"Hmm, aku kenalnya di sebuah aplikasi Chatting. Dia orang luar negeri Mba," ucap Mila dengan wajah yang penuh semangat.
"Kamu kenal di mana? Apa pindahan dari sekolah luar negeri?" Hanya itu yang bisa dipikirkan Weni dengan nalarnya.
"Dunia itu sudah sangat mudah Mba, dunia itu sudah dalam genggaman tangan." Mila memperlihatkan ponselnya. "Aku bertemu dengannya di sini," ucapnya dengan menunjuk sebuah logo yang tertera di ponselnya.
Weni melihat sesaat dan kembali melihat Mila yang masih tersenyum lebar. Ia kembali menarik ponselnya dan memberikan gambar foto seorang pria tampan.
"Kamu hanya kenal di dunia maya?"
"Hmm …." Mila mengangguk untuk mengiyakan pertanyaan Weni.
"Hati-hati, banyak penipuan di sana. Jangan main percaya saja," nasihat Weni.
Weni itu tidak buta teknologi, ia justru mahir. Namun karena ia menikah muda, dirinya harus menutup diri dari dunia luar.
"Aplikasi ini nyata Mba, kita daftar harus dengan kartu identitas." Mila mengambil ponsel Weni. "Coba lihat kartu Mba."
Weni yang seakan tersihir memberikan kartu identitasnya pada Weni, bahkan ia memfoto Weni dengan kartu identitasnya.
"Selesai," seru Mila.
"Kamu daftarin Mba?" tanya Weni yang tak percaya saat melihat data dirinya di aplikasi tersebut.
"Di sana data diri kita yang terlihat hanya tanggal ulang tahun dan nama, selebihnya adalah rahasia."
"Bukannya itu sama saja dengan aplikasi lainnya?"
"Oh no, tidak Mba. Aplikasi ini bisa digunakan hanya bila lokasi kita dinyalakan. Hal itu untuk mengurangi penipuan dan juga kejahatan," jelas Mila.
Weni hanya menatap aplikasi yang tertera foto beberapa orang di berandanya. Disana terlihat negara, nama asli, dan juga tanggal lahir.
"Kita tidak bisa merubah nama sama negara meski pakai server atau apapun itu."
"Lalu untuk apa Mba punya aplikasi ini?"
Weni baru menyadari apa yang telah dilakukan Mila. Aplikasi itu seperti aplikasi dating, bagaimana bisa ia menginstalnya.
"Hanya untuk iseng-iseng," kekeh Mila.
"Kamu …."
"Aku pulang," suara Haris terdengar dari balik pintu yang terbuka sedikit.
"Malam Mas," sapa Mila.
"Eh, ada Mila. Ngerjain tugas?" tanya Haris dengan sopan dan lembutnya.
"Iya, Mas. Tapi, sudah selesai." Mila merapikan buku dan laptopnya. "Mba, makasih ya."
Weni hanya mengangguk dan mengantar kepergian Mila. Setelah pintu tertutup, Weni berlari ke dapur untuk menyiapkan makanan dan kopi untuk Haris.
"Lain kali minta bayaran darinya," omel Haris seraya duduk di sofa.
Rumah Weni dan Haris hanyalah rumah yang kecil, di depan ada teras, lalu masuk langsung ruang yang berisi sofa dan TV, kebelakang lagi ada dua kamar dan di depannya ada meja untuk menaruh makanan, di bagian belakang ada dapur dan kamar mandi.
Jadi apapun yang dibicarakan terkadang terdengar oleh Weni, meski Haris berada di ruang depan sementara dirinya di dapur.
"Oh iya, jaket aku yang hitam kemana? Besok mau aku pakai?"
"Masih basah, tadi aku cuci sore."
"Ngapain aja sih kamu seharian? Di rumah aja, masih aja males malesan!"
Haris beranjak dari duduknya dan melewati Weni yang membawa kopi serta makanan. Weni sangat tahu kalau Haris sudah marah, apapun yang disiapkannya tak akan disentuhnya.
Weni hanya terduduk di sofa, meratapi kopi yang masih panas di hadapannya. Rasanya sangat lelah, tapi ia kembali menahan segalanya.
***
Weni kembali mengisi harinya dengan rutinitas yang terus ia jalani beberapa tahun ini. Meski terkadang lelah dan penat, Weni sangat tahu posisinya. "Mama, aku mau es." Rena menarik baju Weni, saat Weni membawanya untuk berbelanja kebutuhan. Weni yang berniat membeli sesuatu yang diinginkannya, kembali mengenyampingkan hal itu dan membeli apa yang diinginkan Rena. "Rena mau yang mana?" sambil menggendong tubuh kecil Rena, Weni membuka chiller es krim. "Ini," ucapnya dengan menunjuk es krim yang cukup mahal. "Kalau yang ini mau tidak?" Rena mencoba mengalihkan ke es krim yang memiliki rasa yang sama, tapi lebih murah.
"Mas, bisa tolong bantu aku bermain sebentar dengan Rena?" Weni meminta tolong Haris yang tengah bermain ponselnya dengan televisi yang menyala.Hari ini adalah hari libur Haris, sejak pagi Haris terus bermain ponselnya. Sementara Weni, ia sudah sibuk sejak matahari mulai terbit.Pekerjaan yang sama terus ia lakukan setiap harinya, tapi itu adalah kewajibannya. Meski terkadang penat, kodratnya sebagai seorang Istri membuatnya tak bisa menolaknya."Aku ini sedang libur, aku ingin beristirahat. Bukankah itu wajar?" Haris menatap tajam Weni, menolak dibalik ucapannya.Weni terdiam, dia butuh Rena ditemani Haris. Tapi lagi-lagi dirinya harus mengurus anaknya dan juga mengurus rumah secara bersamaan."Mama …."Tangan kecil Rena yang menarik tangannya, membuyarkan lamunannya. Rasa kesal dan sakit hati yang dirasakan berangsur reda, terlebih saat Rena t
"Makanlah dahulu." Weni menahan Haris yang ingin langsung berangkat bekerja, padahal Weni sudah memasak sejak pagi. Bahkan ia sudah membuatkan kopi, yang biasa menjadi rutinitas sang suami. "Aku sudah telat," elak Haris. "Ini masih jam berapa Mas, kamu …." "Aku sudah bilang telat, ya telat." Haris menepis tangan Weni yang tadi sempat menahannya. Ia bahkan tak mengecup kening dan memberi salam seperti dulu, saat awal dirinya menikah. Weni yang kecewa, mengambil kopi yang dibuatnya dan meminumnya. Ia tidak nafsu makan belakangan ini, kopilah yang membuatnya sedikit tenang.
"Bagus, kamu melakukannya dengan baik." Haris menerima uang dari Weni tanpa bertanya dari mana uang itu berasal. Ia hanya menerima uang itu dan tersenyum, mengusap kepala Weni. Hal yang selama ini sudah lama ditinggalkannya, bahkan Weni sudah lupa terakhir Haris menyentuhnya. Haris hanya menyentuhnya bila ia meminta berhubungan intim saja, saat dia terpuaskan dia akan tidur kembali. Tak ada sentuhan perhatian seperti sekarang dilakukannya, Haris mengusapnya lembut dengan penuh kasih sayang. Hanya saja Weni tetap merasakan hampa dan kosong. "Aku akan membayarkan uang ini," ucap Haris dengan membawa uang itu bersamanya. "Hati-hati di jalan."
“Mama ... Mama ....”Weni yang tengah tertidur, terbangun oleh suara kecil dan guncangan tangan kecil Rena di lengannya. Dengan mata yang masih berat, Weni mencoba membuka matanya.“Ah ...,” rintih Weni saat merasakan pipinya yang sedikit perih.Ia dengan berat hati mendudukkan tubuhnya dan menutup pipi yang terasa sakit dengan tangan dinginnya. Weni baru ingat apa yang terjadi semalam.Matanya yang bengkak dan rambut yang berantakan, terpantul dari kaca meja rias di hadapannya. Weni menghela napas berat dan beranjak dari duduknya.“Rena tunggu sini ya, Mama ke kamar mandi dulu.”Weni mencoba tersenyum perlahan karena sudut bibirnya terasa sakit. Namun tangan kecil Rena justru mencegahnya, ia menunjuk ponsel yang berada di atas kasurnya.“Itu, bunyi ....” Rena mencoba menjelaskan bahwa ponse
“Maaf Pak, Anda harus menghadiri rapat.”Seorang wanita masuk setelah mengetuk pintu beberapa kali dan memberikan sebuah berkas pada atasannya. Atasannya menatap layar komputer dan kembali menatap jam tangannya beberapa kali.Ia memutuskan untuk mematikan microphone yang masih menyala dan menatap wanita yang merupakan Sekretaris pribadinya. “Beri aku waktu sepuluh menit,” ucapnya.“Baik,” ucap wanita yang memiliki nama Kim Dami.Pria itu kembali menyalakan microphone dan menatap seorang wanita yang tengah menangis di layar komputernya. Ia ingin berbicara, hanya saja dirinya takut wanita itu justru semakin menangis.“Maafkan aku Hajoon,” ucap wanita yang berada di seberang panggilan videonya.“Tidak apa-apa.” Hajoon tersenyum pada wanita di dalam layar yang bukan lain adalah Weni. Seorang wanita yang ia kenal dari sebuah aplikasi dan kini mulai mengisi hari-harinya.“Aku
Weni membuka pintu dan kembali menemukan seorang pria tengah berdiri di hadapannya. “Maaf Anda siapa?” tanyanya.“Ini benar rumah Ibu Anggara?” tanya pria itu, sementara Weni hanya bisa mengangguk. “Ini ada kiriman paket,” ucapnya seraya mengambil sesuatu dari dalam mobil yang terparkir di depan.Weni terdiam sejenak, ia merasa tidak pernah membeli barang. “Maaf, tapi saya tidak pernah membeli barang Online. Apa Mas tidak salah rumah?” tanya Weni sebelum menerima sebuah paper bag yang cukup besar.“Anda bisa melihat nama pengirimnya karena saya di pesan untuk tidak boleh menyebutnya.” Pria itu memberi paper bag tersebut pada Weni.Weni hanya bisa menerimanya dan melihat nama pengirim, yang di maksudnya oleh kurir tersebut. Betapa terkejutnya Weni saat nama Park Hajoon tertera di kertas tersebut.“Benar, ini milik I
Hari ini, seorang wanita tengah sibuk dengan pekerjaan tambahan yang diberikan. Semua karena keluarganya hari ini tengah mengadakan acara untuk menyambut pengiriman Anak pertama di keluarganya sebagai perawat di Australia.“Bangga banget punya anak kaya Helen,” ucap seorang wanita paruh baya pada wanita yang merupakan tuan rumah acara.Helen Anggara sendiri adalah Anak pertama yang akan menjadi Perawat di Australia. Anak yang selalu menjadi kebanggaan keluarganya yang notabene nya adalah keluarga Pegawai Negeri Sipil.“Anak kamu juga hebat, sudah jadi Karyawan tetap di Bank.” Ibu dari Helen kembali memuji temannya itu.Tak lama mereka pun saling tertawa, setelah memuji anak pertama mereka yang sukses. Tanpa melihat sedikit pada wanita yang tengah membantu di dapur, yang merupakan anak kedua dari tuan rumah.“Weni, sapa Ibu Dian.”