Weni menatap langit yang berbeda dari langit yang biasa menemani hidupnya selama ini. Udara yang cukup dingin menerpa wajahnya, memberikan kesejukan yang berbeda.“Mamah, ini dimana?”Weni berjongkok dan memakaikan syal pada leher Rena agar anak semata wayangnya itu tak sakit dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba. “Kita sedang berada di negara yang Bernama Korea Selatan,” jawab Weni.“Apa?”Rena menatap tak mengerti, ia bahkan sedikit mengernyitkan keningnya karena tak mengerti. Namun belum sempat Weni kembali menjelaskan, tangan besar nan kokoh sudah mengambil alih Rena darinya dan menggendong tubuh kecil Rena dengan erat.“Rena sekarang ada di tempat Om dilahirkan.” Hajoon menjelaskan dengan singkat dan di terima dengan cepat oleh Rena. “Apa Rena senang berada di tempat kelahiran Om?” tanya Hajoon dengan membawa Rena dan Weni ke sebuah mobil yang terparkir.Mereka masuk ke dalam mobil yang cukup bagus, bahkan saat masuk ke dalamnya Weni bisa merasakan kemewahan mobil itu. Bahkan so
Weni menatap wanita bak bidadari tepat di hadapannya, wanita dengan wajah yang kecil dan cantik. Kulit putih bersih, bibir yang tipis, rambut sebahu yang indah terurai.Bahkan saat wanita itu mendekat wangi lembut semerbak mengisi indra penciuman Weni. Semua kepercayaan diri Weni hancur luluh lantah tepat di saat wanita itu duduk di dekatnya.“Maaf membuatmu terkejut akan kehadiranku,” ucap Yerim untuk membuka pembicaraan di antara mereka.Weni tak menjawab, ia bingung, kesal, marah, rendah hati, dan merasa minder. Semua perasaan itu akan meledak, andai Weni membuka mulutnya. Ia menahan segalanya, berharap masih bisa mempertahankan harga dirinya.Weni sepenuhnya tahu bahwa dirinyalah yang salah, ia yang berselingkuh. Weni bisa merasakan posisi Yerim, karena belum lama itu adalah posisinya.“Aku dan Hajoon bertunangan bukan karena cinta.” Yerim cukup fasih dengan bahas Inggris, jadi Weni bisa mengerti ucapannya. “Kami bertunangan karena aku sakit, Hajoon menerimanya begitu saja. Tapi s
Weni menatap ruangan yang cukup sepi saat siang hari, Rena tengah tertidur siang dan ia baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Tak banyak yang dilakukan di kediaman Hajoon karena ada seorang Wanita paruh baya yang membantunya pada pagi hari dan ia akan menyelesaikannya sisanya.Bahkan kegiatan berbenah sangat mudah karena ada alat-alat yang cukup canggih untuk membersihkan rumah. Weni cukup sedikit kesulitan pada awal pengoperasian alat-alat canggih itu, beruntung Wanita paruh baya yang Bernama Bibi Jang sangat membantunya, meski mereka berbicara dengan Bahasa Korea yang minim.“Apa yang harus aku lakukan lagi?” gumam Weni menyalakan Televisi di hadapannya.Beruntung saluran TV tidak hanya berbahasa Korea, banyak penayangan film luar dan acara-acara yang berbahasa Inggris. Weni sedikit terhibur, hanya saja tetap ada rasa bosan tersendiri untuknya.Hal itu terus berulang sampai tak terasa sudah seminggu lamanya ia berada di negeri orang. Hal yang sangat menghibur bagi Weni ada
Weni terbangun dengan cukup kaget, mengingat kamar yang semula terlihat gelap kini sangat terang. Tangannya segera meraba nakas, mencari keberadaan ponselnya untuk mengetahui jam berapa sekarang.Namun tak lama pergerakannya tertahan, ada tangan besar yang kini menariknya untuk kembali tidur. Bahkan tangan itu kini memeluknya erat dengan balutan selimut tebal.“Kamu tidak bekerja?” tanya Weni menyerah saat tubuh hangat sang pemilik tangan kini bisa ia rasakan.“Aku ambil cuti hari ini.”“Bukannya kamu sedang banyak pekerjaan?” Weni melepaskan pelukan sang pria, membalik tubuhnya dan menatap pria yang selalu membuatnya terpesona itu. “Aku Ngga mau kamu sering mengabaikan pekerjaan karena aku,” tutur Weni memegang wajah tampan kekasihnya, Hajoon.Hajoon tersenyum, ia menghilang di dekapan Weni. Menghirup wangi tubuh Weni yang tembus oleh selimut tebal yang melilit tubuh kecil wanitanya. Rasanya sudah la
"Bisa tidak kamu usaha seperti yang lain?" Suami yang harusnya membimbing istrinya dan menafkahinya, justru menyudutkan sang istri. Sebanyak apapun pekerjaan yang dilakukan sang istri tak ada harganya di mata sang suami. "Aku sudah mencari pekerjaan, tapi tak juga ada yang memanggilku." Sang istri mengatakan kebenarannya, ia terus mencari pekerjaan hanya saja tak kunjung mendapat panggilan. Jadi dia hanya bisa di rumah mengurus anak semata wayangnya dan juga rumah yang memang tak besar. "Kalau hanya mengandalkan gajiku saja itu tidak cukup, mau sampai kapan kita seperti ini?" Sang suami berlalu pergi untuk bekerja, tak ada salam pamita
Weni kembali mengisi harinya dengan rutinitas yang terus ia jalani beberapa tahun ini. Meski terkadang lelah dan penat, Weni sangat tahu posisinya. "Mama, aku mau es." Rena menarik baju Weni, saat Weni membawanya untuk berbelanja kebutuhan. Weni yang berniat membeli sesuatu yang diinginkannya, kembali mengenyampingkan hal itu dan membeli apa yang diinginkan Rena. "Rena mau yang mana?" sambil menggendong tubuh kecil Rena, Weni membuka chiller es krim. "Ini," ucapnya dengan menunjuk es krim yang cukup mahal. "Kalau yang ini mau tidak?" Rena mencoba mengalihkan ke es krim yang memiliki rasa yang sama, tapi lebih murah.
"Mas, bisa tolong bantu aku bermain sebentar dengan Rena?" Weni meminta tolong Haris yang tengah bermain ponselnya dengan televisi yang menyala.Hari ini adalah hari libur Haris, sejak pagi Haris terus bermain ponselnya. Sementara Weni, ia sudah sibuk sejak matahari mulai terbit.Pekerjaan yang sama terus ia lakukan setiap harinya, tapi itu adalah kewajibannya. Meski terkadang penat, kodratnya sebagai seorang Istri membuatnya tak bisa menolaknya."Aku ini sedang libur, aku ingin beristirahat. Bukankah itu wajar?" Haris menatap tajam Weni, menolak dibalik ucapannya.Weni terdiam, dia butuh Rena ditemani Haris. Tapi lagi-lagi dirinya harus mengurus anaknya dan juga mengurus rumah secara bersamaan."Mama …."Tangan kecil Rena yang menarik tangannya, membuyarkan lamunannya. Rasa kesal dan sakit hati yang dirasakan berangsur reda, terlebih saat Rena t
"Makanlah dahulu." Weni menahan Haris yang ingin langsung berangkat bekerja, padahal Weni sudah memasak sejak pagi. Bahkan ia sudah membuatkan kopi, yang biasa menjadi rutinitas sang suami. "Aku sudah telat," elak Haris. "Ini masih jam berapa Mas, kamu …." "Aku sudah bilang telat, ya telat." Haris menepis tangan Weni yang tadi sempat menahannya. Ia bahkan tak mengecup kening dan memberi salam seperti dulu, saat awal dirinya menikah. Weni yang kecewa, mengambil kopi yang dibuatnya dan meminumnya. Ia tidak nafsu makan belakangan ini, kopilah yang membuatnya sedikit tenang.