Devian memeluk dan menjatuhkan tubuh Irene untuk menghindari tembakan. Irene meringis kesakitan. Devian mengusap wajah Irene—mengusap leher Irene yang terdapat sebuah luka. “Irene maafkan aku…” Irene mengangguk namun perutnya terasa begitu keram. “Sakit…” Devian menatap ke bawah. Darah itu keluar dari paha Irene. “Ayo ke rumah sakit.” “SIAPKAN MOBIL!” Teriak Devian pada anak buahnya. Ia tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar. Yang terpenting sekarang adalah keselamatan Irene dan anaknya. ~~“Duke adalah pemilik dari perusahaan tambang yang sudah berdiri belasan tahun di Nusantara. Namun, ternyata dibalik pendirian perusahaan tersebut melibatkan berbagai hal ilegal. Duke mendapatkan investor dari mafia luar negeri. Di dalam tambang tersebut terjadi banyak eksploitasi buruh. Tidak ada jaminan keselamatan saat bekerja. Banyak buruh yang meninggal saat terjadi kecelakaan di dalam area pertambangan.” “Tidak hanya itu saja. Ternyata 15 tahun yang lalu, Duke kehilangan anak dan istri
Devian tidak bisa berhenti cemas sampai benar-benar memastikan Irene baik-baik saja. Akhirnya Irene di pindahkan ke ruangan biasa. Devian segera menemui dokter yang merawat Irene. “Bagaimana dengan janin di perut kekasih saya dok?” “Janin di perut ibu Irene selamat. Namun keadaannya masih rentan. Jadi harus mendapatkan perawatan yang intensif. Saya sarankan sebagai suaminya, anda harus mendampingi ibu Irene.” Devian mengangguk. “Terima kasih, Dok.” Devian mengangguk. Ia mengambil duduk di kursi samping ranjang Irene. Mengambil tangan Irene, mengusapnya perlahan. Devian menunduk dan mencium punggung tangan Irene beberapa kali. “Terima kasih, Irene. Terima kasih bertahan untuk anak kita.” Devian benar-benar merasa bersyukur. Irene selamat, Irene berada di sampingnya dan anak mereka selamat. Tak lama Devian merasakan jemari Irene bergerak. Devian mendongak—menatap Irene yang telah membuka mata. “Ada yang sakit?” tanya Devian. “Aku panggilkan dokter.” Irene mencegah Devian pergi.
“Devian minggir dulu.” Giselle menyingkirkan Devian yang duduk di bangku. kemudian menduduki bangku tersebut. “Sekarang panggil, Mom.” Giselle memandang Kevin sebentar. “Mom dan Dad ke sini untuk menjenguk dan memastikan keadaan kamu. Syukurlah kamu dan bayinya baik-baik saja. Untuk ke depannya, jangan ragu meminta bantuan atau menghubungi Mom. Mom akan selalu ada buat kamu.” Irene tersenyum kemudian mengangguk. “Terima kasih… Mom.” Irene sedikit ragu namun ia tetap memanggil Giselle dengan sebutan Mom. “1 minggu lagi kalian harus menikah.” Kevin berkacak pinggang. “Jangan menunda terlalu lama.”“Sudah menyelesaikannya dengan kakek kan?” tanya Kevin pada Devian. Devian mengangguk. “Sudah selesai bagiku. Tapi tidak tahu bagi Kakek. Aku setuju dengan Dad. 1 minggu lagi kita menikah.” Irene dan Giselle saling menatap. Giselle tersenyum sambil mengangguk. “Biar mereka yang urus. Kamu tinggal berangkat cantik.” meraih tangan Irene. “Mom berharap kamu bisa bertahan dengan Devian. Meski
“Irene aku harus pergi.” Devian bersiap akan pergi ke kantor dengan setelan jas. Ia sengaja bersiap di rumah sakit agar lebih banyak waktu bersama Irene. Irene malah memeluk Devian dari belakang. “Jangan pergi.” Menyandarkan kepalanya di bahu bidang laki-laki tersebut. “Jangan pergi… di sini saja denganku.” Devian memutar balikkan tubuhnya. “Aku tidak tahu kau begitu manja.” Irene mengerucutkan bibirnya. “Aku akan melakukan apapun asalkan kau di sini. Jangan pergi ya! Temani aku di sini.” Devian tidak kuat melihat Irene yang begitu lucu dengan pipi yang mengembung. Ia menunduk—mengambil kecupan di bibir manis wanita itu. “Memangnya apa yang bisa kau lakukan untukku?” “Apa saja,” balas Irene dengan yakin. Devian tersenyum smirk. “Coba tunjukkan.” Irene berjinjit—mengalunkan kedua tangannya di leher pria itu kemudian mengecup bibir Devian pelan. Saat ia hendak menjauh—Devian justru menarik pinggangnya kembali. Menarik tengkuknya dan kembali menciumnya. “Aku sudah menunggu lama,
“Kenapa?” tanya Helena. “Saat aku diculik Arlond. Arlond sempat menyentuhku, memberikan kissmark di atas dada dan leherku. Tapi hanya sebatas itu, dan pagi ini Devian melihatnya. Dia marah dan pergi begitu saja.” “Sialan, tapi dia tidak sampai menyentuhmu terlalu jauh kan?” Irene menggeleng. “Untungnya.” Helena menghela nafas. “Devian tidak pantas marah. Keadaanmu diculik, pasti kau tidak bisa melawan. Bajingan itu memang keterlaluan, bisa-bisanya melecehkanmu dalam keadaan tidak berdaya.” Helena berdecak dengan keras. Kemarahannya sampai diubun-ubun. “Devian juga, jika tidak ingin kau disentuh bajingan itu, seharusnya dia bisa menyelamatkanmu lebih awal.” Helena meremas botol yang berada di genggamannya. Irene menghela nafas dalam. “Entahlah..” lirihnya. ~~Sebuah klub. Seharusnya Devian tidak ke sini. Namun, Royce mengadakan party dan dirinya dipaksa ikut. Royce yang suka sekali mengadakan pesta tidak berguna. Devian masuk ke dalam. Mengambil duduk di salah satu sofa yang mas
Devian menghela nafas dan bersandar. Kini perasaan cemburu dan kesalnya berubah menjadi bersalah. Tidak seharusnya ia marah pada Irene. Yang pantas dimarahi adalah dirinya sendiri. dirinya sendiri yang tidak bisa menyelamatkan Irene lebih cepat. Devian meneguk beberapa gelas minuman sampai ia benar-benar pusing. Ia berjalan sempoyongan keluar dari klub. Untung saja ada satu orang yang ditugaskan oleh Royce untuk menjaga Devian. Sehingga orang itu mengantar Devian pulang. “Ke rumah sakit,” ucap Devian. Sesampainya di rumah sakit. Devian langsung mencari keberadaan Irene di kamar. Namun saat memasuki kamar, semuanya gelap. Ia hanya bisa melihat bayangan Irene dari belakang. “Irene..” lirih Devian. “Irene maafkan aku.” Irene terdiam. Kata dokter, keadaan Irene sudah membaik. Besok sudah diperbolehkan pulang. Keadaan sudah begitu larut tapi dirinya tidak kunjung mengantuk dan berakhir di luar kamarnya. Ia sedikit terserentak saat Devian yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Ir
21 ++“Ayo tidak usah lama-lama.” Tangan Devian sudah terulur hendak menarik pinggang Irene. Namun Irene lebih dulu kembali berlari. Irene berlari ke sebuah kolam yang terletak di samping kanan. “Sayang jangan berlari terus. Kamu itu belum sepenuhnya sehat!” omel Devian mendekat. “Ada kolam juga,” gumam Irene sambil berjongkok. “Tapi aku tidak bisa berenang,” ucapnya pada Devian. “Aku tahu. Maka dari itu kamu dulu sering kabur saat jam kelas olahraga renang.” Devian menggeleng pelan. “Mengajakku lagi kaburnya.” Irene berdecak pelan. “Tapi kamu mau.” Devian tertawa. “Tentu saja aku mau.” Mengusap helaian rambut ke belakang. “Dulu aku sangat tergila-gila denganmu.” “Sekarang?” tanya Irene sambil mendongak. Devian menunduk. Menatap bola mata Irene yang meneduhkan. “Sekarang, lebih tergila-gila..” lirihnya. Irene tersenyum. Ia berjinjit—mengalunkan kedua tangannya dan mencium bibir Devian lebih dulu. Devian menyambut ciuman Irene dengan senang hati. Menarik tubuh Irene hingga sepe
“Devian..” lirih Irene. Pasrah saat menarik pinggangnya agar berdiri. Devian memeluk tubuhnya dari belakang. Mengusap dadanya—memberikan tanda kepemilikan di sana. Devian masih menyatukan milik mereka. Jemarinya menyentuh bibir Irene. Memasukkan jemarinya ke dalam bibir penuh kekasihnya itu. tubuh mereka masih menyatu dengan dirinya yang tidak berhenti bergerak maju mundur. “Irene sayang..” lirih Devian semakin mempercepat gerakannya. “Devian aku..” Irene juga. Irene merasa tubuhnya akan kembali sampai. Irene mendesah kuat saat Devian sengaja memelintir puncak dadanya. Apalagi jemari pria itu turun ke bawah—membelai miliknya. “Bersama sayang..” Devian bergerak semakin cepat dan akhirnya sampai. Cairan miliknya memenuhi milik Irene bahkan sampai keluar ke bawah. Irene pasti jatuh ke bawah jika Devian tidak menangkap tubuhnya. Devian mengecup lehernya dari belakang. “Sayang,” panggil Devian. Irene menoleh ke samping. Devian mencium bibir Irene tanpa ampun. Seakan meluapkan kerindu