Bertempur bersama Profesor Merla saja sebenarnya sudah curang, tetapi ini ditambah kesadaran bertempur Reila yang luar biasa—plus, si topeng lucu.
Si topeng lucu sudah menghabisi dua monster raksasa saat kami menyerang.
Profesor Merla memutuskan menyerang satu monster raksasa. Kupikir akan lama, ternyata tidak. Hanya beberapa detik. Profesor Merla melayang, menghindari satu ayunan keras monster itu, lalu dalam sekejap memunculkan pusaran angin ke arah rongga dada monster itu. Kutinggal berkedip, rongga dada monster itu lubang, memancarkan darah monster ke segala arah. Hujan darah lagi.
Reila tidak mau kalah. Dia melayang, mengarahkan bongkahan batu begitu bertubi-tubi pada monster raksasa. Monster itu sampai tak punya kesempatan untuk balas menyerang. Begitu dia sadar, kepalanya sudah pecah karena ditabrak batu.
Hanya aku yang belum membasmi monster raksasa.
Namun, kupikirkan ucapan si topeng itu. Tak ada artinya kami membunuh monster sebanya
Situasi sekitar agaknya berubah janggal dalam sekejap.Bukan karena keberadaan monster dan hal mengerikan seperti sebelumnya, tetap kusadari ada begitu banyak mayat bergelimpangan di antara puing-puing batu. Sebagian besar dari mereka blasteran. Wujud monsternya telah lenyap, menyisakan fisik manusia normal, dan—sungguh, banyak bagian tubuh mereka yang sudah tak lagi utuh. Pertama, karena infeksi monster. Kedua, karena serangan kami.Aku juga mendekati dua mayat: Koba dan si kulit terbakar. Entah mengapa aku memeriksa keadaan mereka meski sudah mampu merasakannya dari kehadiran. Keduanya tidak selamat. Jantungnya tidak lagi berdetak. Mereka telah tiada. Koba kehilangan satu tangan dan meninggalkan sayatan lebar di dadanya. Topinya sudah terlepas dan meski tiada, aku masih bisa merasakan ekspresi jahat dari rautnya. Si kulit terbakar juga begitu. Dia tidak kehilangan anggota tubuh, tetapi lukanya begitu banyak. Seberapa kuat darah murni, pendarahan bukanlah hal ya
Kondisi sudah terlalu gelap untuk memutuskan lanjut perjalanan. Mau tak mau kami harus beristirahat, yang masalahnya: lanjut misi atau pulang.Jadi, kami berunding. Kami sudah cukup jauh dari puing-puing lokasi utama pertempuran. Ketika kami memutuskan berjalan, aku bilang kalau bisa merasakan keberadaan gua yang cukup aman—setidaknya, berjarak delapan ratus meter dari lokasi utama pertempuran. Itu membuat Reila mengerutkan kening, heran mengapa aku bisa melacak area sampai sejauh itu, dan kubilang kalau aku memusatkannya ke satu tempat. Aku tidak bilang kalau arah yang kutuju sebagai area pelacakan itu dengan asumsi kami melanjutkan misi.Kami berunding melanjutkan misi atau tidak di gua itu. Ketika kami tiba di sana, langit sudah sangat gelap dan tidak ada pilihan selain beristirahat. Medannya tidak terlalu curam, tetapi kami tahu ada di dekat ketinggian. Gua ini ada di dekat tebing. Profesor Merla merasa tempat itu cukup aman untuk istirahat. Ketinggian langit
Mimpi terakhirku bagaikan kiamat.Terakhir kali aku memejamkan mata adalah ketika jaring laba-laba di langit-langit pondok membuatku membayangkan apa yang akan kulakukan pada baju-baju kusut. Aku berpikir akan menyetrika. Tubuhku—aku yakin sudah bergerak, tetapi tiba-tiba aku meringkuk di tengah hujan deras, punggungku basah, dadaku sesak, dan pita suaraku menjerit penuh tuntutan paling menyakitkan.Seseorang berdiri di sebelahku. Kami di padang rumput luas.Dan di pangkuanku, terbaring gadis berwajah penuh nuansa gelap, dengan sesuatu yang hitam, samar—seperti bayangan hitam—menutupi wajahnya.Air mataku juga tiba-tiba sudah mengalir deras.Aku tidak mengerti, tetapi benakku sesak. Air mataku tak mampu berhenti. Hujan—gemuruh terdengar keras, seperti tak mengizinkan isak tangisku terdengar. Aku kacau. Entah bagaimana aku ingin memeluk gadis ini layaknya kami saling mengenal. Namun, aku tidak mengenalnya. Aku tidak tahu siap
Aku ingin bercerita apa yang terjadi padaku. Orang paling fenomenal dalam hidupku perlu diberitahukan: Aza.Akhir-akhir ini aku sering bermimpi buruk, yang belakangan juga semakin aneh. Namun, satu mimpi yang terus berulang tanpa henti, adalah pertemuan antara bocah berusia delapan tahun yang penuh bekas luka, dengan gadis berusia sebelas atau dua belas tahun yang punya pedang di pinggangnya. Aku tidak ingat tepatnya pertemuan itu, tetapi momen itu selalu kembali seolah aku tidak diizinkan lupa.Biasanya dimulai di gang kecil, dan aku berada dalam sudut pandang kucing liar—duduk di atas atap rumah rendah, menatap seorang bocah babak belur di sisi tempat sampah yang bau. Bocah yang kurus, lemah, seolah sudah menemukan garis perpotongan waktunya. Gang itu berada di kota yang penuh remang-remang lampu, dan tidak pernah terlihat ada matahari. Hanya kota yang hampa, penuh kebisingan memuakkan, layaknya terpendam jauh di kedalaman. Jadi, aku—yang ada dalam tubuh
“Aku tidak tahu siapa kau,” kataku. “Aku tidak tahu namaku. Aku tidak bisa ingat apa-apa. Siapa aku?” Tiba-tiba aku menangis. “Aku takut.”Ketika ingatanku hilang, sebenarnya Aza punya kesempatan memanfaatkan bocah kecil dengan kebohongan manis, tetapi dia punya hati mulia yang jauh lebih bersih dari bebatuan sungai. Jadi, saat aku melupakan semua, bahkan namaku, dia memberitahuku secara cuma-cuma seolah tahu segala tentangku. Aku yakin kami pernah bertemu, tetapi Aza terus membantah, “Aku malaikat yang diciptakan untuk melindungimu. Aku turun dari langit.”Aku tidak mau menanggapi leluconnya, dan karena Aza tidak terlihat ingin menjelaskan itu, kuputuskan untuk bungkam.Jadi, kami tinggal di pondok kaki gunung—pondok yang tidak bisa disebut pondok karena pondok itu kelewat mewah untuk disebut pondok. Itu tempat yang punya tembok berwarna putih bersih, dengan perabotan bagian dalam yang penuh nuansa modern&md
Tiga tahun kemudian, Aza menyusul kepergian Nenek.Sekitar tiga sampai empat bulan setelah kematian Nenek, tiba-tiba kondisi Aza menurun. Dia tidak terlihat punya penyakit, dan—dia dokter paling hebat yang pernah kutahu. Namun, dia tidak berdaya menghadapi serangan penyakit itu. Sejauh yang kuingat, tidak pernah ada yang sakit di antara kami sebelum hari ketika Nenek kehilangan gerak motorik. Aza yang punya pengetahuan ramuan dan obat-obatan—yang aku tahu Nenek juga mahir karena dia yang mengajarinya—entah bagaimana tidak berdaya menghadapi masa-masa itu.Dan kurasa itu yang terjadi pada Aza empat bulan setelah kepergian Nenek.Sepeninggal Nenek, kami sering berburu hewan liar—maksudku, ya, kami memang punya banyak hewan ternak, tetapi Aza bilang, “Kita harus melihat semua yang bisa kau lakukan di alam liar,” seolah-olah dalam suatu masa setelah tidak ada Nenek, dia tahu waktunya juga akan tiba. Jadi, dia berusaha membuatku
Sapi terakhir yang kami miliki adalah sapi potong. Satu-satunya sapi terakhir yang ada setelah Aza pergi. Tidak ada lagi hewan ternak, hanya aku, pondok hening, dan sapi yang tidak lagi bernafsu mengeluarkan suara. Dia selalu yang paling keras berontak saat akan disembelih, jadi dia menjadi satu-satunya yang bertahan. Dan dia hanya duduk—atau tidur—di tengah terpaan mentari. Sepertinya sejak waktu yang tidak kusadari, semangatnya telah hilang. “Aku bisa menyembelihmu, tapi aku tidak mau ditendang,” kataku. Saat itu pagi yang cerah, dan aku berdiri di depan kandangnya, mengamati sapi yang tidak bergerak, hanya melihatku dengan lirikan yang sungguhan mirip dengan apa yang kulihat saat bercermin. Jadi, aku menghela napas. “Aku mau turun gunung. Kalau tidak disembelih, kau bisa mati kesepian.” Dia membalasku dengan dengusan. “Oke. Nanti sore kau kusembelih.” Betul. Aza yang mengajariku menyembelih. Dia selalu bilang, “Kalau tidak disembeli
Tiba-tiba saja aku berada di kerumunan yang bersorak.Kerumunan yang sangat padat. Manusia berkumpul di sekelilingku. Depan, belakang, samping—semua orang bersorak menghadap ke arah yang sama. Suasana terasa meriah. Lampu-lampu bersinar berwarna-warni dari arah depan. Merah, biru, hijau, dan berbagai warna lain yang sering kulihat di pelangi. Semua orang tertawa, bernyanyi dengan penuh semangat. Dan mereka—orang-orang berpenampilan aneh layaknya kekurangan bahan bernyanyi sangat merdu di panggung.Aku tidak pernah melihat kerumunan orang sebanyak ini.Seseorang di sampingku melompat kegirangan dengan tawa bahagia. Suara terdengar begitu berisik, tetapi melantunkan irama yang membuat hatiku bergetar. Aku tidak bisa melihat jelas. Tinggiku tidak sampai, tetapi suara keras yang jelas terdengar membuatku bisa mengerti seberapa hebatnya penyanyi.Cahaya warna-warni itu terus berkedip, mengelilingi kejauhan.Semua orang bersorak, tetapi tidak