"Sudah selesai kunjungannya?" Yang nanya punya badan besar, kekar, tapi kalah teknik pas ketemu di hari pertama aku pindah ke penjara.
Aku masih ingat banget waktu dia bilang aku "Kucing yang tertangkap". Mungkin efek kelamaan di penjara dan enggak punya pelampiasan kali ya makanya nyari kucing? Kucing dalam bahasa pergaulan kami di kalangan penjajaan tubuh bisa dibilang para cowok yang mau jadi piaraan om-om, alias jadi homo.
Ada banyak macamnya. Kebanyakan yang nyandang predikat kucing ini justru kaum setengah, cowok melambai. Yang macho juga ada. Cuma ... enggak pernah dan enggak mau nyoba.
"As you see."Aku menyambut tinjuannya di udara dengan tinjuan juga. Teman baru karena dia ternyata mikir bisa belajar sedikit teknik dariku. Kayaknya bisa jadi lapangan kerja baru kalau entar keluar dari penjara.
"Anak-anak pada minta dilatih sama lo." Dia ik
"Maafin Aksa, Bah." Aku benar-benar menyesal karena Abah jadi kembali lagi menjengukku karena laporan pemukulan."Mau gimana lagi?" Abah menyodorkan kotak kecil yang kutahu berisi tube salep untuk memar. Aku juga memiliki merek serupa di rumahku. "Usahakan bertingkah baik di dalam sana biar cepat keluar, Sa.""Dia ngancam ngebuka aib Abah. Soal Ambu, soal Aksa," protesku, sadar menaikkan nada bicara hanya untuk menegaskan pembelaan di dalam sel tahanan. Detik berikutnya kuusap wajah dengan kedua tangan sambil mengucap lirih, "Aksa minta maaf."Abah meletakkan ponselnya ke permukaan meja, menarik kedua tanganku sambil menggeleng. "Kalian bukan aib.""Abah ....""Tunggu kamu benar-benar keluar dari sini." Genggaman yang kurasakan menguat. Abah melihat lekat padaku. "Abah akan berusaha menempatkan kamu di posisi seharusnya.""Maksud Abah?" tanyaku tidak mengerti
"Jelas aja dibebasin. Kejadian itu jauhhhh waktu aku masih di bawah umur kali. Artinya aku juga termasuk korban," jelasku begitu masuk dalam mobil penjemputan di luar gerbang penjara, menanggapi pertanyaan Sara yang heran dengan kebebasanku dalam jangka waktu kurang dari satu bulan.Sering banget terlibat perkelahian di dalam sana. Beberapa kali menang, beberapa kali kalah. Tapi jadinya aku punya beberapa kenalan."Aku bau loh, Ra." Kucegah dia mendekat dengan memberi dorongan di bahunya."Enggak peduli." Sara yang terlihat jauh lebih dewasa dengan pakaian terusan floralnya memelukku lebih lama dibanding ketika berada di depan gerbang tadi. Aromanya masih sama, anggur yang memikat. Manis dan memabukkan di saat yang sama."Kangen mandi yang bersihan," ungkapku setelah memastikan lagi aroma ketiak dari luar kemejaku.Sara langsung menjaga jarak. "Jadi, enggak kangen aku?"&n
Sara yang pergi dari rumah kali ini, dan aku sendirian. Enggak benar-benar sendirian secara harfiah. Beberapa hari terakhir Kea sering berkunjung dengan dalih memergoki suaminya bermain gila dengan si janda yang waktu dulu kami temui di rumah sakit."Namanya Anin," sebut Kea lagi ketika aku terus melupakan nama orang-orang yang menurutku enggak penting. Setiap mengatakan nama si janda yang punya anak sama Nabas, semakin kuat tinjuannya pada samsak di hadapan.Aku mengangkat ujung bawah samsak setara kepala dan Kea hampir oleng. Dia masih bisa bangkit lalu mengarahkan kepalan berlapis sarung tinju ke arahku yang sangat mudah menghindar. Kedua lenganku merapat di depan wajah serayamundur karena pukulan-pukulan penuh emosi dari Kea."Terus, apa hubungannya sama gue?" Sekali aku menunduk, tendangan memutar dari kaki kanan berhasil mengenai kaki Kea hingga dia terjengkang."Gue cuma mau cerita," jawab Kea
Rencana Kea? Balas dendam? Adikku tidak sekejam itu. Mungkin aku aja kali mau iseng, penasaran, apa yang ngebuat Nabas jatuh hati dengan orang lain setelah sekian lama mempertahankan Kea dalam hubungan teman tapi mesra? "Sendirian?" tanyaku begitu mendapati wanita yang dimaksud Kea sedang menikmati makan siangnya di kantin kampus. Aku mengambil kursi kosong di seberang mejanya dan mulai memainkan kotak rokok memutar di permukaan meja sambil melirik sesekali. Tampilan berkelasnya menunjukkan profesi sebagai praktisi pendidikan, mungkin dosen. Kalau enggak salah ... hampir setengah abad. Meski sudah melahirkan, ternyata masih cantik juga, ya. "Sama teman tadi." Ujung sendok berisi nasi berkuahnya masuk mulut. Dia melihatku sekali, lalu berpesan, "Maaf, bisa ngerokok di tempat lain?" "Oh, oke." Aku mengangguk, menyimpan lagi kotak rokokku dalam saku jaket denim yang melapisi kaus. Melihat dia la
"Beri Kea kesempatan merawat bayi itu juga." Mungkin lebih seperti memohon kali, ya? Aku bahkan tidak tahu bagaimana caramenjilat yang benar untuk mendapat kesempatan dari wanita yang ... bukan dari kalangan penikmat jasa seperti dia, Anin maksudku. "Enggak semudah itu." Anin menggeleng. Dia membuka botol air mineral lain dan minum lagi. Enggak kebayang kembungnya perut karena penuh dengan cairan. "Bagaimana bilangnya? Aku enggak bisa." "Bukankah kalian harus saling jujur untuk anak ini?" Kuhentikan putaran botol dalam genggamanku dan mulai menyeringai saat mendapati ekspresi ragu Anin. "Siapa namanya?" "Shaka. Shaka Bentala." Ternyata sangat mudah mengajaknya bicara setelah menguasai emosi terdalamnya melalui pembicaraan. Dasar wanita. Aku melanjutkan,"Beri dia kesempatan mengenal keluarga ayahnya juga." "Kenapa harus?" Dia minum lagi. Tatapannya t
Seperti kata Abah, aku ditempatkan buat ngambil bagian di salah satu anak perusahaan. Jauh banget yahtwist dari gig*lo malah jadi CEO? Abis gimana kalau kenyataannya malah jadi ahli waris? Padahal enak jadi pengajar bela diri kayak pas di penjara."Gelar mau diapain kalau tidak dimanfaatkan, Aksa?" kata Abah pas terakhir ketemu.Diapain, ya? Buat gengsi aja, sih. Aku juga lama-lama bosen sama rutinitas yang harus memainkan logika dan analisis dari beberapa kontrak. Enggak mungkin kan aku ngasal tanda tangan kalau isi kontraknya bodong?Turun dari mobil baru yang cuma punya dua pintu dan beratap rendah, aku melonggarkan dasi yang terasa mencekik. Kalau dikira mobil itu dari Abah, salah.Abah itu tipe orang tua yang enggak bakal ngasih fasilitas mewah dengan gratis. Harus ada keuntungan yang lebih besar, kecuali berjuang punya sendiri kayak Kea. Mobil yang aku punya ni sebenarny
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap