Pukul 9 malam, di ruang keluarga. Ririn sedang duduk di sofa yang empuk dan nyaman, seraya melihat Tv yang menayangkan film horor.
Tapi Ririn, sama sekali tak bisa menghayati jalannya cerita itu. Pikirannya terus berkenala kepada pria, yang tadi mengangkat panggilannya.
"Dia mengatakan akan segera kembali? cih, omong kosong," gerutu Ririn seraya sekilas melihat ponselnya.
"Kenapa dia tak memberikan lokasi tentang keberadaanya itu?" mengingat percakapan singkat itu saja, semakin membuat dirinya kesal.
Ares bahkan tak ada dirumah mewahnya tersebut, makannya dia terus bertanya tentang keberadaan Ares yang tiba-tiba saja menghilang. Bahkan Roy tidak tau tentang keberadaan Ares sekarang ini.
"Kenapa pria itu menyebalkan sekali!! dasar tidak bertanggung jawab!!" gerutu Ririn.
"Rin, kamu bikin Ayah pusing. Sedari tadi mengerutu mulu dan wajah kamu itu ma
R
Pagi hari yang indah dan cerah. Pukul 8 pagi hari, Miko sedang menatap sekeliling ruang kerja dirinya yang baru, semenjak ia menyetuji Ayahnya tersebut untuk tinggal bersama.Semenjak itu juga dirinya bisa mendapatkan kemewahan ini, termasuk mendapatkan sebuah jabatan yang sangat tinggi, yaitu menjadi direktur.Sungguh hidup yang begitu mudah jika keluarga dari latar belakang yang kaya raya. Hidup Ares pasti begitu mudah, tidak seperti dirinya yang melalui banyak hal."Maaf, kakakku sayang. Gue sejujurnya tak ingin bergabung dengan keluarga ini, tapi melihat tingkah elu yang seperti raja. Membuat gue ingin mengambil posisi itu dan alasan utama adalah agar Ririn kembali lagi.""Ririn, andai kamu mau kembali lagi bersama aku, pasti semua ini tak akan terjadi. Aku masih sangat mencintaimu." Miko berkata seraya duduk di kursi kerjanya, dengan memandang foto yang menampilkan dirinya dan Ririn.&nbs
Pukul 10 malam, Vanya baru sampai dirumahnya. Setelah melakukan pemotretan yang banyak sekali diberbagai tempat, hingga membuatnya begitu kelelahan.Vanya dengan cepat berjalan menaiki anak tangga menuju ke dalam kamarnya, untuk merebahkan dirinya yang lelah ini.Saat dirinya sudah sampai dilantai 2. Indra pendengaran milik Vanya, menangkap suara yang mana seperti sedang bercengkrama.Langkah kaki Vanya mengikuti suara itu berasal. Tubuhnya terdiam dengan pandangan mata yang melihat ke arah kedua orang tersebut.Vanya melihat Mamahnya dan juga adik bodohnya tersebut saling bicara santai di balkon. Mereka berdua saling memeluk satu sama lain.Saat melihat hal itu, tangan Vanya terkepal erat-erat, hingga tangan Vanya menjadi pucat. Vanya yang tak ingin lama-lama, langsung saja memasuki kamarnya. Dengan langkah kaki yang berjalan pelan-pelan.Vanya membanting ta
Diruang keluarga, suasana begitu mencekam. Sarapan yang sudah disiapkan sedari tadi pagi oleh Luna, ibu dari Ririn dan juga Vanya, seperti tak ada artinya. Itu semua akibat dari Fahri yang menarik paksa pergelengan tangan Ririn dipagi menuju ke ruang keluarga, sedangkan Ririn hanya bisa mengeluarkan air matanya saja. Ririn sedang berlutut dilantai, dengan kedua tangan yang saling bersatu untuk meminta pengampunan dari Ayahnya. Sedangkan Fahri, sudah hilang akal dan kendali mendengar hal gila yang keluar dari mulut putri bungsunya tersebut. "Ayah, tanya sekali lagi. Apa benar kamu hamil!!!" Ririn hanya bisa menganggukan kepalanya, seraya telapak tangannya mengusap air mata yang terus bercucuran. "Ayah, tenanglah dulu." Luna yang mendekati suaminya tersebut, sambil mengusap tangan suaminya agar lebih tenang. "Bagaimana b
Ririn ingin keluar dari kamarnya, tetapi pintu kamarnya sudah terkunci. Itu semua karena ulah kakaknya tersebut. Ririn mengkhawatirkan apa yang akan terjadi kepada Ares. Pasti Ayahnya benar-benar akan memukul Ares, sudah terlihat jelas dari raut wajah marah Ayahnya itu. Tangannya sudah berkali-kali mengetuk pintu, agar ada kakaknya membukakan pintu untuk dirinya. Tapi itu semua hanyalah sia-sia saja. Tubuh Ririn yang sudah lelah dan sakit akibat, pukulan yang dilakukan oleh Ayahnya kepada dirinya. Ririn terduduk lesu di lantai dingin kamarnya, seraya berdoa agar Ares baik-baik saja dan tak lupa Ririn juga berdoa supaya Ayahnya bisa memaafkan dirinya ini. *** Vanya mengintip dari anak tangga atas, dirinya sangat penasaran akan apa yang terjadi kepada pria asing tersebut. Sungguh dirinya tercengang dengan apa ya
Supir taxi ini sangat cepat sekali menjalankan mobilnya, hingga sampai ke rumah besar milik Ares, hanya membutuhkan waktu 20 menit saja untuk sampai. "Maaf, pak. Bisa tunggu sebentar, saya akan mengambil uangnya didalam dahulu." Ririn dengan wajah memeles kepada Pak supir tersebut. "Oke Nona." Ririn tersenyum mendengarnya, dirinya bergegas saja masuk ke dalam rumah mewah itu. Tapi saat berada digerbang, dirinya sudah dihadang oleh pengawal. "Saya ingih bertemu dengan Ares," ucap Ririn dengan sopan kepada pengawal yan bertubuh besar tersebut. "Anda siapa?" pengawal tersebut menatap tubuh Ririn dari atas hingga ke bawah. "Ririn," jawabnya. "Anda siapanya Tuan Ares?" Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh pengawal tersebut, membuat Ririn juga merasa bingung dengan identitas dirinya sendiri. &n
Pukul 8 malalm. Setelah mengantarkan kembali Ririn dengan selamat kerumahnya tersebut. Ares menjalankan mobilnya untuk bertemu dengan pria tua yang mana adalah kakeknya tersebut.Ares sudah sangat hapal sekali dengan tingkah pria tua itu, jika ingin memanggil dirinya. Pasti ada yang ingin ditanyakan olehnya.Ares tak membutuhkan waktu lama, untuk sampai kerumah pria tua tersebut. Hanya membutuhkan waktu 20 menit saja, karena dirinya mengendarai mobil mahal miliknya dengan kecepatan tinggi.Pintu gerbang yang menjulang tinggi, sudah terbuka saat mobil Ares telah tiba dirumah milik kakeknya atau lebih tepatnya dengan mansion utama.Ares melirik sekilas kearah mobil yang mengikuti dirinya dari belakang, orang yang mengikuti adalah Roy.Pria itu selalu saja mengikuti diirnya jika sudah berhubungan dengan kakek tua dan anaknya itu. Ares tak protes atau komen dengan apa yang dilakukan
Pukul 8 pagi hari. Ririn yang sudah siap akan bekerja lagi, dirinnya sudah bolos kemarin, akibat ulah Vanya yang menyebalkan tersebut. Ririn sangat yakin betul, kalu Vanya adalah pelaku atas kejadian kemarin. Dirinya ingin sekali marah dan mengamuk, tapi ia tak ingin mencari gara-gara kembali dan membuat kedua orang tuanya merasa khawatir. Sudah cukup dirinya membuat masalah dan Ririn tak ingin menambah kembali masalah lagi. Hari ini Ririn hanya bisa berharap, semoga saja Ayahnya sudah ingin bicara kembali kepada dirinya dan bisa memaafkan segala kesalahannya. "Semoga kamu bisa melewati hari ini," ucap Ririn seraya melihat dirinya sendiri dipantulan cermin kamarnya. Ririn keluar dari kamarnya. Menuruni anak tangga yang akan membawanya ke lantai 1. Jantungnya masih saja berdegup kencang, karena merasa takut dengan Ayahnya. Saat dirinya sudah menginjakan kaki di lantai 1.
Ririn tersenyum senang karena Ares membawanya kesebuah desa yang cantik, indah dan sejuk. Tapi sangat disayangkan desa ini angat pelosok, hingga tak ada jaringan. Tangannya digenggam dengan erat oleh Ares, yang berada didepan dirinya. Sedangkan Roy, si pria berisik itu berada disampingnya, sambil terus tersenyum kepadanya. "Ares, apa sudah sampai?" tanya Ririn, yang sudah mulai lelah karena harus menaki bukit. "Mau aku gendong?" tanya Ares yang menatap wanita hamil ini. "Tidak perlu." Ririn menaiki anak tangga satu persatu, dengan perlahan-lahan karena dirinya sedang hamil. Ririn tak lagi bersuara, karena tak ingin semakin lelah. Brugh. Ririn tanpa sengaja menabrak punggung kekar Ares. "Kenapa berhenti?" tanya Ririn sambil mengusap dahinya. "Sudah sampai."