Share

Seorang Pengangguran Tapi Menjadi Pahlawan di Dunia Lain
Seorang Pengangguran Tapi Menjadi Pahlawan di Dunia Lain
Author: Ri

Bab 1: Kehidupan Sial Tohawi & Pemanggilan Dunia Lain

Prolog: Pemanggilan Pahlawan

“Kita harus memanggil Pahlawan!” Seru sesosok raja kepada para penyihir istana. “Negeri ini butuh penyelamat! Bukan, sepertinya dunia ini yang membutuhkan pahlawan!”

Suara ricuh di sebuah ruang bawah tanah istana yang gelap dan lembap, terdengar pula suara lantunan mantra sihir yang menggema melalui dinding batu kuno. Cahaya lilin yang berkedip-kedip menciptakan bayangan menakutkan di setiap sudut ruangan. Sejumlah penyihir berjubah biru berkumpul melingkari lingkaran sihir besar yang terpancar cahaya magis berwarna hijau.

Di tengah lingkaran, seorang penyihir tua berdiri dengan tegak. Dialah Gandorf, pemimpin penyihir istana yang dikenal dengan kebijaksanaan dan kekuatannya. Janggut putih panjangnya berkilau terkena pantulan cahaya lilin, dan tongkat sihirnya yang berujung kristal biru bersinar terang.

Dengan suara yang dalam dan penuh wibawa, Gandorf memimpin ritual pemanggilan. "Para penyihir, berkonsentrasilah! Kita memanggil pahlawan dari dunia lain untuk menyelamatkan kita dari kegelapan yang menyelimuti dunia ini. Dengan kekuatan kita yang bersatu, biarkan cahaya harapan menembus kegelapan!"

Suara mantra semakin keras dan intens, seiring dengan gerakan tangan para penyihir yang semakin cepat. Lingkaran sihir mulai berputar, menciptakan pusaran angin yang menghempaskan debu-debu di sekitarnya. Cahaya hijau semakin terang, menyilaukan mata siapa saja yang melihatnya.

Gandorf mengangkat tongkat sihirnya tinggi-tinggi dan dengan suara lantang, ia mengucapkan mantra terakhir, "Datanglah, wahai pahlawan dari dunia lain! Dengan kekuatan pembersihanmu, bersihkan dunia ini dari kekejaman dan kejahatan!"

Tiba-tiba, cahaya hijau memancar kuat, menerangi seluruh ruangan. Angin bertiup kencang, membuat jubah para penyihir berkibar-kibar. Dalam sekejap, sebuah portal bercahaya terbuka di tengah lingkaran sihir. Dari dalam portal tersebut, sebuah siluet samar mulai terbentuk, semakin jelas seiring dengan meredupnya cahaya hijau.

Ketika cahaya hijau perlahan menghilang, di tengah lingkaran sihir berdiri seorang pria muda dengan rambut hitam acak-acakan dan pakaian yang sederhana. Matanya yang bingung dan tubuhnya yang gemetar menunjukkan keterkejutan yang mendalam. Dia adalah Tohawi, seorang pengangguran dari dunia lain, yang kini berdiri di hadapan para penyihir istana.

Gandorf tersenyum lembut, menyadari bahwa pahlawan yang mereka panggil akhirnya tiba. "Selamat datang, Tohawi," katanya dengan suara penuh harapan. "Kau adalah pahlawan yang kami panggil. Dunia ini membutuhkanmu, dengan kekuatanmu yang unik untuk membersihkan kegelapan yang melanda kami."

Tohawi hanya bisa bingung, mencoba memahami apa yang terjadi. Dan tanpa berkata-kata Tohawi tiba-tiba memukul Gandorf yang memimpin sihir pemanggilan tersebut.

__________________________________

Bab 1: Kehidupan Sial Tohawi & Pemanggilan Dunia Lain

Tohawi adalah seorang pemuda berusia 22 tahun yang tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Ia hidup dalam keadaan yang bisa dibilang sangat sial. Setiap harinya, ia menjalani hidup yang penuh dengan kekecewaan dan rasa putus asa. Sebagai seorang pengangguran, Tohawi sering diabaikan dan dijauhi oleh teman, keluarga, dan masyarakat sekitarnya.

Setiap pagi, Tohawi harus berjuang untuk bangun dari tempat tidurnya. Alarm yang dipasangnya jarang sekali berbunyi tepat waktu, seolah-olah jam tersebut bersekongkol dengan nasib buruknya. Ketika akhirnya ia bangun, ia menemukan bahwa listrik di rumahnya sering mati, membuat sarapannya yang sederhana menjadi kacau. Tak jarang, ia harus keluar rumah tanpa sempat makan apa pun, hanya karena pemanas air tidak berfungsi.

"Ini lagi-lagi tidak adil," gumamnya sambil menatap cermin. Wajahnya terlihat lelah, dengan kantung mata yang besar akibat kurang tidur. "Mengapa hal-hal kecil seperti ini selalu terjadi padaku?"

Tohawi berusaha mencari pekerjaan, meskipun dalam hatinya ia merasa putus asa. Setiap kali ia melamar pekerjaan, selalu ada saja halangan yang menghampiri. Suatu hari, ia memutuskan untuk pergi ke sebuah perusahaan yang sedang membuka lowongan pekerjaan. Dengan penuh harapan, ia membawa surat lamaran yang telah disusunnya dengan rapi.

Namun, dalam perjalanan, langit yang cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap. Hujan deras turun tanpa peringatan, merusak surat lamarannya yang tidak terlindungi. Basah kuyup, Tohawi tiba di kantor perusahaan tersebut hanya untuk menemukan bahwa wawancara sudah berakhir lebih awal.

"Kamu terlambat," kata petugas penerimaan dengan nada dingin. "Kami tidak menerima lamaran lagi."

Tohawi hanya bisa menunduk, menggenggam surat lamarannya yang hancur. "Terima kasih," jawabnya lemah sebelum berbalik dan pergi dengan langkah gontai.

Kegagalannya dalam mencari pekerjaan membuat Tohawi semakin terisolasi.

Teman-teman lamanya mulai menghindarinya, merasa malu atau tidak nyaman berada di dekatnya. Setiap kali ia mencoba menghubungi mereka, pesan-pesannya sering tidak dibalas, dan panggilannya tidak dijawab.

"Kenapa mereka semua meninggalkanku?" pikirnya dengan hati yang hancur. "Apakah aku seburuk itu?"

Keluarganya juga tidak banyak membantu. Ibunya, yang dulu selalu mendukungnya, kini sering mengeluh tentang kegagalannya. "Tohawi, sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Kamu harus mulai mencari pekerjaan dan memperbaiki hidupmu," katanya dengan nada penuh kekecewaan.

"Aku sudah mencoba, Bu. Tapi selalu ada saja yang menghalangi," jawab Tohawi dengan nada lesu, sambil menatap kosong ke luar jendela.

Ayahnya, yang biasanya pendiam, kali ini tak bisa menahan diri. "Ini semua salahmu sendiri, Tohawi. Kamu tidak berusaha cukup keras," katanya dengan nada tegas, membuat Tohawi merasa semakin terpojok.

Di tengah masyarakat, Tohawi menjadi bahan cemoohan. Anak-anak kecil menertawakannya di jalan, dan orang-orang dewasa menggosipkan tentang kegagalannya. Setiap kali ia pergi ke toko atau pasar, ia merasakan tatapan sinis dari orang-orang di sekitarnya.

"Dia itu pemuda yang selalu gagal," bisik seorang ibu kepada temannya saat melihat Tohawi berjalan lewat. "Kasihan orang tuanya."

Namun, meskipun semua orang menjauhinya, Tohawi tidak pernah marah kepada mereka. Ia hanya merasa hampa dan semakin terisolasi. Ia sadar bahwa kemarahan tidak akan memperbaiki nasibnya yang buruk.

Setiap malam, sebelum tidur, Tohawi sering naik ke atap rumahnya dan menatap langit malam. Bintang-bintang yang berkilauan di atas sana seolah-olah mengejek nasib buruknya. Dalam kesendiriannya, ia melampiaskan segala kekecewaannya kepada Tuhan.

"Kenapa, Tuhan? Kenapa hidupku harus seperti ini?" teriak Tohawi ke langit yang sunyi. "Apa salahku sampai semua orang menjauhiku? Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik?"

Tidak ada jawaban yang datang dari langit. Hanya keheningan malam yang menemani kekecewaan dan rasa sakitnya. Namun, di tengah kepahitan dan kemarahannya, Tohawi menemukan satu hal yang membuatnya merasa sedikit lebih baik: membersihkan. Kamar Tohawi selalu bersih dan rapi. Membersihkan kamar adalah satu-satunya aktivitas yang membuatnya merasa memiliki kontrol atas sesuatu dalam hidupnya yang kacau.

Setiap pagi, setelah berjuang bangun dari tempat tidurnya, Tohawi akan membersihkan kamarnya dengan teliti. Dia menyapu lantai, mengepel, dan mengelap setiap permukaan hingga bersih dari debu. Aktivitas ini memberikan Tohawi sedikit rasa puas dan tenang. Meski hanya sejenak, dia merasa mampu mengendalikan sesuatu dalam hidupnya yang penuh kekacauan.

"Sekurang-kurangnya, aku bisa memastikan kamarku bersih," pikir Tohawi setiap kali selesai membersihkan. "Mungkin ini adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan dengan benar."

Dia melakukannya dengan teliti, memastikan setiap sudut bebas dari debu dan kotoran. Kamar itu adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa memiliki kendali penuh, satu-satunya tempat yang bisa ia jaga agar tetap bersih dan teratur.

Namun, membersihkan kamar bukanlah satu-satunya kebiasaan Tohawi. Setiap hari setelah selesai dengan tugas paginya, ia akan berjalan ke tepi sungai yang tidak jauh dari rumahnya. Sungai itu adalah tempat pelarian Tohawi, tempat di mana ia bisa merasakan kedamaian meskipun hanya untuk sementara. Di sana, di tepi sungai, ia duduk di samping pohon besar yang sudah tua, akar-akarnya mencuat dari tanah seolah-olah mencoba memeluk dunia.

Dalam momen-momen kesendiriannya, Tohawi sering merenung tentang hidupnya yang penuh kesialan. Ia merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tidak berujung. "Apakah aku memang ditakdirkan untuk hidup seperti ini?" tanyanya pada diri sendiri. "Apakah tidak ada harapan bagiku untuk meraih kebahagiaan?"

Namun, meskipun hatinya dipenuhi dengan keputusasaan, ada satu hal yang selalu memberinya sedikit harapan, yaitu keinginannya untuk berubah. Tohawi tahu bahwa di dalam dirinya ada potensi yang belum tergali, dan ia bertekad untuk menemukan cara untuk mengeluarkan potensinya tersebut.

Tohawi selalu memilih tempat itu karena di sanalah ia bisa menenangkan pikirannya. Dengan pemandangan air yang mengalir tenang, ia bisa merasakan sedikit ketenangan di tengah kekacauan hidupnya. Pohon besar itu seolah menjadi sahabatnya, menyaksikan setiap keluhan dan impian yang ia bisikkan.

Hari-hari Tohawi sering diisi dengan melamun. Ia membayangkan hidup yang berbeda, kehidupan di mana ia tidak selalu sial, di mana orang-orang tidak memandangnya dengan tatapan merendahkan. Namun, kenyataan selalu menghantamnya kembali, mengingatkan bahwa dunia ini tidak pernah adil padanya.

Suatu malam, setelah mengalami hari yang sangat buruk, Tohawi naik ke atap rumahnya seperti biasa. Dengan tangan yang gemetar, ia menatap bintang-bintang yang bersinar terang. "Tuhan, jika Kau mendengarku, berikanlah aku kesempatan untuk mengubah hidupku," bisiknya dengan suara penuh harap.

Dalam harapan yang ia ucapkan, Tohawi melontarkan kebingungan yang selama ini mengganggunya. "Tuhan, apa aku memang diciptakan hanya untuk menderita?" tanyanya dengan suara serak. "Apa tidak ada sedikitpun kebahagiaan yang bisa aku rasakan? Kenapa semua orang membenciku? Apa salahku?"

Ia duduk di sana selama berjam-jam, merenungkan hidupnya dan mencari jawaban di antara bintang-bintang. Namun, tidak ada jawaban yang datang. Kecewa dan lelah, Tohawi akhirnya turun dan kembali ke kamarnya.

Namun, malam itu ada sesuatu yang berbeda. Ketika ia mulai membersihkan kamarnya, sebuah perasaan aneh menyelimutinya. Tohawi merasa tubuhnya menjadi ringan dan dunia di sekelilingnya mulai berputar. Cahaya terang muncul dari sudut kamarnya, menyilaukan matanya.

Sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, Tohawi merasa seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat, meninggalkan dunianya yang penuh kesialan dan memasuki sebuah dimensi lain. Suara mantra sihir terdengar di telinganya, semakin keras dan jelas.

“Lingkaran aneh apa ini? Kenapa lingkaran ini seperti ingin menyedotku?” Raut wajah Tohawi sangat panik melihat lingkaran sihir itu. “Aksara apa itu?” Aku bahkan tidak bisa memahaminya, aku belum pernah melihatnya.” Teriak Tohawi terkejut akan ketidaktahuannya. Dalam kepanikan yang menyudutkannya Tohawi pun masih berusaha untuk memahami situasi tersebut.

Ketika Tohawi merasa dirinya tersedot ke dalam lingkaran sihir itu, Tohawi mendengar sebuah suara, Tiba-tiba, suara lembut namun penuh ejekan terdengar di telinganya. "Sungguh pemandangan yang menyedihkan, manusia sial."

Tohawi menoleh, dan di sana, di dalam cermin, berdiri seorang wanita cantik dengan aura yang memancar dari tubuhnya. Dia mengenakan gaun putih berkilauan, rambutnya panjang dan berkilauan seperti sutra, dan matanya menatap Tohawi dengan campuran rasa hina dan ketidakpedulian.

"Aku adalah Dewi Fortuna," kata wanita itu dengan nada sinis. "Dan kau, Tohawi, manusia yang selalu sial, telah dipanggil ke hadapanku karena nasib burukmu yang luar biasa."

Tohawi pun merasakan kejengkelan atas ucapannya. “Dewi katamu?” Tohawi berkata dengan berdecak seakan sangat membenci sosoknya itu. “Jadi kau rupanya!”

Tohawi merasakan amarahnya kembali menggelegak. "Nasib burukku? Jadi, ini semua karena kamu? Hidupku yang penuh kesialan, kegagalan, dan penderitaan?"

Dewi Fortuna tertawa kecil, suaranya terdengar seperti derai cemoohan. "Oh, manusia bodoh, kau sungguh menyedihkan. Kau menyalahkan nasib burukmu pada diriku? Lucu sekali. Kau tidak pernah berpikir bahwa semua kesialanmu adalah hasil dari tindakanmu sendiri?"

"Apa maksudmu?" Tohawi merasa amarahnya mulai naik. "Aku sudah berusaha keras, tapi selalu ada saja yang menghalangi. Aku tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk membuktikan diri."

Dewi Fortuna mendekat, matanya yang biru memandang tajam ke arah Tohawi. "Ku akui dirimu memanglah berbakat, pintar dalam segala hal, namun kamu lupa telah diberi banyak kesempatan, tapi kau selalu menyia-nyiakannya. Kau malas, tidak berusaha, dan selalu menyalahkan orang lain atas kegagalanmu. Kau bukan korban nasib, Tohawi. Kau adalah penyebab dari nasib burukmu sendiri."

Tohawi menggertakkan giginya, merasa marah dan terhina. "Kau tidak tahu apa-apa tentang hidupku! Kau tidak pernah merasakan apa yang kurasakan! Setiap hari adalah perjuangan, setiap langkah penuh dengan rintangan. Apa yang kau tahu tentang penderitaan manusia?"

Dewi Fortuna mengangkat alisnya, terlihat tidak terkesan. "Penderitaan manusia? Aku telah melihat penderitaan yang jauh lebih buruk dari milikmu, Tohawi. Manusia yang kehilangan segalanya namun masih berusaha bangkit, manusia yang menghadapi kematian namun tetap berjuang. Kau, Tohawi, hanyalah seseorang yang menyerah pada ketidakberuntungan. Kau bahkan tidak pantas berada di hadapanku."

"Jika aku tidak pantas, kenapa aku ada di sini?" Tohawi membalas dengan suara keras. "Apa yang kau inginkan dariku? Mengapa aku harus mengalami semua ini?"

Dewi Fortuna terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kau dipanggil karena meskipun nasibmu sial, ada sesuatu yang unik dalam dirimu. Kau memiliki kemampuan untuk tetap tenang, untuk menghilangkan rasa amarah dan ketekunan dalam kebersihan. Dunia lain ini penuh kegelapan. Dunia lain membutuhkan kemampuan itu, dan kau akan dikirim ke sana."

Tohawi tertegun. "Dunia lain? Apa maksudmu?"

"Di dunia lain, ada kegelapan yang harus dibersihkan. Kau, dengan segala kesialanmu, adalah orang yang akan melakukannya. Ini adalah kesempatanmu untuk membuktikan bahwa kau lebih dari sekadar manusia sial," jawab Dewi Fortuna dengan nada tegas.

Tohawi menelan ludah, merasa terhina namun juga penasaran. "Kesialan ini bukan pilihanku! Bagaimana bisa kau menyalahkanku atas nasib burukku? Kau adalah dewi keberuntungan, bukankah seharusnya kau membantu orang seperti aku?"

Dewi Fortuna tersenyum dingin, "Bantu? Kenapa aku harus membantu seseorang yang tidak membantu dirinya sendiri? Nasib burukmu adalah refleksi dari sikap dan tindakmu. Kau berpikir dunia berhutang padamu sesuatu? Kau harus meraih keberuntunganmu sendiri."

"Aku sudah mencoba! Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup di tengah kebencian dan ketidakadilan. Kau bicara seolah-olah aku tidak pernah berusaha. Kau tidak tahu betapa sulitnya!" Tohawi merasakan amarah dan frustrasi yang telah lama ia pendam mulai meluap.

Dewi Fortuna mendekat lebih dekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Tohawi. "Aku melihat segala usaha yang setengah hati. Kau tidak pernah benar-benar percaya bahwa kau bisa mengubah nasibmu, kan? Kau lebih suka meratapi dirimu sendiri daripada bertindak. Itulah sebabnya kau tidak pernah berhasil."

"Beraninya kau!" Tohawi berteriak, merasakan kemarahan menguasainya. "Aku telah berjuang dengan segala yang kupunya! Aku tidak pernah menyerah meski dunia selalu menjatuhkanku! Dan sekarang, kau datang dan menghakimiku seperti ini?"

"Aku bukan menghakimi, Tohawi. Aku hanya menunjukkan kebenaran yang kau hindari. Kau diberi kesempatan untuk mengubah segalanya, tetapi kau memilih untuk meratapi nasib burukmu," jawab Dewi Fortuna dengan suara tenang namun tegas.

Tohawi merasa muak dengan semua ini. Ia menggertakkan giginya, mencoba menahan amarah yang menggelegak dalam dirinya. "Aku muak dengan semua omong kosong ini! Jika memang ada kesempatan untuk mengubah nasibku, aku akan melakukannya. Bukan karena kata-katamu, tapi karena aku ingin membuktikan bahwa aku bisa lebih dari sekadar manusia sial."

Dewi Fortuna mengangguk, sedikit senyum tersungging di bibirnya. "Akhirnya, kau menunjukkan sedikit semangat. Ingat, Tohawi, dunia lain tidak akan lebih mudah. Tantangan dan rintangan yang jauh lebih besar menantimu di sana. Tapi jika kau bisa melewatinya, kau akan menemukan kekuatan yang selama ini kau cari."

"Jika itu yang diperlukan, maka aku siap," jawab Tohawi dengan tegas. "Aku akan membuktikan bahwa aku lebih dari sekadar manusia yang selalu gagal. Aku akan mengubah nasibku sendiri."

Dalam kekesalannya Tohawi masih berpikir logis. Tohawi mengkhawatirkan hal yang terpenting bagi dirinya. “Oi, lantas bagaimana keadaan orang tuaku?”

Dewi Fortuna pun tersenyum manis dan berkata dengan lembut, “Aku akan menghapus ingatan mereka tentangmu, bahkan semua hal tentangmu telah aku hapus dari dunia itu.”

“Kau melakukan hal yang membuatku tenang, aku tidak ingin Ayah dan Ibuku khawatir. Oleh karena itu, Terima kasih.” Tohawi berkata sembari menutup matanya dan pada akhirnya dia pun tersenyum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status