Share

Tohawi yang Terimintidasi

Setelah hari-hari yang ia jalani di dunia ini., Tohawi memutuskan untuk menjelajahi istana Solaria untuk mengetahui persis seperti apa istana solaria. Ia berjalan melewati lorong-lorong yang panjang, menatap kagum pada patung-patung pahlawan legendaris dan lukisan-lukisan yang menggambarkan pertempuran besar. Namun, rasa kagumnya tidak bertahan lama.

Saat ia memasuki sebuah aula terbuka yang tampaknya menjadi tempat latihan para ksatria dan penyihir, tatapan-tatapan sinis segera mengarah kepadanya. Para penyihir yang sedang berlatih sihir mereka berhenti sejenak, lalu saling berbisik sambil menatapnya dengan mata yang menyipit. Beberapa ksatria yang sedang mengasah pedang mereka hanya tertawa kecil, dengan nada yang menghina.

Tohawi merasakan beban tatapan mereka dan mencoba mengabaikannya, tetapi bisikan-bisikan itu semakin keras.

"Apakah itu benar pahlawan yang kita panggil? Terlihat lebih seperti gelandangan," seorang penyihir muda dengan jubah biru terang berkomentar, suaranya dipenuhi cemoohan.

"Apa yang bisa dia lakukan? Membersihkan kotoran?" tambah seorang ksatria, pedangnya berkilau saat ia mengangkatnya ke udara, menekankan kekuatannya yang kontras dengan penampilan Tohawi yang lusuh.

Tohawi merasa wajahnya memanas, tapi ia berusaha tetap tenang. Ia melanjutkan langkahnya, mencoba mengabaikan komentar-komentar tajam yang dilemparkan kepadanya.

"Hei, pahlawan!" teriak seorang penyihir lain, mendekati Tohawi dengan senyum mengejek. "Apakah kau ingin menunjukkan kekuatanmu? Mungkin bisa membersihkan aula ini?"

Tohawi menatap penyihir itu, matanya berkilat marah. "Aku di sini bukan untuk bermain-main atau dipermalukan. Jika kalian punya masalah dengan keberadaanku, katakan saja."

Penyihir itu tertawa keras, menarik perhatian lebih banyak orang di sekitarnya. "Lihatlah, dia bisa bicara! Tapi bisakah dia bertarung?" Ia melambaikan tangannya, dan bola api kecil muncul di telapak tangannya. "Bagaimana kalau kita uji kemampuannya?"

Sebelum Tohawi bisa merespons, seorang ksatria lain, yang tampaknya pemimpin dari kelompok itu, berjalan mendekat. "Cukup," katanya dengan suara tegas. "Ini bukan tempat untuk permainan anak-anak. Kembali ke latihan kalian."

Ksatria dan penyihir itu mundur, meskipun tatapan mereka masih dipenuhi cemoohan. Pemimpin ksatria itu, seorang pria tinggi dengan wajah serius dan mata yang tajam, menatap Tohawi dengan dingin.

"Kau mungkin pahlawan yang dipanggil oleh Raja Alden, tapi di sini, kau harus membuktikan dirimu. Tidak ada yang akan menghormatimu hanya karena gelar. Buktikan dengan tindakan, bukan kata-kata."

Tohawi mengangguk, meskipun dalam hatinya, amarah dan rasa malu bercampur menjadi satu. "Aku mengerti," katanya singkat, lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan aula itu.

Saat ia berjalan keluar, ia mendengar lagi bisikan-bisikan dan tawa mengejek. Ia tahu bahwa jalan di depannya akan sangat sulit, dan ia harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan rasa hormat dari para penyihir dan ksatria ini. Namun, di dalam hatinya, ia bertekad untuk tidak menyerah. Ia datang ke dunia ini dengan harapan bisa mengubah hidupnya, dan ia tidak akan membiarkan cemoohan dan hinaan menghentikannya.

Tohawi berjalan keluar dari aula, meninggalkan suara tawa dan bisikan cemoohan di belakangnya. Ia menemukan dirinya di taman istana yang luas, dikelilingi oleh pepohonan hijau dan bunga-bunga yang bermekaran. Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya, sedikit meringankan beban yang ia rasakan di dalam aula tadi. Namun, ketidaknyamanan masih membara di hatinya.

Saat ia melangkah lebih dalam ke taman, ia bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang sedang merawat bunga-bunga. Wanita itu tersenyum hangat padanya, berbeda dengan tatapan sinis yang baru saja ia alami.

"Selamat datang, Tuan Pahlawan," kata wanita itu dengan suara lembut. "Nama saya Liora, tukang kebun istana. Apakah Anda butuh bantuan?"

Tohawi mengangguk pelan. "Aku hanya ingin berjalan-jalan dan memahami tempat ini lebih baik. Terima kasih, Liora."

Liora mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya, sementara Tohawi terus berjalan. Taman itu memberikan sedikit kedamaian, namun pikirannya masih terganggu oleh pengalaman di aula latihan.

Tak lama setelah itu, ia melihat sebuah bangunan megah yang tampaknya adalah perpustakaan istana. Mengingat permintaannya kepada Raja Alden untuk mengakses perpustakaan, ia memutuskan untuk masuk. Di dalam, ruangan itu dipenuhi dengan rak-rak tinggi yang penuh dengan buku-buku kuno dan gulungan naskah. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela-jendela besar menerangi debu-debu yang melayang di udara, memberikan suasana yang tenang dan sakral.

Saat Tohawi menyusuri rak-rak buku, ia menyadari betapa banyak yang harus ia pelajari tentang dunia ini. Buku-buku tentang sejarah, sihir, dan budaya Aetheria memenuhi rak-rak, masing-masing menawarkan pengetahuan yang tak ternilai.

"Apa yang kau cari?" suara berat terdengar dari belakangnya. Tohawi berbalik dan melihat seorang pria tua dengan jubah abu-abu, wajahnya penuh keriput namun matanya masih bersinar tajam.

"Aku ingin memahami dunia ini lebih baik," jawab Tohawi. "Ada banyak hal yang harus kupelajari."

Pria tua itu tersenyum tipis. "Namaku Meredin, pustakawan kerajaan. Jika kau benar-benar ingin belajar, aku akan membantumu. Namun, ingatlah, pengetahuan adalah pedang bermata dua. Kau harus bijak dalam menggunakannya."

Tohawi mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Terima kasih, Meredin. Aku akan mengingatnya."

Hari-hari berikutnya, Tohawi menghabiskan banyak waktu di perpustakaan, menyerap pengetahuan tentang sejarah Aetheria, keempat kerajaan, dan bahkan Kerajaan Kegelapan yang dipimpin oleh Asmodeus. Ia belajar tentang sihir, politik, dan strategi perang. Di tengah studinya, ia mulai memahami betapa rumitnya dunia ini dan tantangan besar yang harus dihadapinya.

Namun, setiap kali ia meninggalkan perpustakaan dan kembali ke aula atau ruang latihan, ia masih harus menghadapi tatapan sinis dan komentar tajam dari para penyihir dan ksatria. Bahkan saat ia berjalan di sekitar istana, kelompok-kelompok kecil akan berbisik dan menertawakannya di belakang.

Suatu hari, saat ia sedang duduk di tepi sungai yang mengalir di tengah taman istana, ia melihat sekelompok penyihir muda mendekat. Salah satu dari mereka, yang tampaknya pemimpin, menatap Tohawi dengan tatapan menghina.

"Jadi, pahlawan kita sedang bermeditasi, ya?" katanya dengan nada mengejek. "Apakah kau berharap mendapatkan kekuatan dari sungai ini?"

Tohawi menghela napas panjang, berusaha menahan amarahnya. "Aku hanya mencoba memahami dunia ini lebih baik. Jika kalian tidak punya hal yang lebih baik untuk dilakukan, mungkin sebaiknya kalian pergi."

Penyihir itu tertawa keras. "Lihat, teman-teman, pahlawan kita marah. Apa yang akan kau lakukan? Membersihkan kami dengan kekuatan ajaibmu?"

Hari demi hari berlalu, dan Tohawi mulai merasa lebih terbiasa dengan rutinitas di Solaria. Meski cemoohan dan tatapan sinis masih sering menghampirinya, ia tidak lagi merasakannya sebagai beban yang tak tertahankan. Sebaliknya, hal itu menjadi pendorong baginya untuk terus berusaha keras dan membuktikan dirinya.

Setiap pagi, Tohawi akan memulai harinya dengan berlatih fisik dan sihir dasar di aula latihan yang sering ia kunjungi. Meski para ksatria dan penyihir yang berlatih di sana sering kali memandangnya dengan cemoohan, ia tidak menyerah. Ia memanfaatkan setiap momen untuk memperbaiki dirinya, melatih stamina dan kekuatannya. Ketika tidak ada yang melihat, ia juga akan mencoba menerapkan teknik sihir pembersihannya, meskipun kemampuan itu sering kali dianggap remeh oleh orang-orang di sekitarnya.

Di waktu senggangnya, Tohawi sering menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Meredin. Pustakawan tua itu menjadi semacam mentor bagi Tohawi, memberinya wawasan dan pengetahuan yang tidak ia dapatkan di tempat lain. Mereka sering berdiskusi tentang sejarah, taktik perang, dan bahkan tentang Kerajaan Kegelapan yang dipimpin oleh Asmodeus.

Namun, tidak semua hari berjalan dengan lancar. Suatu sore, ketika Tohawi sedang duduk di tepi sungai yang mengalir di tengah taman istana, menikmati ketenangan dan keindahan alam, sekelompok penyihir dan ksatria mendekatinya. Pemimpin mereka, seorang penyihir muda dengan rambut hitam yang diikat rapi, menatap Tohawi dengan mata tajam penuh kebencian.

"Hei, pahlawan tak berguna," katanya dengan nada menghina. "Apakah kau hanya duduk-duduk di sini sementara kami yang bekerja keras melindungi kerajaan ini?"

Tohawi menatap penyihir itu dengan tenang. "Aku sedang beristirahat setelah latihan panjang. Apakah itu masalah bagimu?"

Penyihir itu tertawa dingin. "Masalahnya adalah kau berpikir kau layak mendapatkan istirahat. Apa yang sudah kau lakukan untuk kerajaan ini? Menggunakan kekuatanmu yang tidak berguna itu?"

Ksatria-ksatria di sekitarnya tertawa, mendukung ejekan sang penyihir. Tohawi merasakan amarahnya naik, tetapi ia menahannya. "Kekuatan setiap orang berbeda-beda. Aku mungkin tidak sekuat kalian, tapi aku punya cara sendiri untuk membantu."

Penyihir itu mendekat, hampir menempelkan wajahnya ke wajah Tohawi. "Buktikan. Tunjukkan pada kami bahwa kau memang berguna."

Sebelum Tohawi bisa merespons, Meredin muncul dari balik pepohonan, seperti biasa, dengan langkah tenang tapi tegas. "Sudah cukup," katanya dengan suara rendah namun penuh otoritas. "Tohawi mungkin bukan pahlawan yang kalian harapkan, tapi dia ada di sini karena alasan yang baik. Jangan meremehkannya hanya karena kalian tidak memahami kekuatannya."

Penyihir itu menatap Meredin dengan tidak senang, tapi ia tahu lebih baik daripada berdebat dengan pustakawan tua yang dihormati itu. Ia dan kelompoknya pergi, meninggalkan Tohawi dengan perasaan campur aduk antara marah dan terima kasih.

Meredin duduk di samping Tohawi, menatap sungai yang mengalir. "Jangan biarkan mereka menjatuhkanmu, Tohawi. Mereka hanya melihat apa yang ada di permukaan. Kau punya potensi besar, dan aku yakin suatu hari nanti kau akan membuktikan dirimu."

Tohawi mengangguk, merasa lebih tenang. "Terima kasih, Meredin. Aku akan terus berusaha."

Dari kejauhan, ternyata kelompok penyihir itu tetap saja mengeledek tohawi, Kelompok itu tertawa terbahak-bahak, melihat Tohawi yabg hanya bisa berlindung dari Meredin, Sang Pustakawan tua.

"Enyahlah kalian!" Meredin, pustakawan tua, muncul dari balik pepohonan. "Apakah ini cara kalian memperlakukan tamu kerajaan? Kalian seharusnya lebih baik dari ini."

Penyihir-penyihir muda itu berhenti tertawa dan tampak tidak nyaman di bawah tatapan tajam Meredin. "Kami hanya bercanda, Meredin," kata pemimpin mereka, mencoba menghindari masalah.

"Jika kalian tidak memiliki hal penting untuk dilakukan, pergilah," kata Meredin dengan suara tegas. "Tohawi di sini untuk membantu kita semua, dan dia layak mendapatkan rasa hormat kalian."

Setelah kelompok itu pergi dengan wajah murung, Meredin menoleh ke Tohawi. "Jangan biarkan mereka meruntuhkan semangatmu. Kau di sini untuk tujuan besar, dan kau akan menemukan caramu sendiri."

Tohawi mengangguk, merasa sedikit terhibur oleh kata-kata Meredin. "Terima kasih, Meredin. Aku akan terus berusaha."

Hari-hari berikutnya, Tohawi fokus untuk belajar lebih banyak tentang keempat kerajaan: Solaria, Lunaris, Verdantia, dan Aquaris. Ia memahami bahwa masing-masing kerajaan memiliki kekuatan dan kelemahan, serta sejarah panjang perselisihan yang sering kali berdarah.

Bertahun-tahun yang lalu, sebelum munculnya ancaman Kerajaan Kegelapan, keempat kerajaan ini hidup dalam kedamaian yang rapuh. Setiap kerajaan memiliki wilayah dan sumber daya masing-masing, namun perbedaan budaya dan kepentingan sering kali memicu konflik.

Kerajaan Solaria, dengan kekayaan sumber daya alam dan matahari yang selalu bersinar terang, sering kali menjadi pusat perdagangan dan kekuatan ekonomi. Namun, keserakahan beberapa raja terdahulu memicu ketidakpuasan di antara kerajaan tetangga, yang merasa Solaria terlalu dominan.

Kerajan Lunaris, yang dikuasai oleh bulan dan dikenal dengan sihir gelap serta kemampuan malam mereka, selalu merasa terancam oleh kekuatan Solaria. Pertempuran besar pertama terjadi ketika Raja Thalion dari Lunaris mencoba merebut beberapa wilayah perbatasan Solaria, mengklaim bahwa tanah tersebut seharusnya menjadi milik mereka.

Kerajaan Verdantia, dengan hutan lebat dan kekayaan alam yang melimpah, dikenal dengan keahlian dalam ilmu herbal dan sihir alami. Namun, saat Solaria mencoba mengeksploitasi hutan mereka untuk sumber daya, Raja Verdantia saat itu, yang terkenal kejam, memulai perang besar untuk mempertahankan tanah mereka. Konflik ini menyebabkan kematian ribuan prajurit dari kedua belah pihak.

Kerajaan, kerajaan yang berada di bawah laut dengan kekuatan air yang luar biasa, sering kali diabaikan oleh ketiga kerajaan lainnya. Namun, saat Solaria dan Lunaris mulai berebut pengaruh di lautan, Aquaris merasa terancam dan akhirnya bersekutu dengan Verdantia untuk melawan dominasi kedua kerajaan besar tersebut.

Hari demi hari berlalu, dan meskipun tantangan dan cemoohan terus datang, Tohawi tetap teguh. Namun amarah yang terpendam mungkin akan keluar dari diri tohawi.

Hari itu, Tohawi baru saja menyelesaikan sesi latihannya yang panjang di aula latihan. Tubuhnya lelah, tapi semangatnya tetap tinggi. Ia berjalan menuju taman istana, mencari ketenangan di tepi sungai yang sering menjadi tempat pelariannya. Namun, ketika ia tiba di sana, sekelompok penyihir muda yang pernah mengintimidasinya sedang berkumpul, tampak sedang menunggu.

Pemimpin kelompok itu, penyihir dengan rambut hitam diikat rapi, menyeringai saat melihat Tohawi. "Oh, lihat siapa yang datang. Sang pahlawan tak berguna," ejeknya, membuat teman-temannya tertawa.

Tohawi merasakan panas amarah mulai membakar dalam dadanya. Ia sudah cukup sering menerima hinaan dan cemoohan, tapi hari ini tampaknya adalah puncak kesabarannya. "Aku tidak punya waktu untuk permainanmu," katanya dengan nada tegas, berusaha menahan amarahnya.

Penyihir itu melangkah maju, menatap Tohawi dengan tatapan menghina. "Kau tidak punya pilihan. Kita akan melihat apakah kau benar-benar pantas disebut pahlawan."

Sebelum Tohawi bisa bereaksi, penyihir itu melafalkan mantra, dan bola api kecil melesat ke arahnya. Tohawi berhasil menghindar, tapi api itu membakar rumput di dekatnya. Amarah Tohawi akhirnya meledak.

"Sudah cukup!" teriaknya. Ia merasakan kekuatan dalam dirinya, kekuatan yang selama ini ia abaikan. Dengan gerakan cepat, ia melafalkan mantra pembersihannya. Bukan hanya untuk membersihkan bakteri atau sampah, tapi juga sebagai bentuk serangan. Angin yang kuat berputar di sekitarnya, membawa serta partikel-partikel kecil yang menyengat.

Penyihir itu terkejut, namun tidak mundur. Ia melafalkan mantra lagi, kali ini melepaskan kilatan petir ke arah Tohawi. Tohawi dengan cepat membentuk perisai dari angin, menahan serangan itu. Pertarungan berubah menjadi duel sengit, dengan mantra-mantra yang saling beradu di udara.

Penyihir-penyihir muda lainnya tampak ragu, tapi mereka tetap mendukung pemimpin mereka dengan mantra-mantra tambahan. Tohawi, meskipun terdesak, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Ia menggunakan segala pengetahuan yang ia pelajari dari buku-buku di perpustakaan dan bimbingan Meredin.

"Kenapa kalian begitu terobsesi untuk merendahkanku?" teriak Tohawi di tengah pertarungan. "Aku di sini untuk membantu, bukan untuk menjadi musuh kalian!"

Penyihir itu hanya tertawa sinis. "Kau bukan apa-apa. Kau bukan bagian dari kami. Kau hanya beban!"

Kata-kata itu semakin membakar semangat Tohawi. Dengan gerakan tangan yang cepat, ia memanipulasi angin menjadi gelombang besar yang menyapu para penyihir muda, membuat mereka terhuyung mundur. Namun, pemimpin mereka masih bertahan, meski terlihat lebih marah daripada sebelumnya.

"Apa yang kalian lakukan?!" suara Gandorf terdengar keras dan tegas. Ia muncul di tengah medan pertarungan, wajahnya penuh kemarahan. "Apakah kalian lupa di mana kalian berada? Ini adalah tempat perdamaian, bukan medan pertempuran!"

Penyihir muda itu, meskipun marah, tidak berani melawan Gandorf yang merupakan guru mereka sendiri. Ia menurunkan tangannya, menghentikan serangan. Tohawi juga menurunkan tangannya, masih bernapas dengan berat.

Gandorf menatap mereka satu per satu dengan mata tajam. "Kalian semua akan menerima hukuman atas tindakan ini. Ini bukan cara seorang penyihir istana berperilaku. Kalian seharusnya tahu lebih baik."

Penyihir itu hanya mengangguk, meskipun jelas ia masih marah. "Baik, guru. Kami mengerti."

Setelah para penyihir muda itu pergi, Gandorf berbalik kepada Tohawi. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lebih lembut.

Tohawi mengangguk, meski ia merasa kelelahan. "Aku baik-baik saja. Terima kasih, Gandorf. Aku hanya tidak bisa menahan amarahku lagi."

Gandorf menepuk bahu Tohawi. "Kemarahanmu dapat dimengerti, Tohawi. Tapi ingatlah, kekuatan sejati datang dari kemampuan untuk mengendalikan emosi kita, bukan membiarkannya mengendalikan kita."

Tohawi mengangguk, merenungi kata-kata Gandorf. Ia tahu bahwa jalan di depannya masih panjang dan penuh rintangan, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Dengan dukungan Gandorf dan tekad yang baru, ia akan terus maju, mencari cara untuk membuktikan dirinya di dunia yang tidak selalu menerima kehadirannya dengan baik.

Sebelum Gandorf pergi, Tohawi meminta sesuatu kepada Gandorf. Tohawi mengerti betul bagaimana sosok Gandorf. Walau dia terlihat tidak peduli sebagai orang yang sudah tua, dia sangat pengertian.

"Gandorf, apakah kamu ingin melatihku?" Ucap terang Tohawi kepada Gandorf dengan wajah senang.

"Tanpa kamu minta, aku memang akan melatihmu. Sudah tugas orang yang sudah tua untuk mewariskan ilmunya kepada yang muda." Dengan suara yang sudah terbata-bata Gandorf menyetujui permintaan Tohawi.

"Ku harap anda tidak meninggal lebih dulu, karena aku ingin mendapatkan ilmu yang berharga darimu. Apalagi mendapatkan ilmu dari kepala penyihir kerajaan." Dengan sikap yang tak mengerti sopan santun, ia berkata demikian kepada Gandorf.

Tanpa membalas perkataan Tohawi, Gandorf melancarkan serangan sihir angin yang menghempaskan Tohawi.

"Brug, Ahh sakit!" Tohawi pun terpental dengan suara jeritannya yang keras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status