Mengapa harus seperti ini, tak bisakah kau membicarakan ini baik baik denganku. Mengapa harus bertemu dibelakangku jika kalian memang sedang menjalin hubungan? Aku sudah lelah, mungkin akan lebih baik bagiku untuk mengakhiri saja pernikahan hambar ini. Maaf mas, aku menyerah. ****Malam ini rasanya terasa gelap dan mencekam. Senada dengan suasana hatiku saat ini yang hitam sekelam malam. Aku tak mengerti mengapa bisa terjebak dalam suasana ini. Andai saja Mas Rangga bisa berkata jujur padaku. Tentu hatiku rasanya tak sesakit ini.Kejadian tadi siang terus mengusikku, wajah Kinanti yang melirikku sambil tersenyum puas terus menari di pelupuk mataku, sikap Kinanti yang seakan mengejekku, membuatku bertambah kesal. Setelah makan malam tadi, aku langsung masuk kekamar, sengaja menghindar agar tak bertemu muka dengan Mas Rangga, terpaksa hal itu aku lakukan karena tak ingin ia membuatku lebih kecewa lagi. Tok ... tok ...! Terdengar suara seseorang dari luar mengetuk pintu. Entah menga
Aku berjalan menuju halaman rumahku. Kutatap rumah sederhana milik Alm. Bapak ini. Membuatku terkenang kembali masa masa bersama ke-dua orang tuaku dulu. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam, rumah ini berdebu karena kosong cukup lama. Kurebahkan sebentar tubuhku lalu mulai membersihkan rumah ini. Setidaknya dengan menyibukkan diri seperti ini membuatku sedikit melupakan masalahku. *** Azan Maghrib sudah berkumandang, aku mengambil wudhu untuk menunaikan kewajibanku, sekaligus melangitkan banyak doa kepada Sang Pemilik Kehidupan. Ku adukan masalahku kepada-Nya berharap Dia segera memberikan jawaban atas semua masalah ini. Setelah menyelesaikan kewajiban pada Sang Khalik, aku mengecek ponselku yang sedari tadi sengaja kumatikan, karena tak ingin Kinanti merusak suasana hatiku lagi. Sebuah pesan singkat dari Mas Rangga membuatku tercekat. Dalam pesan yang dikirimnya, Mas Rangga memintaku untuk pulang. Jujur dalam hati, aku masih kesal. Terasa sesak sekali, aku seperti sulit bernapas, en
"Kau benar benar ingin bercerai, Zia. Haruskah itu?" Pertanyaannya membuatku akhirnya tersenyum. "Iya, mas. Karena aku mulai jatuh cinta padamu, aku takut tak bisa melepaskanmu ketika perasaanku nanti semakin dalam padamu, akan lebih baik bagiku jika kita berpisah saja," ucapku sambil menyeka airmata. ****Aku gugup tak menyangka akhirnya kalimat itu keluar dari bibirku. Aku berdecak kesal ketika menyadari kebodohanku. Kulirik Mas Rangga yang menundukkan kepalanya sejenak lalu, kemudian menatapku sambil mengulas senyum tipis. "Aku senang mendengarnya, Zia!" "Tadinya aku sempat ragu untuk pergi kesana, tapi kata katamu barusan, membuatku tak bisa menundanya. Aku harus pergi!" "Beri aku waktu, Zia. Setelah itu aku berjanji tak akan pernah membohongimu lagi," jelas Mas Rangga. Aku menghela nafas panjang, dadaku kini naik turun, kucoba untuk mengatur emosiku saat ini, aku tak ingin membuat keadaan ini lebih buruk lagi. Tatapan mata Mas Rangga masih bisa kurasakan, entah mengapa memb
"Den Rangga, kita sudah sampai," ucap Pak Arsyad, mengagetkanku. "Mas ...!" Panggil Kinanti. Aku menoleh sebentar padanya," Ayo atau kita akan terlambat nanti," kilahku mengalihkan perhatiannya. Ia mendelik seolah tak terima perlakuanku. Aku keluar dari mobil sambil terus menatap layar ponselku, masih berharap ada pesan darinya "Zia, tunggulah sebentar lagi! setelah itu. Aku akan menerima semua kemarahanmu padaku," bisikku pelan.***Pak Arsyad pun pamit setelah menurunkan kami. Aku berpesan padanya agar tidak lupa menjemput Zia nanti malam. "Tolong jemput Zia, pak!" Pesanku pada Pak Arsyad sesaat sebelum beliau pamit. Aku kembali menepis tangan Kinanti yang berusaha ingin menggandengku. Kulangkahkan kaki sambil menarik koperku. Mengabaikan dirinya. "Mas!" Panggil Kinanti yang berdiri di sebelahku. "Ada apa?" Ketusku. "Kau masih belum memberi tahu alasanmu mengajakku ke Singapura?" Tanya Kinanti. "Kau akan tahu alasanku nanti. Mengapa aku memintamu menemaniku ke Singapura,
Mobil itu adalah Ferarri milik Mas Rangga. Kenapa bisa ada disini? Apa ia sudah pulang dari acara liburannya dengan Kinanti? Ah, jadi teringat dengan rubah betina itu. Mengapa setelah tiba di Singapura ia tak memamerkan kemesraan mereka, atau mengirimkan pesan yang merayakan kemenangan dirinya karena telah berhasil merebut Mas Rangga dari sisiku? Cukup lama aku mengintip dari balik jendela ini. Namun, tak kutemukan sosok pria yang telah membuatku jatuh cinta itu disana. Pergi kemana dia? Karena rasa penasaran tak melihat siapapun diluar, aku pun membuka pintu dan keluar dari rumah. Mataku menjelajah sekeliling lalu berdiri terpaku melihat kearah mobilnya, karena tak ada siapapun yang kulihat, kuputuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, namun langkahku tiba tiba terhenti ketika lenganku ditarik oleh seseorang. "Aku tahu kau pasti akan keluar mencariku, Zia!" Ucapnya sambil menarikku kedalam pelukannya. "M-mas Rangga ...?" Pekikku tertahan. **** "Lepas!" Aku berusaha melepasnya
Cengkeraman tangannya begitu erat, sangat sulit kulepas. Aku menyerah saat ia membuka pintu Ferarri kesayangannya dan memintaku masuk kedalamnya. Wajah Mas Rangga kini nampak kesal. Ada rasa ingin bertanya padanya. Namun, terpaksa niat itu akhirnya harus terkubur karena aku tak ingin melihatnya bertambah kesal. Ferarri ini akhirnya bergerak meninggalkan rumahku. Dalam hati aku terus gelisah, entah apa yang akan terjadi pada hubungan kami selanjutnya. **** Sepanjang perjalanan kami berdua hanya diam tak saling bicara, aku tak berani bertanya sesuatu atau mengajaknya bicara, raut wajahnya terlihat begitu tegang seperti mencemaskan sesuatu. Entah apa yang terjadi karena jarang aku melihatnya sangat khawatir seperti ini. "Apa terjadi sesuatu dengan papa?" Akhirnya aku memberanikan diri bertanya, memecah keheningan diantara kami, saat Ferarri ini berbelok masuk ke halaman rumah. "Tidak. Papa baik baik saja dan masih di Singapura. Tak perlu khawatir, beliau akan pulang bulan depan." Ja
"Kau ... dasar wanita jalang, wanita tak tahu diri, semua ini karena kau!" Murka Kinanti dengan jari telunjuk yang mengarah kepada ku. Plak! Sebuah tamparan keras akhirnya diberikan Mas Rangga di wajah Kinanti. Tindakan Mas Rangga yang tak disangka ini membuatku seketika terkejut."Sadarlah Kinan! Keluarlah dari bayang bayang masa lalumu, aku bukan dia, aku bukan kekasihmu!" Perkataan Mas Rangga akhirnya membuatku tersadar. Ya Tuhan, mungkinkah kecurigaanku selama ini tidak benar? ****Aku segera menjauh dari sofa ini, aku takut jika tiba tiba Kinanti kembali menyakitiku, kuhela nafas beberapa kali demi mengatur nafasku yang tersengal akibat cekikannya tadi, mencoba untuk menenangkan diri. Kulirik Kinanti masih meringis disana sambil memegang pipinya yang memerah akibat tamparan keras Mas Rangga. Tak lama kemudian, wanita itu lalu luruh kelantai, terduduk, sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. "Mas, Jangan tinggalkan aku, aku mohon. Aku akan lakukan apapun yang kau ingi
"Ayo kita pulang kerumah, Mbak," ajak adik laki lakinya. Kinanti diam saja, akhirnya wanita itu menurut, membuang pecahan vas bunga itu kelantai setelah Mas Rangga yang berhasil membujuknya. Ia masih diam terpaku disana, aku menghela nafas lega, setidaknya benda tajam itu tak lagi dipegangnya. Tanpa menyadari jika sedetik kemudian wanita itu tiba tiba berdiri dengan seringai mengerikan di wajahnya lalu berjalan cepat kearahku, tangannya kembali mencengkram leherku. "Aku akan menyingkirkan wanita ini Mas, agar kau tak meninggalkanku lagi," ancamnya dengan pecahan vas ditangan kirinya yang ia tempelkan di wajahku. **** "Lepaskan Zia, Kinanti, Jangan melukainya. Dia tak tahu apa apa," Mas Rangga mencoba membujuknya. Aku memejamkan mata, pecahan vas itu kini turun ke leherku. Cengkeraman tangannya terlalu kuat untukku, membuatku semakin sulit bernapas. "Mbak, lepaskan aku ... A-aku tak tahu apapun tentang kalian," ucapku terbata. "Diam kau, ikut aku," ia menarikku paksa lalu mas