"Gue penasaran banget sama istri Lo yang katanya pemalas itu. Nanti bolehlah main ke rumah lo."
"Boleh. Lo liat sendiri aja gimana kelakuan istri gue."Aku menganggukkan kepala, kemudian melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi.Ini benar-benar menarik. Aku mendapatkan bahan lagi untuk melakukan apa yang harus aku lakukan untuk membalaskan semuanya."Mbak lama banget.""Abis denger suara Mas Guntur tadi." Aku membalas perkataan Rumi yang langsung melebarkan matanya mendengar perkataanku barusan."Hah?! Terus gimana, Mbak? Mbak ketahuan?"Mendengar itu, aku langsung tertawa. Jangankan ketauan, pasti Mas Guntur tidak akan mengenali siapa aku sebenarnya. Aku memang tidak pernah memakai make up di rumah. Itu sudah biasa."Sebentar lagi kita masuk ke acara inti. Kamu mau ikut Mbak naik ke atas panggung?""Gak usah, Mbak." Rumi langsung menggelengkan kepalanya.Ah, baiklah. Rumi memang tidak mau, apa lagi kalau ketauan, itu semua akan merusak rencanaku, tapi tenang saja, aku akan main cantik. Mas Guntur akan kesulitan mengenali siapa aku."Bu Arini mau ganti pakaian dulu?""Boleh." Aku menoleh ke Rumi yang bermain ponsel, dia tidak mau ikut, jadinya tidak berganti pakaian. "Mbak ganti pakaian dulu, ya, Rum.""Aman, Mbak."Beberapa menit aku mengganti pakaian. Aku menatap diriku sendiri di cermin. Di rumah, aku bagai upik abu, berusaha untuk berpikir keras bagaimana caranya agar bisa bertahan hidup dengan uang sepuluh ribu.Tenang saja, itu hanya sandiwara. Aku tidak semiskin itu. Aku juga mampu untuk membayar uang sekolah Putra. Semuanya juga aku mampu, tetapi apakah itu akan memberikan efek jera pada Mas Guntur?Biar nanti semuanya akan terbongkar sendiri dengan seluruh rencanaku. Rencana ini memang sudah matang, aku akan membuat Mas Guntur menderita dari apa yang aku rasakan sekarang.Juga, ada masa lalu dari semua ini, kenapa Mas Guntur tidak tau kalau aku anak orang kaya raya, padahal Rumi juga dikenal oleh Mas Guntur. Nanti akan aku ceritakan, tetapi perlahan. Seiring berjalannya cerita."Apakah Bu Arini sudah siap?"Aku menoleh, kemudian menganggukkan kepala. Aku sudah siap sejak tadi."Baik, kami persiapkan dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah ada panggilan, Ibu langsung naik saja ke atas panggung."Baiklah, aku mengerti. Mereka kembali keluar dari ruangan. Aku menghela napas pelan, menyenderkan kepala di kursi."Kenapa Mbak gak sekalian permaluin si Guntur itu?"Eh? Aku langsung menoleh ke Rumi, mengernyitkan dahi. Sebenarnya itu ide menarik, tapi aku langsung menggelengkan kepala, itu akan terlihat aneh. Aku tidak punya caranya."Rumi punya ide, Mbak.""Ide apa?" tanyaku penasaran.Adikku itu mendekat, dia membisikkan sesuatu. Beberapa detik mencerna kalimatnya, aku langsung tersenyum, menarik juga perkataan Rumi. Hmm, sepertinya aku memang harus melakukannya agar Mas Guntur lebih jera, meskipun akan ada kejutan selanjutnya."Nanti bisa Mbak coba.""Iya. Nanti bakalan Mbak coba."Ponselku berdering, dari Mama. Kenapa Mama menelepon? Buru-buru aku menggeser tombol berwarna hijau, sementara Rumi terlihat penasaran siapa yang menelepon ku."Kenapa Mama nelepon, Mbak?"Entah. Aku mengangkat bahu."Halo, Ma. Ada apa?" tanyaku saat telepon terhubung."Halo, Din. Kamu sama Rumi ada di mana? Kenapa belum ke rumah?"Eh? Mama sudah tau kalau Rumi sudah pulang? Kenapa anak ini tidak memberitahu ke Mama dan Papa dulu? Atau setidaknya dia pulang dulu sebentar sebelum ke rumahku."Iya, Mama sama Papa nungguin kalian nih. Udah masak banyak banget Mama buat kalian. Masa belum dateng juga." Papa ikut berbicara, membuatku menggaruk kepala yang tidak gatal.Aku melirik Rumi yang nyengir. Dia memang menyebalkan sekali."Kita lagi ada di kantor, Ma. Ada acara lumayan besar.""Acara kantor? Kantor mana? Kantor suami kamu seinget Papa cuma kantor itu yang ada acaranya hari ini.""Iya, Pa. Kantor Mas Guntur." Aku menjawab pelan."Astaga, Dina. Kamu ngapain di situ? Mama sama Papa langsung ke sana deh, buat mastiin kalian. Sekalian liat suami kamu itu, Dina. Pantes tadi si Fino nelepon Papa kayak ngasih tau gitu.""Eh? Mama sama Papa mau kesini?"Pimpinan tertinggi adalah Mama dan Papa di kantor ini. Hanya saja, aku memang belum cerita. Mas Guntur belum tau siapa sebenarnya orang tua kandungku, karena dulu aku bilang aku adalah anak yatim piatu.Dulu memang aku tidak tau siapa orang tuaku yang sebenarnya. Aku dan Rumi di panti asuhan, tetapi beberapa bulan setelah menikah dengan Mas Guntur, kami akhirnya menemukan siapa orang tua kami sebenarnya lewat Bang Fino. Ah, semua itu berjalan dengan mulus, Mas Guntur tidak tau sama sekali mengenai ini, karena dia sedang ditugaskan di luar kota.Lucunya lagi, ternyata orang tuaku adalah bos di kantor Mas Guntur. Wow, aku sungguh kaget dengan fakta itu sebenarnya."Halo, Dina?""Iya halo, Ma.""Iya. Ini Mama sama Papa mau siap-siap dulu ya. Kamu mau maju ke depan kan? Kami akhirnya tau gimana susunan acaranya.""Tapi Mama sama Papa gak bakalan ngacauin semuanya kan? Masalahnya masih banyak yang harus dilakukan setelah ini, semua rencana Dina belum dilakuin.""Aman, Sayang. Kamu tenang aja, Mama sama Papa bakalan buat ini semuanya sebaik mungkin. Kamu siap-siap aja. Biar nanti pas pulang juga sekalian kalian ke rumah, udah lama banget gak pulang."Aku tersenyum tipis. Memang tidak sempat untuk pulang ke rumah."Mama udah dengar kamu gimana di rumah. Mama sama Papa benar-benar kesal dan kalau bisa, kita samperin si Guntur itu sekarang. Enak aja putri Mama diperlakukan buruk seperti itu.""Iya, Ma. Tapi gak sekarang.""Aman, Sayang. Mama udah gak sabar banget pengen ngeliat kamu melewati semuanya. Mama sama Papa juga gak sabar ketemu sama cucu kami. Harusnya udah sejak awal kami ketemu, tapi takutnya ketahuan."Memang Mama dan Papa belum bisa untuk menemui Putra saat ini. Bukan karena aku melarang, tetapi demi kebaikan bersama.Aku menghela napas pelan."Bu Arini dipersilakan untuk memasuki panggung."Eh? Kami menoleh ke panitia yang menatap kami di dekat pintu. Aku langsung menganggukkan kepala, kemudian beranjak."Udah dulu ya, Ma. Udah dipanggil.""Semangat, Sayang. Tunggu Mama sama Papa kesana, ya.""Iya, Ma." Aku langsung mematikan telepon, kemudian membenarkan pakaian yang agak terlipat tadi."Semangat, Mbak. Aku lihat dari bawah panggung ya.""Iya. Makasih Rum udah ikut datang kesini."Rumi menganggukkan kepala, aku melangkah keluar dari pintu khusus, kemudian melangkah menuju ke atas panggung.Ramai sekali. Aku tersenyum ke Bang Fino yang terlihat menyemangati. Saat melewati Mas Guntur, aku menahan napas sedikit. Dia terlihat tersenyum.Dih, awas saja kamu, Mas! Rasakan pembalasanku setelah ini!***"Karena beberapa laporan, kantor ini akan melakukan perubahan. Mungkin menurunkan jabatan atau malah mungkin mengganti anggota. Saya sudah menyusun nama-nama anggotanya, jadi nanti tinggal dilihat saja."Semua langsung berbisik-bisik mendengar perkataanku. "Apa alasannya? Bukan. Bukan karena kantor ini akan bangkrut, tetapi karena performa ornag-orang yang ada di list tidak bagus dan tidak maksimal."Aku menatap semua orang yang memandangku. Mereka menatap terpesona, karena aku juga memang jarang sekali memakai make up. "Kalian coba untuk instrospeksi diri sendiri kalau performa kalian tidak bagus. Bisa list tadi dibawakan ke saya?"Tadi, aku sudah menjelaskan apa yang ingin aku lakukan pada Mas Guntur pada Bang Fino, kemudian dia langsung membuat apa yang aku inginkan. "Ini list namanya, Bu."Pandanganku tertuju ke nama Mas Guntur sebagai manager di perusahaan ini. Dia memang manager, tetapi pelit sekali pada istrinya, bahkan dia memberikan uang sepuluh ribu untuk keperluan kami s
"Kamu apa-apaan sih berlutut kayak gitu?" Mama tampak risih melihat Mas Guntur yang berlutut di kakiku. Entahlah, aku bingung apa yang Mas Guntur lakukan. Kenapa dia memohon-mohon seperti ini. Agar kerjaannya tidak hilang begitu?Untuk apa lagi kalau dia hanya memberikan nafkah sepuluh ribu untukku. "Tolong saya, Bu. Saya butuh pekerjaan ini untuk biaya sekolah anak saya. Saya mohon."Dih. Aku mengangkat sebelah alis, merasa kesal dengan ucapannya barusan. Rumi mengusap punggungku. Jangan sampai amarahku meledak di sini dan membuat keributan. Ini belum seberapa, masih banyak kejutan yang akan kami buat. "Haduh, sebaiknya kamu jangan di sini. Sana, saya gak suka ada orang yang melakukan kesalahan tapi seolah tidak melakukan kesalahan itu." Aku berkata pelan, tetapi tajam. Bang Fino juga berusaha menenangkanku. Tidak, aku tidak akan marah atau meledak di sini. Aku hanya sedikit emosi melihat pria menyebalkan ini. Menurut dia, kesalahan yang dia lakukan itu kecil, hah?!"Maafkan say
"Putra anakmu, Mas! Kenapa kamu bilang begitu, hah?! Harusnya kamu panik, harusnya kamu langsung tanya dimana rumah sakitnya, bukan malah maki-maki anak sendiri." Aku mencengkeram erat ponsel, rasanya aku ingin membanting ponselku kalau tidak ada akal sehat lagi. "Anak nyusahin, ngapain aku mikirin dia. Udah, jangan ganggu aku, aku lagi sibuk dan pusing mikirin kerjaan. Kamu itu nelpon gak ada gunanya banget.""Halo Mas Guntu! Halo!" "Istighfar, Mbak." Rumi langsung membantu menenangkanku. Dia mengambil ponselku agar aku tidak membanting sesuatu. Sungguh, aku marah sekali pada Mas Guntur. Biarlah dia selama ini tidak memberikan nafkahnya padaku, tetapi ini? Anaknya sendiri masuk rumah sakit. Setidaknya dia panik atau apa, bukan malah tidak peduli hanya karena dia kehilangan pekerjaannya. "Dasar laki-laki gak tau diri." Aku mencengkeram erat jemariku sendiri, berusaha menahan emosi. "Mbak pasti bisa, sabar ya Mbak." Rumi mengusap punggungku. "Bahkan sama anaknya dia gak peduli!
"Kamu pikir dong! Anak kamu itu masuk rumah sakit! Harusnya kamu mikirin dia, bukannya mikirin perut kamu sendiri!" Sungguh, aku emosi sekali dengan Mas Guntur. Dia sama sekali tidak peduli dengan anaknya, sementara dia malah memikirkan isi perutnya di rumah dengan menanyakan makanan? Kemana pikiran dia itu?"Halah, kamu itu gak ada gunanya jadi istri!""Kamu yang gak ada gunanya jadi suami, Mas!" Aku berkata kesal, kali ini kelepasan. Aku diam sejenak, pasti Reyza mendengarnya. Ah, biarlah. Aku ingin mengurus Mas Guntur dulu. Masalah di hidupku banyak sekali. "Oh, mulai berani ya kamu? Durhaka kamu jadi istri, hah?!"Dari pada aku bertambah emosi dan semua omongan kekesalanku keluar semua, aku akhirnya mematikan telepon. Beberapa detik menenangkan diri, aku kembali duduk di meja. "Kamu butuh minum?" tanya Reyza membuatku menggelengkan kepala. Aku tidak butuh apa-apa sekarang. Yang aku butuhkan hanyalah ketenangan. Reyza menganggukkan kepala. Dia seolah tau sekali apa yang aku r
"Tentang Mas Guntur? Buat masalah apa lagi dia? Udah capek banget denger kelakuan dia yang gak bener itu.""Ya begitulah, kenapa juga kamu bisa menikah sama pria kayak dia.""Entahlah, aku juga bingung. Harusnya dari dulu aja aku buang jauh-jauh suami kayak dia."Nada langsung tertawa mendengar perkataanku. Sahabatku itu tumben sekali menelepon malam-malam begini. "Aku juga minta maaf gak sempet ngabarin kamu tadi, ada meeting dadakan.""Ah iya, gak papa, Nad." Aku duduk di salah satu kursi tunggu. Begitu juga dengan Bang Fino. Sepertinya dia masih penasaran sekali dengan cerita mengenai Reyza. Haduh, padahal aku sudah senang bisa menghindarinya. "Terus kamu sendiri kenapa gak bisa hubungi aku, Din? Ada masalah? Atau ada sesuatu?" tanya Nada penasaran sekali. "Putra abis jatuh dari tangga sekolahnya, Nad. Ini aku lagi jagain dia di rumah sakit.""Ya ampun, terus gimana keadaannya, Din? Suami kamu juga di situ? Atau dia malah gak peduli?"Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Nada.
"Maaf ya, saya tadi gak sengaja ke sini, bukan niatnya mau nguping.""Iya gak papa, Dok." Putra yang menjawab sambil tersenyum. Aku buru-buru mengusap air mata. Momen mengharukan ini, ternyata juga ada yang mendengarkannya. "Boleh saya masuk?" tanya Reyza membuatku menganggukkan kepala. "Permisi ya, izin masukin obat ke dalam infusannya Putra."Reyza melangkah mendekati tempat aku duduk tadi. Aku beranjak agar Reyza lebih leluasa untuk melakukan tugasnya. "Tadinya mau perawat aja, tapi saya mau lihat perkembangan anak manis ini. Gimana? Masih ngerasa sakit?" tanya Reyza membuat Putra menggelengkan kepala. "Anak Mama kan kuat." Perkataan Putra membuatku tersenyum. "Pintarnya. Putra dewasa sekali, mirip banget sama keponakan dokter. Nanti kapan-kapan ketemu deh, ya." "Wah, seru banget pasti. Iya, nanti kapan-kapan sama Mama ya, Dok."Pria itu langsung menoleh ke aku beberapa saat. Kemudian kembali menoleh ke Putra dan menganggukkan kepala. "Iya, nanti sama Mama juga. Udah selesa
"Aku butuh banget jawaban dari kamu, Din. Kamu ada waktu untuk ketemu sama Mamaku?"Aku menggigit bibir, bingung mau menjawab apa. Kalau aku menolak, aku akan menyakiti hati Reyza, juga aku penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Mama Reyza sampai ingin bertemu denganku. "Kayaknya kamu gak bersedia ya, Din? Gak papa kalau gak bisa, aku juga maklum karena kamu udah punya suami. Kamu udah punya kehidupan sendiri."Sampai Reyza mengatakan itu saja, aku masih belum berani untuk mengambil keputusan. Aku bingung harus melakukan apa. Aku takut salah. "Din? Kenapa malah bengong? Kalau gak mau gak papa kok."Huft, ini keputusan yang sangat berat. Aku membutuhkan pendapat orang lain. "Yaudah yuk, gak usah dipikirin. Jam istirahat aku kayaknya bentar lagi habis. Kita balik aja ke ruangan Putra. Yuk."Reyza sudah berdiri duluan, dia membereskan meja. Aku menghela napas pelan, semoga ini keputusan yang tidak salah. "Maaf, Rey." Perkataanku membuat pria itu langsung menoleh. Senyumnya memudar
"Bu, permisi? Saya mau bersih-bersih toilet dulu. Nanti kalau saya gak bersih-bersih, dimarahin lagi." Dih, aku memutar bola mata, langsung keluar dari bilik kamar mandi perempuan. Dia memang menyebalkan, bertambah menyebalkan lagi. "Nanti lagi ya. Nanti aku telepon lagi."Aku langsung mematikan telepon Nada, kemudian melangkah menuju ke tempat duduk Bang Fino tadi. "Lama banget. Nelepon atau ngapain?" tanya Bang Fino yang sudah gerah menungguku. "Ada Mas Guntur tadi. Yuk kita ke rumah sakit sebentar. Kayaknya Putra udah boleh pulang deh.""Serius?" Ya gak tau juga. Putra sudah merengek minta pulang tadi malam, tetapi aku mungkin akan membawa Putra pulang ke rumah Mama dan Papa dulu, nanti saja ke rumah Mas Guntur, lagi pula apdti suamiku masih mengira Putra dirawat di rumah sakit. Sebenarnya belum diperbolehkan pulang, tetapi kondisi Putra juga sudah baik, lagi pula ngapain lama-lama di rumah sakit. Nanti juga ada Mama dan Papa yang mengurus. Akhir-akhir ini juga pasti akan si