Seekor harimau putih turun dari puncak bukit. Ia menuju telaga dan meminum air tempat di mana Candra tinggal. Sedikit licik, tapi begitulah tabiat ular. Candramaya melepaskan racunnya dari sisi dirinya yang berbeda. Racun itu tidak mematikan, melainkan bisa membuat pria mabuk kepayang dibuatnya. Damar yang selesai minum, memainkan air di dalam telaga dengan dua tangan berkuku tajam miliknya. Mata biru itu melihat seekor ular di dalam air jernih dan sedang tertidur.Sebenarnya jauh dari lubuk hati, ia turun karena penasaran mengapa Candra tak merendahkan diri lagi padanya. Ia tahu ular memang suka tempat dingin, tapi bukankah di atas bukit juga sama. Yang dinanti tak kunjung datang, yang ditunggu tak kunjung keluar. Harimau itu kembali berjalan ke puncak, dan duduk bermalas-malasan sesuai dengan tabiatnya. “Biarkan racunku bekerja sendiri di kepalamu, Tuan. Kau terlalu sulit untuk ditaklukkan. Kali ini biar aku main kasar sedikit,” gumam Candra yang baru saja keluar dari telaga. K
Tubuh Candra menggelepar di udara. Ia tak bisa menghirup napas bahkan lidah ularnya telah menjulur keluar. Rasanya mati lebih baik daripada jujur. Lalu ular betina itu memejamkan mata. Merasa kasihan, dan mempertimbangkan pengabdian sang penjaga telaga selama hampir ribuan tahun, Damar melepaskan cengkeraman tangannya. Ia menyesal, tapi salah Candra juga tak mau bicara. Terlalu banyak lidah ular itu berkelit. Wanita itu terjatuh di tanah dan tak sadarkan diri. Sang harimau putih menghela napas panjang. Ia angkat tubuh Candra dan membawanya jauh ke dalam hutan. Luka di punggung tertutup perlahan-lahan seiring dengan berjalannya waktu. Candra membuka kedua matanya dan melihat seorang lelaki berambut putih dan bermata biru menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Kau baik-baik saja?” tanya Damar. “Baik, lukaku sudah sembuh.” Candra berdiri. Hilang selera, begitu perasaannya sekarang, tapi tidak dengan rasa yang lain. Ia pun bingung dengan dirinya sendiri. “Kau mau ke mana?” “Pulang.”
Weni yang masih berusia belia—sekitar 17 tahun dan belum menikah, sedang memandang langit biru di mana pelangi turun dengan lengkungan yang amat sangat indah. Warna-warnanya membuat gadis itu terkesima. “Andai aku bisa secantik pelangi,” gumam Weni sambil termenung. Anak bungsu kepala desa itu hanya duduk termenung menanti lamaran datang padanya. Entah apa hal yang membuatnya tak laku juga, dan hampir menginjak usia perawan tua. “Padahal wajahnya tidak jelek-jelek amat. Apa gerangan yang membuat putriku tidak laku, ya?” Ayah Weni memegang dua pipi anaknya. Diperhatikan, tidak ada cacat sama sekali. Bahkan lelaki itu telah menyodorkan putrinya pada yang lain, tapi tidak ada yang menggubris. “Mungkin dia harus diruwat dulu untuk buang sial, Kang Mas,” jawab ibunya Weni. “Lakukan saja, kalau masih tidak laku juga terpaksa aku harus membuat sayembara. Terserah lelaki mana saja yang mau jadi suaminya. Bikin malu saja.” Kepala desa itu mempercayakan Weni pada istrinya. Segera saja ga
Berangkatlah Damar memacu kudanya lebih kencang menuju desa yang dimaksud orang-orang tadi. Agak dua hari dua malam ia baru sampai di bagian hulu.Malam harinya orang kepercayaan demang itu beristirahat di pinggiran desa bersama kuda yang mengantarnya. Di pagi hari ia langsung menuju tempat sayembara diadakan. Orang-orang berkerumun, kebanyakan lelaki yang ingin menang cuma-cuma mendapatkan gadis belia yang kurang beruntung. “Seperti apa wajahnya?” Damar berdesakan di antara lelaki yang datang. Terlihat olehnya kepala desa mulai naik ke atas panggung mengumumkan jenis perlombaan. “Saudara-saudaraku semuanya, hari ini aku melakukan sayembara. Siapa pun yang berhasil memanah dengan tepat sasaran maka putriku akan menjadi miliknya,” ucap kepala desa sambil tertawa. Lepas sudah beban anak terakhirnya dan ia bisa hidup bebas lagi seperti dulu. Tak lama setelah itu seorang gadis dibawa dengan menggunakan penutup wajah. Weni tidak terlalu tinggi, tapi bentuk tubuhnya idaman para lelaki
Damar beristirahat di tepi sungai. Tak terkejar ia harus ke tengah pemukiman. Lelaki itu menghidupkan api unggun guna mencegah serangan binatang buas. “Paman, aku la—” Belum selesai Weni bicara, dia sudah diberikan perbekalan terlebih dahulu. Semakin besar rasa di dalam hati gadis tengil itu. Ia tersenyum malu-malu. Setelah kenyang makan, Weni merebahkan diri di dalam pedati. “Aku tak sabar menjadi selirnya. Namanya istri muda pasti selalu diperhatikan dari yang paling tua,” gumam gadis berkuling kuning langsat itu percaya diri. Damar tengah memijit bahunya yang nyeri. Lelah perjalanan mencari selir baru tuannya sampai kulitnya semakin gelap dan kapalan karena memegang kendali kuda. Malam semakin gelap. Nyamuk semakin besar yang datang, suara kodok terdengar memanggil hujan. Pedati berguncang karena ada penghuninya. Damar hanya bisa menghela napas menahan kantuk. Lalu ia pun jalan kaki sebentar ke arah sungai, untuk mencuci mukanya agar tak tertidur. Namun, rasa-rasanya Damar se
“Murti, Nduk, sepertinya aku ingin meminta tolong padamu.” Kinanti merasa pengobatan yang ia jalani sia-sia belaka. Tak ada harapan untuk sembuh. Batuknya semakin menyesakkan dada. “Mencarikan istri untuk Kanda Damar,” tebak gadis itu sambil menyantap kangkung rebus dicampur sambal. “Hmm, akhir-akhir ini aku tak bisa melayaninya. Aku tahu kau belum menikah ta—” “Aku paham apa yang kau rasakan. Yang jadi masalah, aku saja belum menikah, Kakak suruh aku carikan Kanda istri kedua lagi. Ya, lebih baik aku mencari jodohku saja.” Murti menyantap ikan bakar yang ada di depannya sampai habis. “Apa gerangan yang membuatmu sulit menemukan jodoh? Kau itu cantik, jangankan orang biasa, adipati saja mau meminangmu. Jangan terlalu pilih-pilih, Nduk, tak baik, ada yang mau dengan kita saja sudah syukur.” “Aku tak banyak memilih, aku hanya memilih dia.” Maksud gadis pendekar itu si Pawana. “Dianya mau tidak denganmu?” tanya Kinanti. Murti hanya menggeleng saja. Sulit mendekati Pawana. Sepertin
“Jadi, dia itu siapa?” Weni melihat ke arah perempuan galak tadi. “Namanya, Kemangi.” “Kemangi? Terus hebatnya apa?” “Hebatnya? Nantilah aku bicarakan. Pesanku kau harus berhati-hati di sini. Jangan terlalu percaya dengan semua orang,” ucap Lintang. “Lalu kau?” “Kau bisa mulai percaya padaku. Aku menyelamatkanmu tadi malam. Aku tidak akan menghitungnya sebagai hutang budi. Tapi, aku pergi dulu, ya, ada yang harus aku kerjakan. Nanti aku ke sini lagi.” Lalu puri bagian belakang tempat di mana para selir tinggal terasa sunyi. Kamar mereka sebelah-sebelahan. Wajar kalau saling mendengar bisikan satu sama lain. Memang demikian perempuan peliharan Demang. Tapi tetap saja menjadi satu kebanggan bisa menjadi selir karena harta kekayaan yang akan diterima. Tidak bagi Weni. Dia masih mencari di mana Damar. Ia ingin keluar. Lalu gadis itu memanjangkan lehernya. Ia melihat dari celah jendela bambu. Banyak lelaki berwajah sangar yang berjaga. Pedang mereka tajam dan bisa memenggal leher
“Juragan, hamba ingin menyampaikan sesuatu,” bisik orang kepercayaan Pawana sambil mengendap-endap. “Sebagai orang kepercayaan Demang Ranu, aku yakin sekali kau pasti terlibat. Tidak mungkin sekeping hepeng pun tidak pernah kau makan,” gumam lelaki berkasta tinggi itu. “Tapi aku tidak yakin, sebelum mencari tahu sendiri. Sebenarnya aku tidak suka main kasar, tidak sama sekali, kecuali terpaksa.” Pawana naik ke atas kudanya. Lelaki dengan kumis tipis itu membawa lari tunggangannya. Yang ia tahu sebagai pendekar perempuan, Murti suka latihan dengan kudanya di tanah lapang milik kedua orang tuanya.“Aku akan main hati, tapi aku tidak akan menggunakan perasaan. Kau akan aku manfaatkan, selagi berguna kau akan ada di dekatku.” Pawana menarik tali kekang kuda. Ia menunggu sampai Murti kembali. Terdengar suara derap lari kuda lain yang datang. Pawana sembunyi sebentar dan nyaris saja anak panah mengenai pipinya. Tergores sedikit, dan hutang darah dari Murti akan ia ambil dari darah dari a