"Kalau begitu, tunggu sampai hari Selasa Wegi dan carilah mayat yang baru saja di makamkan pada hari itu."
"Untuk apa aku mencari mayat Mbah?" Tanyanya dengan menautkan kedua alisnya.
"Ambillah satu tali pocong yang berada di kakinya."
"T-tali p-pocong Mbah?" Tari membulatkan kedua matanya, saat pria tua yang sedang bersila di hadapannya ini memberinya tugas untuk mengambil sebuah tali. Namun bukan tali biasa, melainkan tali dari pocong.
***
Satu minggu berlalu dan Bagas pun tidak mengalami hal serupa lagi. Meski begitu, Leni tetap tidak mengijinkan mereka untuk kembali tinggal berdua saja di rumah mereka untuk menghindari sesuatu hal yang tidak diinginkan kembali terjadi.
Hari ini adalah hari di mana Andira dan Bagas kembali ke aktifitasnya
*** "Kalau bukan karena balas dendam. Ogah aku main ke kuburan tengah malam begini." Keluh Tari, kesal. Dengan berbekal pencahayaan yang berasal dari ponselnya, kedua kakinya melangkah pelan menerobos semak belukar yang mengarah ke suatu tempat. Sesekali tangannya terlihat mengibas, mengusir para nyamuk yang akan hinggap di kulit tubuhnya. "Lagian, kakek tua itu kenapa harus tahu segala sih, kalau waktu itu aku mengubur buntalan kain itu bersama temanku!" Rutuknya lagi. "INGAT! KAMU HARUS MENGAMBILNYA DENGAN KEDUA TANGANMU SENDIRI DAN TIDAK ADA YANG BOLEH TAHU TENTANG HAL INI, APA LAGI JIKA KAMU SAMPAI MINTA BANTUAN PADA ORANG LAIN." Perkataan mbah Kaji itu, terus saja mengiang-ngiang di kepala Tari. Pletak. "Aaarrgh." Ocehan Tari terhenti saat tiba-tiba ia merasa ada yg menimpuk kepalanya. "Siap-pa i-tu?" Dengan cepat Tari segera mengecilkan volume suaranya, saat ia tersadar jika saat ini dia tengah berada di tenga-tengah semak belukar.
Di saat beberapa warga yang tengah berpatroli asik memperbincangkan tentang kisah-kisah mistis yang mereka percaya benar adanya, tiba-tiba sesuatu melesat cepat dan menggelinding melewati mereka. Sish, pluk. "Aaaarrgh.." Para warga berhambur saling menjauhkan diri. Mereka tekejut saat melihat suatu benda yang berbentuk bulat, menggelinding cepat di hadapan mereka. Sepasang warnah merah menyala yang melekat pada benda bulat tersebut, membuat mereka semakin yakin jika benda bulat tersebut adalah sebuah kepala terbang. Seperti gosip-gosip yang tengah beredar di kalangan para emak-emak di Desa Cempaka akhir-akhir ini. "Mereka kenapa?" Gumam Tari yang masih bersembunyi di balim pohon besar. Tari menautkan kedua alisnya, entah apa yang membuat mereka berlari terbirit-birit seperti itu. Yang pasti, Tari sekarang bisa bernafas lega karena dia bisa melanjutkan rencananya seperti semula. Dag, dig, dug.. Baru beberalangkah Tari melangkahkan kedua k
Sesuai dengan apa yang diucapkan Bagas tadi pagi pada Andira. Saat sang surya telah berpulang ke dalam peraduannya, dia benar-benar menggempur istrinya tanpa memberinya ampun sedikitpun. Entah sudah ke berapa kalinya dia menggagahi sang istri, seakan dirinya tidak akan pernah puas untuk menikmatinya. Keduanya saling meluapkan perasaan cinta mereka dengan suara erangan serta desahan erotis yang memenuhi seluruh ruang kamar mereka. Sepasang suami dan istri itu benar-benar melewati malam mereka dengan sangat syahdu. "Sayang..." Goda Bagas, menatap sang istri yang mulai memejamkan kadua matanya karena kelelahan. Tangan kirinya ia gunakan untuk menyanggah kepalanya sembari tidur menyamping di sebelah Andira, sedangkan tangan kanannya kembali bergelirya menjamah bagian-bagian sensitif istrinya. "Eumm, sayang. Ku mohon berhentilah, tubuhku sudah benar-benar remuk. Belum lagi besok kita masih harus bekerja." Rengeknya dengan memelas. "Baiklah. Tapi janj
Tari menarik nafas dalam, berusaha mengatur detak jantungnya yang masih berpacu tak stabil. Dia memejamkan kedua matanya, memusatkan pikiran dan hatinya untuk membulatkan tekatnya. "Aku harus mampu melewati ini, bisa saja ini adalah ujian keduaku." Gumamnya, lirih di dalam hati. Dengan gerakan pelan dia mengarahkan cermin mininya itu tepat ke arah belakang punggungnya. Tangan yang bergetar karena ketakutan, ia genggam erat dengan tangannya yang lain. Kemudian Tari membuka kedua kelopak matanya secara perlahan. "Aaaarrgh.." Tari berteriak dan berlari sembari menghentak-hentakkan kedua kakinya ke tanah. Dengan sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri dari mahluk yang tengah menempel di balik punggungnya. Mahluk itu dipenuhi bulu berwarna hitam di sekujur tubuhnya, wajahnya seperti seekor kuda hitam dengan kedua mata yang berwarna merah, serta seluruh kukunya pun terlihat panjang dan hitam, sungguh membuat mahluk itu terlihat sangat menyeramkan. Sesekali mahluk hitam
Di saat pandangan Tari tengah fokus untuk mencari sesuatu yang telah menarik perhatiannya, tiba-tiba dari kejauhan dalam gelapnya malam, muncul sesuatu yang melesat terbang dengan sangat cepat. Siissh. "Aaahh, apa itu?" Karena terkejut, tubuh Tari pun sampai terjungkal ke belakang. Krecek, krecek, krecekk. Suara itu kembali terdengar di telinga Tari, bahkan semakin lama semakin tergengar cepat dan semakin jelas. Tari pun mulai gelisah, dengan posisi yang masih terduduk di tanah dia kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh hamparan rerumputan. Kedua matanya membulat sempurna saat pandangannya menangkap suatu pergerakan yang membelah hamparan rerumputan yang jauh di sana. Manun, pergerakan itu kian lama kian cepat. Krecek, krecek, krecek, krecek, krecek, krecekk.. Siissh... "Aaaarrrghpp..." Tari segera membungkam mulutnya sendiri agar teriakannya tidak terdengar oleh warga sekitar. Kedua mat
*** "Sayang, apa yang kamu lakukan di sini? Dan ke mana pakaianmu?" Andira mengernyitkan keningnya saat melihat Bagas hanya mengenakan celana pendeknya dan bertelanjang dada saja di pinggir jalan raya. Padahal langit sudah terlihat gelap. Namun, yang di tanya hanya diam saja. Bagas malah berjalan santai melewati andira, bahkan dia tidak melirik sang istri sedikit pun. "Hai, Sayang. Apa kamu sudah lama menungguku?" Suara seorang wanita yang terasa tak asing di telinga Andira, mengalihkan perhatian Andira. Andira menoleh, namun entah kenapa kedua matanya tidak bisa melihat wajah wanita itu dengan jelas. Andira terhennyak saat melihat Bagas menjawabnya dengan menganggukkan kepala dan menghampiri pemilik suara yang terdengar sangat mendayu-dayu itu. "Sayang, siapa dia?" Andira menahan lengan Bagas, menatap dan menuntut sebuah penjelasan dari suaminya itu. Namun siapa sangka, Bagas justru menampik kasar tangan Andira dari lengannya. "
Dengan sedikit tergesa-gesa, Tari menyusuri hamparan tanah yang dipenuhi oleh puluhan gundukan tanah bernisan. Dia tidak punya banyak waktu lagi sekarang, hanya tersisa dua jam sebelum akhirnya matahari terbit dari ufuk timur. Jika waktu itu dia belum bisa mengambil apa yang dia butuhkan, maka sudah dapat di pastikan jika tugasnya telah gagal dan dia harus menunggu beberapa waktu lagi untuk mencari target yang baru. Bau kembang tabur yang menyeruak membuat seluruh bulu kuduknya merinding. Memang pada hari yang sama terdapat tiga orang sekaligus yang di kuburkan di tempat itu, hingga bau yang bersal dari perpaduan daun pandan serta bunga mawar dan juga melati itu membuatnya tercium sangat pekat. Berbekal dengan cahaya ponselnya, Tari menerangi gundukan tanah itu satu-persatu. Tujuannya kali ini adalah menemukan kuburan perawan yang baru saja di kuburkan tadi sore. Hingga akhirnya, langkah kakinya terhenti di depan salah satu gundukan tanah yang masih terlihat basah da
Tong... Tong... Tong... Suara yang berasal dari kentongan bambu para warga yang berpatroli, mengejutkan Tari. Dan seketika itu juga, para dedemit yang tadinya memenuhi area pemakaman itu lenyap tanpa jejak, entah ke mana perginya mereka. "Woii, Berhenti!!" Detak jantungnya bergetar hebat, tubuhnya pun basah karena keringat dingin. "Apa aku ketahuan?" Pikirnya. Teriakan warga itu benar-benar membuat tubuhnya seperti terkena serangan jantung mendadak. Tanpa pikir panjang, Tari lansung menyambar ranselnya yang tergeletak di tanah. Dengan langkah seribu, dia berlari untuk mencari tempat persembunyian yang aman. Kedua kakinya terus menerobos masuk tanpa memperdulikan cabang berkayu yang mungkin saja bisa melukai kulitnya, dedaunan serta ranting kering yang berserak di tanah pun ikut berbunyi karena terinjak mengikuti langkahnya. Hingga akhirnya dia bisa bernafas lega setelah dia sampai di ujung semak belukar, pinggiran jalan setapak. "H