Brakk.
Suara pintu yang menghantam dinding membuat mbah Kaji tersentak. Meski pria tua itu tahu siapa yang akan datang, tapi dia tetap tidak menyukai cara bertamunya. "Apa kamu sudah lupa cara mengetuk puntu, heh?" Ucapnya kesal.
"Ini! Gara-gara tali ini, aku tidak bisa tidur semalaman dan aku hampir saja kehilangan nyawaku!" Ucap seorang wanita yang tak lain adalah Tari. Dia melempar selembar kain kotor berdiameter kecil namun berukuran lebih panjang, tepat di hadapan mbah Kaji.
"Ck, memangnya kamu pikir pekerjaan ini adalah pekerjaan gampang." Decih pria tua itu sembari menyesap dalam sebatang rokok yang ia sematkan di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Aku bahkan tidak bisa melakukan apa pun kerena para mahluk itu terus saja mengikutiku!" Keluhnya lagi. Dia teringat tentang kejadian beberapa waktu yang lalu saat para mahluk tak kasat mata itu mengganggunya.
***
Ciitt.
Dengan kasar, Tari
Di dalam sebuah rumah bambu yang masih terlihat cukup kokoh. Tari melangkahkan kakinya mengikuti sang dukun kepercayaan, ke dalam sebuah ruangan yang selalu bernuansa temaram. Sebuah ruangan yang selalu terlihat menyeramkan yang di penuhi dengan aroma dupa. Keduanya terlihat tengah serius membicarakan perihal serangan yang akan mereka lakukan. "Kita mulai malam ini." Ucapan mbah Kaji membuat salah satu sudut bibir Tari terangkat. "Benarkah?" Tanyanya dengan sangat antusias. "Hmmm." Seru mbah Kaji singkat. "Siapkan sajen untuk memulai ritualnya." Titahnya yang kemudian diangguki oleh Tari. ***Di saat senja mulai menampakkan parasnya, menghujani sepasang suami istri dengan sinar jingga yang terlihat begitu indahnya. Keduanya pun terlihat tersenyum dan memangut tangan satu sama lain. "Apa kamu menyukainya sayang?" Tanya Bagas yang setengah berteriak dengan ekor matanya yang melirik ke arah belakang pungg
Di tengah-tengah sebuah hutan yang terlarang, asap pengepul menyusup melewati celah-celah dedaunan rindang yang meneduhi hutan tersebut. Hutan yang jarang terjamah oleh manusia karena terkenal dengan keangkerannya itu menjadi tempat yang mbah Kaji pilih untuk memulai rintual hitamnya. Udara sejuk di kawasan hutan, perlahan mulai tercemari dengan baunya wewangian yang berasal dari dupa yang mbah Kaji bakar.Beberapa suara hewan-hewan nokturnal yang pada dasarnya memang lebih banyak beraktivitas pada malam hari, membuat suasana malam ini kian mencekam. Sesekali bunyi ranting-ranting pepohonan yang bergesekan karena hembusan angin malam, membuat jantung siapa pun yang mendengarnya menjadi bergidik ngeri. "Apa semuanya sudah siap?" Tanya seorang pria yang sudah cukup berumur dengan jenggot putih yang menjuntai panjang di dagunya. Pria tua itu tidak lain adalah mbah Kaji. Seorang dukun yang dikenal bisa melalukan apa saja hanya demi uang. Dengan perlaha
Seketika arus di danau semanggi itu kian ganas dan mulai tak terkontrol, membentuk sebuah pusaran gelombang air yang mampu menyeret serta menelan siapa saja yang ada di sana. Tanaman eceng gondok yang memenuhi hampir seluruh permukaan air danau itu pun, ikut terhisap masuk ke dalam puasaran air tersebut. Di saat Tari sedang berusaha untuk mempertahankan tubuhnya agar tidak tertelan pusaran air tersebut, tiba-tiba terdengar suara berat seseorang yang menggema memenuhi seluruh kawasan hutan. "Apa yang kalian inginkan?" Serunya. Tari yang masih fokus membacakan mantranya pun, terhenti seketika. "Suara siapa itu?" Batinnya. "Kami ke sini ingin memberikan persembahan untuk anda, Pangeran Joko Boyo." Seru mbah Kaji. Tari mengerutkan keningnya, dia berusaha untuk menimang-nimang ucapan mbah Kaji. "Pangeran? Apa dia adalah tujuanku datang ke sini?" Batinnya. Arus danau yang mengganas itu pun perlahan mulai menyurut lalu menghilang hingga air dan
Tinggal sedikit lagi, Tari bisa menggapai tangan sang pangeran. Namun di sisa oksigennya yang sudah terbatas, salah satu kakinya malah tergelincir batu dan membuat tubuhnya tenggelam ke dalam danau. Dengan sekuat tenaga, Tari berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya. Kedua kakinya menerjang, kedua tangannya pun mengayun cepat berusaha naik ke permukaan. Namun sia-sia, salah satu kakinya terasa sangat berat seolah ada yang menahannya agar tetap berada di dalam air. Tari berusaha untuk menggerakkan kakinya dengan sekuat tenaga, namun nyatanya itu tidak berhasil dan dia masih berada di tempatnya. Tari mencoba untuk berputar arah dan berenang ke bawah untuk memeriksa kakinya. Semakin Tari berenang ke bawah danau, pencahayaan pun semakin minim hingga membuatnya susah untuk memastikan apa yang telah menahan kakinya. Apa lagi tekanan udara yang kuat di dalam air itu malah membuatnya semakin cepat lelah dan kehabisan oksigen. Tak bisa menemukan apa pun dengan ked
Matahari sudah mulai meninggi, sinarnya pun mulai menyengat menyelimuti permukaan bumi. Meski begitu, kesibukan di salah satu kantor nampak masih tak menyurut, meski pun jam sudah menunjukkan pukul dua siang tetapi mereka masih berkutat dengan pekerjaan mereka di meja masing-masing, berharap bisa menyelesaikan semua pekerjaan mereka sebelum jam pulang datang. Bagas yang tengah fokus dengan komputer di hadapannya, menoleh saat ada seseorang yang tiba-tiba merangkul pundaknya dari belakang. "Gas, nanti kamu ikut kan?" Tanya Dion tiba-tiba. "Hmm, gimana ya?" Ucap Bagas yang nampak sedang berfikir. "Aku gak mungkin ngebiarin Andira pulang sendiri." Serunya kemudian. "Gimana kalau kamu bawa Andira saja." Usul Dion, namun Bagas tak langsung mengiyakan. "Ayo lah, kita kan sudah lama gak ngumpul bareng." Rayunya. "Kalau begitu, aku tanya Andira dulu deh." Jawab Bagas, berinisiatif. "Deal, kita ketemu di temp
Braaakk. Terdengar suara benda terjatuh dan menggelinding dari atas atap. Sayup-sayup telinganya pun mendengar suara tertawa seorang wanita, namun semakin lama suara itu kian menghilang seolah di telan oleh angin. Langit yang semula terlihat cerah pun berubah mendung seketika. Dengan cepat, awan hitam datang menggelayut menutupi birunya langit yang cerah. Suara petir menyambar, saling bersahutan di sertai datangnya angin kencang yang terdengar bergemuruh di telinga. Braakk, braakk, braakk. Daun pintu serta jendela, terdengar saling beradu hantam karena terjangan angin badai tersebut. Tari dan mbah Kaji keluar dari ruangan itu lalu berlari ke arah ruang tamu untuk melihat apa yang sedang terjadi. Sesaat setelah mereka sampai di ambang pintu ruang tamu, angin kencang dengan cepat menghantam tubuh tari yang masih berdiri di ambang pintu. Brugh. Tari terjungkal karena hempasan angin tersebut. Daun pintu yang masih terbuka l
Cciiiiiiiittttttt... Suara decitan ban besar dari truk trailer yang bergesekan dengan aspal, terdengar sangat memilukan di telinga orang-orang di sekitar tempat kejadian. Meski Tari sudah berusaha sekuat tenaga untuk membuka pintu mobilnya, namun anehnya pintu itu seolah terkunci rapat dan tidak mau terbuka. Dia pun akhirnya sudah pasrah jika maut akan menjemputnya sekarang, karena ia benar-benar sudah terjabak di dalam mobilnya sendiri. Peluh yang bercucuran pun kian membasahi seluruh tubuhnya, tangan dan kakinya pun serasa mati rasa dan tidak bisa di gerakkan sama sekali kala truk trailer itu kian mendekat ke arahnya. "Aaarrgh..." Kedua matanya terpejam rapat, Tari tak mampu melihat truk besar itu menghantam tubuhnya sendiri. Cciiiiiiiittttttt... Meski sang sopir truk trailer itu mencoba untuk menghentikan laju mobilnya, namun karena jarak di antara keduanya yang terlalu dekat, hingga sang sopir pun tak mampu untuk me
Entah karena sengaja atau tidak, sang bos tiba-tiba saja menyuruh Andira untuk bekerja lembur merapikan semua berkas yang akan dia bawa ke rapat direksi besok. Padahal sebelumnya Andira sudah merapikan semua berkas itu dan menyusunnya rapi sesuai dengan urutannya. Tapi nyatanya, saat ini semua berkas itu berserakan di ruang kerja sang bos.Alhasil, rencana Andira yang hendak pergi untuk menemui sang suami pun batal. Hingga petang pun tiba, pekerjaan Andira belum juga selesai. Beruntung saat itu ada Sisi yang kebetulan belum pulang, dia adalah salah satu teman kerja Andira yang lumayan dekat dengannya. Dia bahkan mengusulkan diri untuk membantu Andira menyusun semua berkas itu. Hingga akhirnya empat puluh menit kemudian, pekerjaan mereka selesai dan tiga tumpuk berkas pun sudah rapi di atas meja.Andira bergegas untuk segera menemui sang suami yang sudah lama menunggunya di lobi. Namun saat bertemu pun dia justru di suguhkan dengan wajah sang suami yang terlihat s