Andira sudah kehabisan tenaga, rasa sakit yang ia rasakan di lehernya semakin terasa mengerat. Lehernya pun seakan mau patah dalam hitungan detik saja. Sekeras apa pun ia berusaha untuk membaca Ayat-ayat Suci Al-Quran, maka lehernya pun akan terasa semakin sakit dan sesak. Andira tak menyerah begitu saja, dia tetap berusaha untuk berteriak dan menyuarakan asma Allah dalam hatinya.
"Aaaaaarrrgh..., astaghfirullah." Andira terduduk dan membuka kedua matanya. Nafasnya tersengal-sengal, dia mengedarkan pendangannya ke seluruh sudut ruangan dengan wajah yang heran. Ruangan bernuansa putih dengan satu tempat tidur itu nampak tak asing baginya.
"Sayang, kamu sudah sadar?" Seorang wanita paruh baya mengalihkan perhatian Andira, wanita itu mendekatinya dengan wajah yang penuh dengan kekhawatiran. "Dokter, Dokter." Teriaknya kemudian.
Sementara itu Andira masih terdiam di atas ranjangnya, dia mengumpulkan sedikit demi sedikit kesadarannya dan berusaha un
Terhitung sudah empat hari berlalu sejak Bagas dirawat di rumah sakit, namun sampai saat ini dokter masih mengalami kesulian untuk menentukan diagnosa apa yang tepat untuknya. Berbagai macam pemeriksaan pun sudah dia lakukan, mulai dari pemeriksaan fisik menyeluruh, pemeriksaan foto rontgen, sampai pemeriksaan elektrokardiogram pun ia lakukan. Namun semua hasil pemeriksaannya tidak ada yang mengarah pada penyakit tertentu. Bahkan hasil grafik aktivitas kelistrikan jantung yang direkam dalam waktu tertentu dalam pemeriksaan EKG (elektrokardiogram) itu pun masih berada di batas normal. Dokter pun putus asa, dia bahkan menyarankan agar Bagas segera di rujuk ke rumah sakit yang lebih besar saja. Rumah sakit yang memiliki alat dan fasilitas yang lebih memadai dari rumah sakit itu. Namun saat dokter itu konsultasi tentang keadaan Bagas saat ini pada salah satu dokter spesialis jantung di sana, mereka pun angkat tangan. Menurut mereka, kondisi Bagas sa
Seperti biasa saat pagi menjelang, para ibu-ibu komplek selalu berkumpul di depan rumah mereka menunggu seseorang yang selalu membantu mereka untuk mengisi kebutuhan dapurnya, dia adalah mang Jaka si tukang sayur.Sama halnya dengan Leni, dengan mengenakan daster kesukaannya ia sudah nangkring sejak tadi di depan rumahnya untuk menunggu kedatangan si mang Jaka."Pagi Bu Leni, sendirian aja nih? Mantunya nggak ikutan belanja sayur?" Tanya Ningsih yang tiba-tiba saja datang, entah dari mana."Waalaikumsalam, Bu Ningsih. Iya Bu, Dira sudah berangkat kerja tadi pagi." Jawab Leni sambil tersenyum."Oh ya? Si Bagas ke mana? Kayaknya aku sering liat dia di rumah, emang dia nggak ngantor?" Tanyanya. Seperti biasa, sikap keponya selalu saja muncul saat melihat sesuatu yang tak biasa dari para tetangganya."Iyaa Bu. Bagas baru saja sembuh dari sakit, jadi sekarang istirahat dulu di rumah." Jelas Leni."Sakit? Sakit apa? Tapi ak
"Aaahh. Akhirnya selesai juga." Andira mengangkat kedua tangannya, meregangkan seluruh ototnya yang kaku karena lelah seharian bekerja. Meski matahari belum terbenam, tapi Andira sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Sebelumnya dia memang sudah meminta ijin pada Kevin agar bisa pulang lebih awal karena ada kepentingan. Dia segera merapikan barang-barang di mejanya dan membawa semua berkas yang akan dia berikan pada bosnnya.Tok, tok, tok."Masuk.""Maaf Pak, saya mau berikan semua berkas yang berkaitan dengan perusahaan anak cabang." Ucap Andira sopan sembari menyodorkan berkas yang dia bawa ke hadapan Kevin."Hmmm. Letakkan di situ saja, nanti aku periksa. Apa kamu mau pulang sekarang?" Tanya Kevin tanpa menatap sekretarisnya itu."Iya Pak. Apa Bapak butuhkan sesuatu?" Tanya Andira."Tidak ada, kamu sudah boleh pulang." Titahnya kemudian.Setelah mendapat titah dari sang atasan, Andira pun langsung pam
Mentari perlahan mulai terbenam, malam pun kini datang menyambut bulan. Semangat Bagas yang awalnya menggebu-gebu, ingin segera pergi menemui teman ibunya kini tiba-tiba sirna dan digantikan dengan rasa was-was yang kembali menghantui dirinya. Namun Andira dan Leni tetap berusaha untuk membujuknya, hingga akhirnya Bagas bersedia ikut dengan mereka. Mereka memutuskan untuk pergi bertiga karena malam ini Ema harus lembur di kantornya. Setelah tiga puluh menit menempuh perjalanan, ketiganya akhirnya sampai di tempat tujuan. Mereka terkejut, sesaat setelah turun dari mobil mereka malah disambut dengan pemandangan yang membuat seluruh bulu kuduk mereka merinding. Tubuh ketiganya pun membeku menatap sebuah rumah tua yang berukuran cukup besar berdiri tegak di hadapan mereka. "Ibu yakin nggak salah alamat?" Tanya Andira. "Entahlah, tapi jalan dan nomor rumahnya sama kok dengan alamat yang dikirim temen Ibu." Jelas Leni pada anak menantunya. Sejen
Sugeng rawuh Mbah." (Selamat datang Mbah.) Suara seseorang memecah kekaguman Andira dan Leni, hingga keduanya pun menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria kurus yang mengenakan sarung serta peci terlihat melangkah menuruni tangga. Seikat tasbih yang terbuat dari kayu cendana juga nampak mengalung di telapak tangan kanannya. Keduanya mengerutkan kening, menatap pria yang terlihat sedikit lebih muda dengan pria berambut putih yang menyambut mereka tadi. "Mbah? Siapa yang dia panggil Mbah?" Batin Andira. Seutas senyum nampak tersemat di wajah keriput pria bersarung itu, dia menyadari kebingungan yang dirasakan Andira dan Leni. "Silakan duduk Bu." Ucapnya kemudian. "Eh, I-iya Pak." Andira terperanjat hingga tersadar dari lamunannya. Dengan bantuan ibu mertuanya, dia kembali memapah tubuh lemah suaminya memasuki rumah megah tersebut. Baru beberapa langkah kakinya memasuki rumah itu, Bagas kembali mengerang kesakitan. Sel
***Hawa mistis mulai menyelimuti salah satu rumah di Desa Kenanga. Di dalam sebuah ruangan yang bernuansa gelap, seorang wanita berambut ikal terlihat duduk bersila di depan sebuah meja kecil yang penuh dengan berbagai macam sajen yang di perlukan untuk memulai ritualnya.Bau menyengat yang berasal dari dupa yang ia bakar, mulai menyeruak memenuhi ke seluruh ruangan. Suasan ruangan itu pun terasa kian mencekam, kala pencahayaan yang ia gunakan sangat minim yang hanya berasal dari sebuah lampu kecil yang tergantung di langit-langit ruangan tersebut."Kamu pikir, kamu bisa bahagia setelah apa yang kamu lakukan padaku?" Ucap wanita yang tak lain adalah Tari. Sebuah seringai licik pun nampak tersemat di ujung bibirnya.Tangan kanannya kembali bergerak untuk menaburkan dupa pada bara arang yang ada di hadapannya. Lalu ia meraih buntalan kain yang berwarna putih yang ia gunakan untuk membungkus sebuah keris kecil berwarna emas yang ia dapatka
"Bagas!" Leni tak mampu menahan diri saat putra semata wayangnya kini semakin bersikap di luar nalar. Jantungnya pun seolah berpacu semakin cepat lagi, ia tak percaya dengan apa yang di lihat oleh kedua matanya sendiri. Bagas, putra semata wayangnya kini tengah melayang-layang di udara. Kedua matanya berubah menjadi merah dan mendelik tajam ke arah Pak Sungkono. Yang lebih membuat dia terkejut lagi, entah dari mana pak sungkono pun kini terlihat sudah menggenggam sebuah cambuk raksasa yang terlihat bersinar seolah terbuat dari lapisan emas. Terlebih ujung dari cambuk itu tengah melilit di salah satu kaki putranya. Meski begitu, tak nampak rasa sakit sedikit pun di wajah putranya saat ujung dari cambuk itu kini melingkar kuat di salah satu pergelangan kakinya. Yang ada, Bagas malah terlihat menyeringai dan sesekali tertawa cekikikan dengan suara kecilnya yang tergengar lebih mirip sengan suara seorang wanita. Semakin lama didengar, suara cekikikan
"Aku tahu kamu sembunyi di dalam!" Hardik pak Sungkono tajam. Dia kemudian meminta sesuatu pada pak Yo. Lalu pak Yo pun segera memberikan sebuah piring kecil yang terlihat berisi sesuatu di dalamnya. "Ini merica dan minyak zaitun." Paham akan wajah kebingungan Andira dan Leni, Pak Sungkono pun menjelaskan perihal isi piring yang dipegangnya. "Hah. Merica? Buat apa?" Batin Andira. Begitu pun dengan Leni, dia mengerutkan keningnya lantaran juga merasa aneh dengan salah satu bumbu dapur yang pak Sungkono bawa. "Ini bukan merica biasa. Merica ini sebelumnya sudah aku kasi dengan amalan-amalan di dalamnya. Jadi siapa pun yang menyentuh merica ini, dia akan merespon bahkan berteriak karena kesakitan jika memang ada yang tidak beres dengan tubuhnya." Jelasnya lagi pada Andira dan Leni. "Masak iya sih, merica doang bisa ngusir hantu." Batin Leni menatap tak percaya dengan apa yang pak Sungkono jelaskan. "Aaarrggh." Benar saja.