Baru saja menutup telpon dari Pak Ari, ponsel kembali berdering. Sedikit terhenyak saat diri menatap nama yang tertera di layar.Mas Raka.Segera saja kuangkat. [Assalamualaikum, Dila.][Waalaikum salam, Mas.][Dila, kamu dimana?][Di rumah, Mas. Ada apa, Mas?][Saya kirim sesuatu, kamu coba cek ya.][Ada apa, Mas?]Entah kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak.[Dicek aja dulu, setelah itu Mas telpon balik.][Iya, Mas.]Aku segera membuka pesan whatshapp yang di kirim Mas Raka.Viral Berita Kalimantan Post.R (40 th) mati mengenaskan di kamar rumahnya. Tersangka diduga baru saja selesai pesta sabu bersama tiga orang teman lain yang saat ini masih dalam investigasi pihak kepolisian. R sebelumnya juga menjadi tersangka atas tindakan pengeroyokan berencana yang dilakukan pada sasarannya yang berinisial W (40 th).Kasus yang menjerat R sebelumnya diduga bermotif dendam. Dimana R ternyata sudah lama memendam cinta pada istri W yang saat ini bertempat tingga di Jakarta. Menurut pengakuan W
POV WisnuAku mengutuk lidah ini yang tak pernah bisa menjaga tuturnya.Astaghfirullah! Padahal kedatanganku kemari untuk meminta Dila supaya mau menarik surat gugatan cerainya. Tapi yang terjadi, kenapa justru aku memberi ucapan selamat atas hubungannya dengan lelaki lain. Pasti Dila akan semakin membenciku.Bodoh!Aku bahkan tak lebih pintar dari anak TK. Kini diri hanya bisa menatap kepergian Dila dan anak-anak dengan hati begitu sakit. Ku gosok dua tangan, masih jelas terasa dekapan Hamid. Ya Allah, mungkin putra sulungku itu berpikir bahwa papanya tak perduli sama sekali pada keadaan mereka. Tak pernah memberi kabar, bahkan tak pernah mengunjungi. Sebenarnya yang menahan langkah ini bukan karena penyakit yang kuderita. Melainkan karena kupikir memberi waktu pada Dila akan membuat hatinya tenang dan tidak terburu-buru membawa perceraian ini ke pengadilan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.Papa benar-benar kehilangan moment untuk mendampingi kalian, Nak. Maafkan Papa, Hamid.
Perasaan Dita mulai tak tenang, dia tidak ingin Fara menjadi yang ketiga dalam rumah tangganya bersama Wisnu.Aku harus benar-benar memastikan bahwa suamiku tidak akan tergoda pada perempuan manapun. Sampai di rumah, Dita sedikit gugup karena tadi langsung pergi tanpa ijin terlebih dahulu pada Wisnu. Dia membuka pintu dan mendapati sang suami sedang berlatih berjalan tanpa menggunakan tongkat. Antara bahagia dan cemas, Dita langsung menyapa."Mas sudah lancar berjalannya?"Wajah Wisnu seketika teralihkan. Dia menatap sang istri dengan tatapan tajam."Kemana aja tadi kamu pergi? Kenapa langsung menghilang gitu aja?""Aku tiba-tiba ada keperluan yang mau dibeli, Mas.""Lalu kenapa tidak memberitahu dahulu. Aku mencarimu.""Aku minta maaf, Mas.""Katakan kemana tadi kamu pergi?""Aku ke supermarket, Mas.""Terus saja berbohong. Kupikir setelah semua yang terjadi pada Dila, kamu akan berubah! Tapi apa yang terjadi, kamu terus berbohong, apa kebiasaan itu sudah mendarah daging padamu, Dit
Dila menyusul Pak Ari keluar rumah. Sama seperti lelaki itu, iapun sangat terhenyak dengan kehadiran Wisnu.Tapi, tidak sama halnya dengan Ari dan Dila, Wisnu justru begitu cemburu mengetahui Ari bahkan sampai masuk ke rumah ibu mertuanya.Rasa itu seketika ingin menuntunnya untuk pergi, tapi karena mengingat tujuan utama adalah ingin bicara dengan Dila di depan ibu mertua, terpaksa lelaki itu menyimpan rasa cemburunya serapat mungkin.Di hadapan, Pak Ari memilih mengesampingkan diri hingga Wisnu bisa menatap mantan istrinya tanpa halangan. Tapi ternyata, anak-anak yang juga ikut keluar seketika berhamburan begitu melihat papanya ada di depan rumah.Dalam rangkulan papanya, mereka tampak bahagia, terlebih Hamid yang merasa begitu senang dengan kehadiran sang ayah sebelum akhirnya akan menetap di pesantren."Maaf ya, Papa baru bisa datang sekarang.""Nggak papa, Pa. Papa mau ikut ngantar Hamid 'kan?"Wisnu terdiam sejenak tapi detik berikutnya ia mengangguk dan mengusap kepala sulungny
Satu bulan kemudian ...Aku menarik napas lega, hari ini palu ceraiku dari Mas Wisnu dijatuhkan pengadilan agama. Bahagia? Mungkin jika dilihat dari pandangan manusia, iya aku bahagia. Tapi di dalam sini, masih berusaha untuk menemukan kebahagiaan yang sempurna.Bagaimana tidak, membangun rumah tangga belasan tahun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi untuk melepas hanya dalam waktu satu bulan selesai. Rasanya tak adil, tapi inilah pilihan.Selama persidangan, dua kali pengadilan membuka jalur mediasi, kedua kalinya Mas Wisnu tidak hadir. Kupikir ini adalah salah satu keinginanku yang dipenuhi lelaki itu, yaitu mempermudah proses perceraian.Langkah ini kini menuruni tangga hingga sampai di halaman pengadilan agama. Dalam sidang ini aku tidak mengajak siapapun, kecuali Mama dan Fanya. Pak Raka pun tak tahu pasti, sebab aku hanya permisi dengan alasan kurang sehat.Meski kututup rapat, tapi ada beberapa yang sudah mendapatkan informasi perihal perceraian ini. Hingga menjadi s
Setelah menimbang dengan sangat baik, akhirnya aku beranikan diri menemui Mas Raka dan menyampaikan keinginan diri ini."Jadi benaran kamu mau resign?"Suara Mas Raka terdengar berat. Kuanggukkan kepala menjawab pertanyaan tersebut."Tapi kenapa, Dil?""Aku ingin pindah ke Surabaya Mas, tinggal bersama Mama di sana. Untuk seterusnya mau buka usaha produksi hijab."Wajah Mas Raka menyiratkan kekecewaan. Dia tampak menarik napas berat."Aku tak mungkin menahan apa yang sudah menjadi keinginanmu, Dila.""Terima kasih Mas, atas pengertiannya. Kalau begitu saya langsung pamit.""Tunggu sebentar, Dila."Tubuhku yang sudah bangkit, kini kududukkan kembali."Aku minta waktumu sebentar saja."Aku mengangguk."Dila, mungkin ini terkesan begitu buru-buru, tapi sungguh aku takut kehilangan kesempatan untuk mengutarakannya. Seperti dahulu aku kehilangan kesempatan untuk meminangmu sebab kamu terlebih dahulu dipinang Wisnu."Wajahku seketika memandangnya."Dan saat ini, aku tak ingin lagi kecolonga
"Ada apa ini?"Mataku segera tertuju pada Mas Wisnu. Dan betapa terkejutnya diri ini ketika menatap Dita pun ada di sini?Kenapa Mas Wisnu tak memberitahu jika dia datang tak sendirian?Aku mencoba menarik napas panjang."Faro kenapa nangis, Nak?""Tadi Tante itu mau ngasih mainan ke kita, Ma. Terus aku nggak mau nerima. Jadi mainan sama Faro pun aku kembalikan."Wajahku kembali menatap Dita yang tampak bergeming."Kenapa kamu nggak mau menerima pemberian Tante ini, Nak?""Tante ini jahat, Ma. Dia yang udah membuat Papa pergi dari rumah kita."Jantung ini menyentak mendengar ucapan Safia. Bagaimana mungkin kata-kata itu bisa keluar dari mulut bocah yang baru duduk di kelas tiga SD?""Tante tidak pernah merebut Papa kamu, Nak. Kamu salah paham."Dita mencoba membela diri. Sedang Mas Wisnu terlihat begitu menyesal. Aku tak akan membela Dita, sebab jelas kebenarannya dialah yang sudah membuat suamiku pergi."Aku minta kamu pergi, Dit.""Apa?"Dia tercengang, tak ingin perduli. Wajah kual
"Oke selesai, Mbak."Kania sang fotografer memberitahu padaku bahwa pemotretan hari ini selesai."Alhamdulillah, bagaimana Mbak hasilnya?""Bagus, padahal Mbak Dila bukan model ya, tapi hanya butuh waktu sebentar, hasilnya langsung keren. Mbak Laras pasti seneng ini.""Masya Allah, benar Mbak? makasih banyak, ya.""Sama-sama. Oya, pemotretan selanjutnya In Syaa Allah akan kita laksanakan lusa. Mbak ada kendala nggak?""In Syaa Allah bisa Mbak. Tapi tempatnya dimana?""Kata Mbak Laras di kawasan Jakarta aja, biar gampang.""Oke saya siap, Mbak.""Oke, yaudah aku pamit duluan ya.""Hati-hati, Mbak."Selepas kepergian Mbak Kania, aku segera menuju ruang ganti pakaian. Tas yang kutitip pada Lusi segera kuambil balik."Oya Mbak, tadi ada yang nelpon tanyain Mbak namanya Wisnu."Diri terhenyak mendengar apa yang dikatakan Lusi, kenapa lagi Mas Wisnu menelpon?"Mbak bilang saya lagi pemotretan?""Iya, Mbak.""Oh yaudah, makasih ya Mbak."Aku segera berpamitan padanya, sampai di parkiran sebe