Dwita segera membuka tasnya, karena itu adalah suara dering ponselnya.“Halo, Ma,” sapa Dwita.“Kamu dimana?” tanya sang mama.“Lagi di mall.”“Sama siapa?”“Teman. Ada apa, Ma?” Dwita penasaran.“Kamu tahu nggak kalau Alan sudah resmi bercerai dengan perempuan tidak tahu diri itu. Tadi waktu Mama masuk ke kamar Alan, Mama melihat surat perceraian mereka. Yang Mama heran, kenapa Alan nggak cerita sama Mama ya? Alan cerita sama kamu nggak? Tapi entah kenapa Mama merasa sangat senang…” Dewi nyerocos tanpa memberi kesempatan Dwita untuk berbicara.“Ma, aku sudah tahu. Sudah ya, aku mau jalan lagi, nih.” Dwita langsung menutup panggilan itu. Wajahnya tampak sangat kesal. Ia kesal dengan Dewi, karena selalu membenci Aira dan sering menyebutnya dengan kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan.Aira ikut mendengarkan Dwita berbicara dengan seseorang di telepon. Tapi ia yakin kalau yang menelpon Dwita tadi itu mamanya. Soalnya Aira mendengar Dwita menyebut mamanya. Hati Aira berdenyut nyeri
Tok! Tok! Pintu kamar Dwita diketuk dari luar.“Boleh aku masuk?” tanya Alan dari balik pintu.“Boleh.” Dwita menjawab dengan singkat.Alan masuk ke dalam kamar Dwita, kemudian duduk di tepi tempat tidur.“Pasti Mas Alan mau nanyain tentang Mbak Aira,” cetus Dwita.Alan hanya tersenyum.“Apa yang mau Mas Alan tanyakan?” Dwita langsung to the point.“Aku penasaran, kok kamu bisa pergi sama Aira? Bukankah selama ini hubungan kalian kurang baik?”“Manusia itu bisa berubah, Mas. Aku bisa berubah menjadi baik. Dulu memang kurang baik, sekarang sudah baik dan dekat. Beda dengan Mas, dulu baik dengan Mbak Aira sekarang beda.”“Nggak usah menyindirku, kok bisa berubah? Sedangkan Mama dan Trisa masih kayak dulu.” Alan semakin penasaran.“Setelah apa yang aku alami, aku banyak merenung dan berpikir. Ujianku belum sebesar Mbak Aira, tapi aku sudah merasa paling menderita. Aku tidak bisa membayangkan seandainya aku ada di posisi Mbak Aira. Akhirnya aku putuskan untuk minta maaf sama Mbak Aira ata
Firda masih tersenyum seperti orang yang sedang jatuh cinta. Ketika ia secara refleks melihat ke belakang, ia sangat terkejut dengan sosok seseorang yang tidak jauh dengannya.“Sudah ya? Ada yang mengawasiku,” bisik Firda sambil mengakhiri pembicaraan.Firda menjadi salah tingkah, ia pun berusaha untuk menguasai keadannya.“Baru datang ya? Sama siapa?” tanya Firda dengan gugup.“Sudah dari tadi, sampai aku bisa mendengarkan semua pembicaraanmu,” sahut Malvin dengan ketus. Ia masih syok dengan apa yang ia dengar dari tadi. Ia tidak menyangka jika kakaknya itu sudah melakukan hal-hal yang diluar kenormalan.“Pantas saja kalau Papa sampai syok melihat kelakuan Mbak Firda. Aku saja jijik mendengarnya, benar-benar memalukan!” lanjut Malvin.“Kamu nggak usah ikut campur urusanku!” Firda menjawab dengan ketus.“Aku tidak mencampuri urusanmu. Tapi kalau sudah berhubungan dengan Papa, berarti aku perlu ikut campur! Coba pikirkan, Mbak, bagaimana dampaknya ke perusahaan Papa. Jangan hanya memik
Ceklek! Pintu ruangan terbuka. Seorang dokter dan dua orang perawat masuk ke ruangan.“Selamat siang, Pak Hendrawan. Bagaimana kondisinya?” tanya dokter itu.“Saya sudah sehat, Dok. Kapan saya bisa pulang?” sahut Hendrawan.Dokter yang sedang memeriksa kondisi Hendrawan, tersenyum mendengar ucapan Hendrawan. Dengan telaten dokter itu memeriksa secara detail.“Semangat sehat ya, Pak? Sepertinya kondisi Bapak sudah stabil. Apakah Bapak memang sudah ingin pulang?”“Tentu saja, Dok! Sudah bosan di rumah sakit.”“Haha, saya juga sudah tidak mau bertemu dengan Bapak di ruang perawatan ini. Saya harap nanti kita bertemu di luar sana dan Bapak dalam keadaan sehat.” Dokter tersenyum.“Baiklah, Bapak bisa pulang hari ini, tapi tetap harus menjaga makanan dan pikiran Bapak. Jangan terlalu banyak memikirkan yang berat-berat. Nanti konsultasikan kesehatan dengan dokter Ilham. Silahkan urus administrasi dan ambil obat di apotik.” Perawat memberikan sebuah buku kecil pada dokter. Dokter menuliskan
Drtt…drtt..suara ponsel berdering. Vani dan Aira saling berpandangan.“Ponselku yang bunyi,” kata Aira sambil tersenyum, kemudian ia mengambil ponsel yang masih berada di dalam tasnya.Aira kaget melihat nama yang tertera di ponselnya. Dengan ragu-ragu, ia menerima panggilan itu.“Assalamualaikum.” Aira menyapa sang penelepon.“Waalaikumsalam, Aira. Apa kabar?”“Alhamdulillah, kabar baik, Mas. Mas sendiri gimana kabarnya?”“Kabar baik juga. Bagaimana Kenzo, sehat kan?”“Kenzo sehat, Alhamdulillah.”“Syukurlah kalau begitu. Begini, Aira, boleh aku minta nomor rekening mu?”“Untuk apa, Mas?” Aira mengernyitkan dahinya.“Aku ada sedikit rezeki untuk Kenzo. Nggak banyak, sih.”“Apa Mbak Amel tahu?” tanya Aira lagi, terdengar nada kekhawatiran dari suara Aira.“Kamu nggak usah mikirin itu. Semua itu urusanku dengan Amel. Kirim sekarang ya, aku tunggu.” Fariz langsung mengakhiri pembicaraan.Tanpa pikir panjang Aira langsung mengirimkan nomor rekeningnya.“Siapa Mbak?” tanya Vani.“Mas Fari
Drtt…drtt… Ponsel Gita berdering, ia melihat ke layar ponsel itu. Wajahnya menjadi berbinar melihat nama yang tertera di layar ponsel.“Halo Mas,” sapa Gita dengan suara manjanya.“Dimana sekarang?” Gita heran dengan suara Derry yang terdengar datar dan kaku.“Makan diluar bersama Firda.”“Bisa pulang sekarang?”“Sebentar lagi ya, Mas. Menyelesaikan makan dulu. Kenapa? Sudah kangen ya? Sama, aku juga sudah sangat kangen.” Gita berkata dengan suara yang mendesah, mencoba menggoda Derry.Firda hanya tersenyum melihat Gita yang seperti ABG sedang jatuh cinta. “Iya, buruan pulang ya?” lanjut Derry.“Oke, Mas.” Derry langsung mengakhiri pembicaraan.“Aneh,” kata Gita dengan agak kesal, wajahnya terlihat cemberut.“Kenapa?” tanya Firda.“Suara Mas Derry kok aneh, tidak seperti biasanya. Datar dan kaku, nggak ada mesra-mesranya. Atau hanya perasaanku saja, ya?” “Siapa tahu ia bicara seperti itu karena disuruh istrinya. Mungkin saja istrinya sudah tahu tentang hubungan kalian. Makanya ia
Gita terduduk lemas di lantai, ia menangis tersedu-sedu. Meratapi nasibnya sendiri.“Apa yang harus aku lakukan? Aku harus tinggal dimana?” Gita beranjak dari duduknya, kemudian ke kamar untuk berganti pakaian dan mulai mengemas pakaiannya. Sambil bercucuran air mata ia mengambil satu persatu pakaian yang ada di lemari untuk dimasukkan ke dalam tas koper.“Dasar laki-laki pengecut, katanya tidak mencintai istrinya. Tapi malah tunduk bagaimana kerbau yang dicucuk hidungnya. Sialan sekali, kenapa aku sampai terbujuk rayuannya.”Cukup lama ia mengemas pakaiannya, isi lemari hampir kosong. Gita meraih ponselnya untuk menelpon Firda, siapa tahu Firda bisa membantunya mencari tempat untuk tinggal.“Kemana sih Firda, dari tadi aku menelpon tidak diangkat juga,” kata Gita dengan kesal. Ia pun mencoba untuk menghubungi Firda lagi. Tapi lagi-lagi tidak ada respon.“Aku harus menghubungi siapa lagi? Temanku hanya Firda saja. Kalau menghubungi teman kantor, nanti banyak yang tahu, akhirnya malah
Drtt…drtt suara ponsel berdering.“Maaf, saya menerima telepon dulu.”Irwan langsung mengangkat telepon.“Iya, Pak. Saya bersama Bu Aira. Oke!” Panggilan telepon pun berakhir.“Bu Aira, kita dipanggil Pak Bara,” kata Irwan ketika selesai menelpon.“Baik, Pak. Mas, aku duluan ya? Terima kasih untuk traktirannya,” pamit Aira.“Iya, Dek. Sama-sama.”“Kami duluan Pak Alan.” Irwan ikut berpamitan.Alan hanya mengangguk dan berusaha untuk tersenyum walaupun terpaksa. Ia memandangi kepergian Aira dan Irwan dengan perasan yang tidak menentu.“Laki-laki hidung belang! Aku tahu kalau Irwan itu berusaha mendekati Aira. Semoga saja Aira tidak mau.” Alan hanya bisa mengomel dalam hati. Ia merasa kesal dan sedikit cemburu melihat Irwan dan Aira yang sepertinya sangat akrab.Alan tidak menyadari kalau ia sendiri seorang laki-laki hidung belang. Menyelingkuhi istri demi mantan pacar. “Sepertinya Pak Alan tidak menyukai kedatanganku tadi,” kata Irwan ketika berjalan bersama dengan Aira.“Masa sih, Pa