Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 45
Jangan Keluar!
"Bagaimana bisa kamu dengan cepat menebus sertifikat ini?" tanya Ibu mertua penuh selidik. Sebab beliau tak percaya dengan Mas Seno yang hanya dalam waktu beberapa bulan saja sudah bisa menebus kembali sertifikat rumah yang telah digadaikan.
"Saya gadaikan ini di teman saya, Bu. Jadi setelah punya uang bisa langsung diambil kembali. Beda lagi kalau digadaikan di koperasi atau di bank, ngga bisa ditebus dengan cepat." Wajah Mas Seno masih saja terlihat lesu. Entah apa yang sedang beliau pikirkan padahal sertifikat sudah berhasil ia kembalikan dan kini Ibu mertua pun mengembalikan sertifikat rumah yang ditempati Mas Seno.
"Bagus kalau begitu. Itu berarti kamu berhasil mendidik istrimu untuk tidak boros sehingga uangmu bisa dipakai untuk menebus kembali sertifikat ini."
"Ibu salah." Wajah Mas Seno kia
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 46Malam Ini Milik Kita"Nggak mau, Pak. Malu katanya." Mas Damar tiba-tiba menyahut."Izin keluar ya, Pak." Lagi-lagi suamiku itu bersuara. Mendengar itu wajahku rasanya menghangat. Bibirku tiba-tiba saja menyunggingkan senyum. Senyum merekah yang keluar dengan sendirinya."Nggak usah minta izin, ya sudah buruan berangkat. Jangan khawatirin anak-anak mumpung masih ada Bapak dan Ibu di sini, puas-puasin berduaan dulu. Kalau Bapak dan Ibu sudah pulang beda lagi ceritanya," ucap Bapak sambil terkekeh. Beliau yang kebetulan lewat depan kamar langsung berhenti saat melihatku berada di luar kamar.Bapak pun kembali berlalu meninggalkan aku dan Mas Damar yang masih berdiri di depan pintu. Tatapan mata Mas Damar seakan mengejekku karena tak percaya dengan ucapannya tadi."Ya sudah buruan ganti ba
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 47Dua Hati BersatuSebuah kamar tipe superior menjadi pilihan Mas Damar untuk kami menikmati indahnya malam. Kamar dengan singlebed berukuran besar yang berada persis di tengah ruangan. Di sisi kiri kasur itu terdapat sebuah kursi besar menghadap dinding kaca yang menampakkan pemandangan kota Surabaya malam ini.Dari dinding kaca itu dapat kunikmati kilatan cahaya lampu dari berbagai gedung yang menjulang. Cahaya bintang pun tak kalah berkilaunya, membuat mataku enggan beranjak dari sisi dinding ini.Sebuah kursi besar nan empuk menjadi tempatku meletakkan bobot tubuh untuk menikmati indahnya malam ini. Sungguh aku tak pernah melihat pemandangan segemerlap ini selama hidupku. Juga baru kali ini kuinjakkan kaki dalam sebuah gedung dengan banyak kamar di dalamnya. Bahkan saat dengan Mas Bima pun aku tak pernah diajaknya.
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 48Amarah Yang Mereda"Tolong, Mas. Beri aku kesempatan sekali lagi!" Suara perempuan itu terdengar pilu. Air matanya tampak mengalir membasahi pipi mulusnya. Kata-katanya terbata karena isakan yang ditimbulkan oleh tangisannya.Aku menarik tangan Mas Damar untuk berhenti sejenak. Memberikan ruang pada dua orang di depan mataku untuk menyelesaikan pembicaraannya. Bukan menguping. Aku hanya tak ingin membuyarkan perasaan kedua orang tersebut yang sepertinya terlanjur hanyut oleh perasaan mereka masing-masing."Aku sudah memberimu waktu untuk berubah. Tapi ternyata kamu mengabaikan peringatanku. Aku cinta padamu tapi sikapmu membuatku tersiksa."Lelaki itu menundukkan kepalanya. Tampak kesedihan tergambar jelas dari raut wajahnya yang menunduk. Serpihan kaca memenuhi kedua kelopak matanya, namun kepala itu buru-buru mendongak aga
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 49Adaptasi"Saya balik dulu ya, Bu?" pamitku pada Ibu mertua. Wajah Ibu masih lemas, beliau hanya bisa pasrah saat aku pamit undur diri dari hadapannya."Iya, hati-hati ya?" jawabnya lemah.Mas Seno kemudian masuk bergabung bersama Ibu di kamar. Ia kemudian berdiri di sebelah ranjang tempat Ibu berbaring. Mas Seno yang sekarang tampak lebih tegas dari pada Mas Seno yang dulu. Dia yang dulu tampak tunduk pada kemauan istrinya. Sedangkan dia yang sekarang lebih terlihat tegas dan keras. Mungkin ini karena ujian dalam hidupnya yang telah membuatnya terpuruk dalam lembah hutang hingga kini ia mampu bangkit dan berbenah diri.Bagus begitu. Karena hanya dia satu-satunya harapan Ibu mertua sebagai tumpuan hidup. Meskipun Ibu sudah memiliki uang pensiunan tetapi harta saja tak cukup untuk menemani hari tuanya. Ibu masih bu
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 50Bunuh DiriPoV Damar Ar Rasyid"Pak, ada masalah di kantor."Sebuah pesan kubaca dari orang kepercayaanku di kantor. Dia Randi. Dia adalah teman baik sekaligus orang kepercayaanku di perusahaan yang Papa pasrahkan padaku."Tunggu, aku akan datang."Send.Setelah membalas pesan dari Randi aku mengajak Dewi balik dari rumah sakit tempat orang tua Mas Bima di rawat.Tiba-tiba saja aku kepikiran untuk mengantar orangtua Dewi pulang ke kampung. Aku rindu suasana kampung Dewi.Dulu saat pertama kali bertemu Dewi di masjid dekat rumahnya, aku langsung terpesona oleh kecantikannya. Aku yang hanya sedang menunggu temanku untuk salat, hanya bisa terpaku melihat wajahnya yang cantik alami lewat depan mobil yang kutumpangi. Rambutnya yang ia
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 51CemburuPov Damar Ar Rasyid"Menikah?""Iya! Kamu masih harus bertanggung jawab atas semua ini! Awas saja jika sampai terjadi hal-hal yang tidak saya inginkan!""Dia bunuh diri atas kehendaknya sendiri, bagaimana saya yang harus bertanggung jawab?""Tapi dia bunuh diri karena penolakan kamu terhadapnya!""Maaf Tante, bagi saya menikah bukan seperti membeli sebuah barang! Lagi pula saya sudah menikah!"Wajah Mama Sindy tampak terkejut mendengar penuturanku. Jelas saja karena pernikahan yang mereka bayangkan tidak terjadi pada pernikahan yang aku lakukan. Sindy pun memejamkan mata. Genangan air di sudut matanya sudah tak terbendung lagi. Meskipun begitu aku sama sekali tidak terenyuh. Mengingat sikap nekatnya yang berbahaya. "Apa maksud kamu? Kamu pikir anak saya barang?""Kalau begitu jangan memaksa saya untuk melakukan hal yang tidak saya inginkan!""Jangan bersikukuh dengan kehendakmu yang bisa membahayakan nyawa orang lain!""Jangan hanya berpiha
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 52Ada Apa Dengan Sindy? Tiba-tiba Mas Damar menggenggam jemariku erat. Jari-jariku berada dalam sela-sela jemari tangannya yang kekar. Wajah itu tampak santai, tak sedikitpun menunjukkan rasa kesal atau apapun. Namun jemarinya kian erat menggenggam jemariku. "Tinggal di mana sekarang, Wi?" tanya Mas Firman lagi. Ia masih terus mengamati wajahku hingga membuatku risih. Pantas jika Mas Damar menunjukkan emosinya dengan menggenggam jariku. Seolah-olah ia sedang menunjukkan pada Mas Firman bahwa aku adalah miliknya. "Tinggal di Surabaya, Mas. Oh iya kenalkan ini Mas Damar, suamiku." Aku menunjuk arah Mas Damar dengan wajahku. Kemudian Mas Damar mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sejenak ia melepas jemarinya yang menggenggam tanganku. "Damar.""Firman.""Siapa, Dek?" tanya Mas Damar. Akhirnya dia yang sejak tadi hanya diam kini mulai bersuara. "Saya dulu pengagum rahasia Dewi, tapi Dewi lebih milih orang dari luar kota timbang yang di daerahnya s
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 53Ucapan Bela Sungkawa"Mas ngga kesana?" tanyaku setelah ia kembali duduk di pinggiran ranjang. Aku turut duduk di sebelahnya sambil memandangi wajahnya. Kupegang bahunya lembut, lalu kuusap. "Ada apa, Mas? Cerita sama aku.""Diantara kami sudah tidak ada apa-apa. Biarlah dia pergi dengan tenang.""Sudah tidak ada apa-apa bukan berarti hubungan antara dua keluarga putus begitu saja kan, Mas? Menjaga hubungan baik lebih baik dari pada menambah satu musuh," ujarku. Aku mencoba mengingatkan Mas Damar untuk terus menjaga hubungan baik, meskipun itu dengan mantan."Apa yang harus dijaga jika mamanya memintaku untuk bertanggung jawab atas apa yang bukan urusanku?""Bertanggung jawab? Maksudnya?""Kemarin Sindy ke kantor. Dia meminta satu kesempatan untuk kembali memperbaiki hubungan kami. Ya kubilang aja kalau aku sudah menikah. Jujur kan. Dianya malah ambil pisau dalam tasnya trus dipake buat motong nadinya. Bukan salahku jika dia akhirnya berbuat seper