“Sudah rapi sekali, Ma. Pagi-pagi ada pekerjaan?” Pilar bertanya saat melihat Gayatri sudah mengenakan pakaian rapi bahkan menutupi kemejanya dengan blazer coklat muda serta memoles wajah menjadi lebih segar. “Iya ada urusan sama agensi mengenai kontrak, Sayang. Sebentar lagi tante Rachel jemput, Kamu berangkat sama papa kan?” Gayatri menerima gelas yang diberikan Pilar berisi air putih hangat. “Iya sama papa, bawa minyak angin Ma takutnya mual nanti.” Pilar duduk di samping Gayatri untuk bersiap sarapan dengan seragam sekolah abu-abunya.Gayatri tersenyum membelai pipi Pilar. “Sudah Sayang, terima kasih ya. Kamu cepat sarapan.” Gayatri dijemput asistennya yang sampai saat ini belum mau menjadi asisten model siapa pun semenjak Gayatri memintanya untuk mendampingi model lain. Rachel bahkan mengatakan akan menjadi asisten Pilar saja nanti jika Pilar berniat menjeburkan diri ke dunia model seperti mamanya yang langsung Gayatri
“Kenapa tarik nafas terus?” Gayatri bertanya saat mendengar Rachel berkali-kali menarik nafas secara dramatis. “Gaya,” rengek Rachel. “Hem .... “ “Payah sekali enggak sih, hamil?” Rachel kembali menghela nafas, kini dengan menyentuh perut Gayatri dengan telunjuknya. Gayatri melotot dengan apa yang baru saja sahabatnya lakukan, ia menggenggam pergelangan tangan Rachel dan membuat sang sahabat membelai perutnya. Rachel tertawa paham jika ia sedikit menyentil ego sang model dunia. “Maaf Mama Gayatri,” kekeh Rachel. “Kamu pikir perut aku yang melendung ini barang apa sampai di towel begitu,” gerutu Gayatri. “Aku ngilu tahu, bukan maksud geli apa bagaimana. Seperti kencang sekali dan sakit,” ringis Rachel. “Enggak seperti itu, rahim dan perut kita itu elastis, Chel. Memang terlihat kencang tapi ya rasanya sama seperti perut biasanya. Saat hamil yan
“Aku sih punya banyak chanel ke sana, aku inginnya remaja dan dewasa. Karena aku punya anak gadis tentu saja,” kekeh Gayatri. “Ok ... hanya remaja cewek saja?” tanya Eliot. Rachel dan pilar mendengarkan dengan mata tertuju pada layar lebar di hadapan mereka duduk, saat pasangan di belakang mereka sedang mendiskusikan sebuah rencana jangka panjang. “Tante Rachel kalau om Zean sedang bekerja mendingan di sini saja temani mama sekalian bahas bisnis baru. Itu mama sama papa sedang diskusi.” Pilar berbisik pada Rachel yang memangku cookies keju pada stoples bening kaca. “Tante gabungnya kalau sudah jadi, mau jadi sponsor saja yang tetap dapat gajian,” jawab Rachel. Gayatri melempar punggung Rachel dengan bantalan sofa yang sedang ia peluk, menjadikan tawa Rachel lepas berderai-derai. “Aku bagian operasional saja, Gayatri. Kamu tahu aku sedang pusing,” kelakar Rachel.
“Hah?” Pilar melebarkan matanya. “Baru omongan-omongan rencana, belum terealisasikan karena kan eyang putri kamu meninggal enggak lama kemudian dan mama kamu berpisah dengan keluarganya untuk hidup sendirian. Jadi rencana itu menguap begitu saja, dan lagi astaga anak SMP sudah di jodohkan.” Eliot menggelengkan kepala tidak habis pikir dengan cara berpikir orang tua Gayatri. “Kan baru rencana seperti kata Papa, kok papa sewot? Papa cemburu ya karena buka Papa yang dijodohkan sama mama,” ledek Pilar. Gayatri melepas tawa puas sementara Eliot mencubit pipi Pilar gemas sekaligus tertawa rupanya memang seterbaca itu kekesalannya pada orang tua Zidan dan orang tua Gayatri. “Tapi tetap papa yang menang ya, Ma. Tanpa rencana perjodohan ternyata memang jodoh. Kalau sama om Zidan anaknya bukan aku pasti,” kikik Pilar. “Heh sembarangan.” Eliot melebarkan mata berpura-pura marah seraya mendaratkan keli
“Terima kasih ya sudah memotong cerita bagian pakde bude aku.” Eliot memeluk pinggang Gayatri lembut, membelai di sana. “Kalau aku cerita, nanti Pilar jadi benci. Aku enggak ingin Pilar menyimpan kebencian lagi, cukup sama aku saja sekali. Biarkan dia tahu jika keluarga papanya baik semua. Aku sudah ada kamu yang membela mati-matian saat dinyinyiri mereka.” Gayatri menepuk punggung tangan suaminya sekali. “Iya kamu sudah punya bodyguard, aku enggak akan diam saja saat ada yang menyenggol. Oh iya kamu sengaja enggak cerita ke Pilar bagaimana saat kita pacaran?” tanya Eliot. “Buat apa diceritakan astaga, walau kita pacaran juga enggak sampai macam-macam, tetap saja malu cerita sama anak. Ada-ada saja kamu ini,” kekeh Gayatri. Eliot menggelengkan kepala setelah membalik tubuh istrinya. Tertawa kecil saat mengingat sesuatu. “Kamu ingat kejadian di puncak enggak?” tanya Eliot. Ga
“Menginap? kamu memang bawa pakaian ganti? coba sini Papa mau bicara sama om Zidan, kok mendadak amat mengajak menginap?” Eliot menghela nafas panjang kala mendapatkan panggilan dari Pilar pukul satu siang dan mengatakan jika om Zidan menjemputnya di sekolah dan mengajak Pilar menginap bersama para sepupunya. Eliot mendengarkan penjelasan singkat Zidan dan akhirnya ia memberikan izin setelah Gayatri di depannya menganggukkan kepala menyetujui putrinya menginap di kediaman Zidan. “Pakai baju sepupunya katanya untuk pakaian dalam punya banyak yang masih baru. Ukuran mereka hampir sama, ya sudah biarkan. Pilar jarang menginap tempat saudara, mungkin karena papanya akan sendirian. Sekarang dia paham kalau sudah ada mamanya yang temani.” Eliot menganalisis sendiri. “Bisa jadi, atau mungkin omnya memberikan iming-iming,” terka Gayatri. “Padahal kita mau makan malam ya, mau jalan jam berapa Sayang? aku sudah rese
Gayatri menatap langit-langit kamar dengan tarikan nafas pelan, jam di nakas menunjukkan pukul dua belas lebih lima menit. Eliot sudah membersihkan diri dari satu jam lalu dan ia pun sudah terlebih dulu bersih serta sudah dibuatkan coklat hangat oleh suaminya. Gayatri tengah menunggu suaminya membuatkan roti bakar karena ia kelaparan. “Makan di kamar sungguh?” Eliot yang masuk membawa empat tangkup roti bakar dan dua gelas air putih dalam nampan. “Malas bangun aku, capek. Enggak apa-apa sesekali, bukan makanan yang banyak remahnya juga. Terima kasih, Sayang.” Gayatri duduk di pinggir ranjang dan mulai makan perlahan. “Aku yang terima kasih, masih sakit pinggangnya?” Eliot membelai pelan pinggan kanan Gayatri yang duduk bersila dengan pakaian tidur tipisnya. “Dikit, nanti juga baik. Gara-gara ke pentok kemudi ya, harusnya aku lebih kalem,” kekeh Gayatri. Eliot melepas tawa kecil mengangguk,
“Mama ... aku boleh pergi sama teman? Kita mau cari buku sama komik.” Pilar mendatangi Gayatri yang sedang berbincang dengan Rachel membahas rencana membuka rumah fashion. “Boleh dong, siapa temannya? Ke sinu apa bertemu di toko buku?” tanya Gayatri. “Sama ... Gio.” Pilar menjawab ragu-ragu. “Eh cowok?” Gayatri masih memandang Pilar dengan posisi duduk sedangkan Pilar berdiri di hadapannya dan Rachel, meja memisahkan mereka. “Gio yang pakau dasi kupu-kupu di perayaan ulang tahun kamu itu? Boleh Pilar boleh, sana pakai gaun yang manis eh jangan ... kamu sendiri sudah manis. Ayo Tante akan lihat lemari kamu dan pilihkan mana yang cocok untuk jalan sama crush.” Rachel langsung bangun dengan semangat setelah menepuk paha Gayatri. “Gio bukan crush aku, Tante. Hanya teman satu kelas,” bantah Pilar. “Iya iya enggak apa-apa kamu bilang teman satu kelas. Dia jemput kan? pakai apa? en