“Elu dengar dari mana?” Eliot bertanya dengan menyandarkan punggungnya. “Dunia bisnis sempit sudah pasti akan bersinggungan juga, gila beritanya parah sekali elu menggelapkan dana selama menjadi tunangannya Marisa. Mungkin bagi yang benar-benar kenal akan tidak percaya tapi untuk calon-calon relasi baru akan berpikir dua kali bekerja sama dengan elu.” Zidan menjelaskan dengan serius. “Itu bukan menjadi masalah buat gua, gua bisa buktikan sepeserpun enggak pernah menggelapkan uang hotel Marisa. Hotel itu bahkan berhutang sangat banyak sama gua dan sepertinya enggak bisa dibayar juga. Memang licik sekali ternyata Marisa, gua sedang menunggu saat yang tepat menyeretnya sampai bersih. Yang gua cemaskan adalah anak bini gua,” desah Eliot. “Eh kenapa dengan Gayatri sama Pilar?” Zidan mengerutkan kening dalam. “Rusel licik, dia menemui anak bini gua. Membuntuti lebih tepatnya, bahkan mendatangi sekolah Pilar samp
“Mama ... ini semuanya mau di laundry dulu kan?” Pilar bertanya saat mereka tengah membongkar semua belanjaan pakaian adiknya di atas karpet ruang tengah. “Iya dong Sayang, ssemua sampai bantal, guling, selimut. Nanti diambil ke sini, kita masukkan tas besar saja sama koper biar nanti datang sekalian masuk ke sana. Baju anak cowok memang tidak banyak modelnya selain kemeja dan kaos. Tapi pilihan kamu lucu-lucu sekali Mama suka,” tukas Gayatri. “Aku hanya pilih beberapa, selebihnya pilihan Mama dan keren-keren. Ini sampai usia tiga tahun bisa enggak beli baju ini, adek,” kekeh Pilar. “Banyak sekali ya kita belinya? Biarkan ... kata papa kamu boleh borong kok,” kelakar Gayatri. Pilar mengangguk dengan ringis lebar melihat hamparan pakaian mungil-mungil di sekitar mereka. “Mama mau melahirkan normal?” tanya Pilar. “Inginnya normal dan semoga bisa normal ya, Sayang. Yang menentuka
“Pulang saja yuk,” pinta Gayatri. Eliot yang masih memeluk Gayatri yang duduk di tepian bangkar UGD dengan kaki bergelantungan. Membelai pinggang sang istri sedari satu jam lalu, setelah di periksa ternyata belum saatnya lahir dan Gayatri baru mengalami kontraksi palsu dan sekarang setelah dua jam sudah membaik hilang total sakit diperutnya. “Nanti tunggu dokter periksa lagi ya, sabar dulu.” Eliot membujuk dengan membelai kepala sang istri yang tenggelam di dadanya. “Kamu panggil saja, kasihan Pilar sama Rachel masih menunggu di luar,” lirih Gayatri. “Mereka sedang makan di foodcourt aku sudah minta mereka makan dulu karena enggak ada yang mau pulang. Mau bareng kamu katanya, jangan pikirkan yang lain Sayang. Yang harus kamu pikirkan adalah yang positif-positif seperti kata dokter. Semoga enggak ada lagi kontraksi palsu ya Sayang. Kontraksinya pas mau lahiran saja, setengah jam saja kalau boleh minta,” papa
“Memang masih terlihat seksi dengan badan sebesar ini? kadang aku suka berpikir begini Sayang. Ehem .... “Eliot tersenyum melihat bagaimana Gayatri tiba-tiba mengambil aba-aba untuk mengutarakan isi kepalanya dan merendahkan suaranya saat kendak berbicara.“Suami aku masih nafsu enggak ya lihat badan istrinya sebesar ini. Mana makan mulu, kucel mulu. Sedangkan di luar sana cewek-cewek cantik bertebaran. Padahal dulu aku berpikir wanita paling cantik dan seksi adalah wanita yang sedang hamil. Eh pas sendiri hamil dan bercermin, astaga besar sekali badan ini,” kekeh Gayatri.Eliot bukan tertawa tapi justru berkaca-kaca, hal tersebut membuat Gayatri mengulas senyuman. Ia tahu apa yang membuat suaminya berkaca-kaca. Gayatri membelai pipi sang suami masih dengan senyuman.“Iya serius aku lumayan lama merasa insecure karena kehamilan sekarang berat badan naiknya berkali lipat dari pada pas Pilar. Melendung di mana-mana terutama wajah bulat sekali. Tapi saat kita ... aku tahu kamu masih me
“Masih tidur?” bisik Rachel. “Iya Tante,” jawab Pilar berbisik juga. “Papa kamu mana?” Rachel mendekati ranjang dan meneliti Gayatri yang tidur pulas dengan wajah bengkak serta tarikan nafas pelan. “Beli kopi di bawah, enggak ketemu tadi di jalan? belum lama kok keluarnya,” jawab Pilar. Rachel menggelengkan kepala, masih berdiri membelai kening Gayatri dengan teramat pelan. Ia takut membangunkan sang sahabat, matanya berkaca-kaca. Rachel mendapatkan pesan singkat dari Pilar jika Gayatri mengalami pecah ketuban dua hari sebelum HPL dan harus melahirkan hari itu juga lantaran pembukaan sudah banyak. Sedangkan Rachel sedang berada di puncak bersama suaminya menghadiri satu acara dari rekan Zean. Rachel langsung pulang ke Jakarta meninggalkan Zean yang masih memiliki urusan yang harus diselesaikan segera. Rachel menerima kabar berkala dari Pilar yang menunggu sendirian di luar ruangan bersalin sementara sang p
“Pelan-pelan, Sayang.” Eliot menegur saat Gayatri terburu-buru menurunkan kakinya dari mobil begitu mereka sampai di rumah. Pilar masih berada di dalam mobil menggendong adiknya, menunggu sang papa membantu mamanya terlebih dahulu. Pilar sudah sangat luwes menggendong bayi berusia tiga hari tersebut. Begitu Gayatri sudah aman berdiri di luar mobil, baru Eliot mengambil sang bayi dari gendongan kakaknya dan Pilar turun untuk membantu mengeluarkan perlengkapan mereka selama di rumah sakit. “Biarkan dibantu pak sekuriti, Pilar. Kamu masuk sama mama sana,” tegur Eliot. “Iya Pa.” Pilar menghampiri Gayatri dan menggandeng lengannya untuk masuk ke dalam rumah. “Tante Rachel ke mana katanya, Ma?” Pilar bertanya saat ingat saat merek hendak keluar dari rumah sakit Rachel menghubungi Gayatri dan mengatakan tidak bisa ikut menjempt. “Mamanya sakit, enggak di rawat tapi minta tante Rachel pulang. Tante
“Duduk, kalian duduk. Astaga punya anak istri enggak mau banget dengarkan perintah papanya.” Eliot memberikan tatap melotot pada Gayatri dan Pilar. Gayatri dan Pilar sontak tertawa geli melihat teguran Eliot, bukan takut, hanya lucu saja melihat Eliot dengan pakaian koko putih dengan celana yang juga putih senada dengan pakaian anak-anak dan istrinya. “Iya Papa iya, ini aku sedang mau ambil adek di gendongan kakak Pilar. Duduk Kak, papa sudah bertaring,” kelakar Gayatri. Hari itu adalah hari di mana digelar akikah untuk Mahatma, penghuni baru kediaman Eliot. Ia mengundang semua keluarga dan kerabat dekat untuk turut mendoakan Mahatma yang baru saja di cukur gundul. Yang membuat Eliot melebarkan mata pada Gayatri dan Pilar adalah kedua wanita di rumahnya tidak bias diam sekali, ada saja yang mereka kerjakan. Saat Gayatri menggendong Mahatma, maka Pilar akan sibuk membantu apa saja di dapur. Jika Mahatma digendong Pilar, ma
Gayatri menikmati kegiatan barunya memiliki bayi, kali ini jelas sangat berbeda dengan saat memiliki Pilar. Kelahiran Mahatma ia dikelilingi sayang dan cinta yang begitu besar dari anak sulung dan suami bahkan kini ia memiliki sahabat yang bisa ia ceritakan mengenai apa pun hingga ia tidak stres sendirian seperti dahulu ketika kelahiran Pilar. “Sayang ... aku akan ke kantor dua jam saja ya, untuk meeting karena memang enggak bisa di wakilkan. Setelah itu langsung pulang kok, kan aku sudah janji sampai kamu benar-benar baik baru full bekerja.” Eliot menghampiri istrinya yang sedang memakaikan sang bayi pakaian usai membersihkannya. “Iya Papa, enggak apa-apa kan ada mbak sama pak Husen di depan. Berangkatlah.” Gayatri mengangkat Mahatma yang menggeliat dengan mulut terbuka setelah digantikan pakaiannya.Eliot menarik nafas panjang. “Baiklah Sayang, Papa akan segera pulang ya biar Mama bisa istirahat karena kamu semalam banyak bangun.”