TokTokTok"Permisi Bu Nadine … Permisi Pak Salim."Terdengar suara ketukan dan orang yang memanggil-manggil nama pemilik rumah.Embun dan yang lainnya menoleh ke arah pintu. Merasa heran dengan tamu yang datang berkunjung malam-malam begini. Sudah jam 9 malam."Biar aku aja yang buka pintunya, Mbak," ucap Laras. Dia berinisiatif untuk bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke depan pintu untuk melihat tamu yang datang.Semua orang di ruangan itu membiarkan Laras menemui tamu di depan.Ceklek"Loh … Laras? Kamu bener-bener tinggal di sini?" tanya Mutia.Laras terkejut dengan kedatangan Mutia bersama seorang wanita paruh baya di sampingnya. Dia adalah Bu Idah, Ibunda Mutia."Siapa dia, Mut?" bisik Bu Idah pada anaknya. Tapi Laras masih bisa mendengarnya."Dia orangnya, Bu. Gadis kampung yang berhasil memikat keluarga Bastian dengan peletnya," ucap Mutia dengan sinis."Ooh … jadi ini orangnya? Lebih cantikan kamu, Mut. Sepertinya bener kalau dia ini pakai pelet. Kalau gak, mana mungkin
"Heh, kamu … sini!"Mutia mendekati mobil yang terparkir di bahu jalan. Seorang wanita cantik memanggilnya untuk datang."Siapa itu, Mut?" tanya Bu Idah pada anaknya."Masa Ibu gak ngenalin? Dia itu Valerie, mantannya Bastian.""Oalah. Lebih cantik aslinya ya ketimbang di TV. Kalah jauh tuh si gadis desa."Mutia dan Bu Idah lantas mendekati Valerie. Mereka tak sengaja bertemu saat Mutia sedang membeli makan di warung tepi jalan. Tempatnya masih dekat dengan toko dan rumah keluarga Embun."Iya, Kak. Ada apa?"Mereka bertiga berbicara di pinggir jalan. Valerie masih anteng duduk di dalam mobil, sedangkan Mutia dan ibunya berdiri di samping mobil mewah itu. Mereka hanya terhalang kaca mobil yang belum sepenuhnya terbuka."Kamu pegawai toko Pak Salim, 'kan? Siapa namamu? Aku lupa." Valerie bertanya dengan nada yang sedikit ketus. Tapi Mutia tak merasa tersinggung sama sekali."Aku sudah gak kerja di sana lagi, Kak. Aku sudah dipecat," ucap Mutia."Permisi, Mbak. Apa gak sebaiknya kita ngo
Dua bulan berlaluBesok adalah hari istimewa bagi Laras dan Bastian. Mereka telah setuju untuk bersatu dan hubungannya akan diresmikan esok hari. Acaranya terbilang sederhana. Tak perlu menyewa gedung untuk pesta pernikahan. Semua ini atas keinginan Laras dan Bastian. Mereka ingin menikah di rumah dengan mengundang kerabat dekat serta para pegawai toko. Para supir angkot serta penghuni kos dekat rumah mereka juga dipersilahkan untuk datang dan memeriahkan acara."Biar aku aja yang belanja, Mbak," usul Laras.Sebenarnya keluarga Embun telah memesan catering untuk acara esok, tapi mereka ingin membuat masakan tambahan untuk lauk pelengkap. Hanya satu macam lauk yaitu ayam betutu khas Bali. Kebetulan Embun dan Laras lagi senang-senangnya memasak makanan itu. "Loh, jangan kamu lah yang belanja. Kamu diam saja di rumah! Calon pengantin gak boleh kemana-mana." Embun menolak tawaran Laras."Nanti biar Mbak sendiri yang belanja. Atau Mbak minta tolong Bi Darmi buat belanja," ucap Embun pada
"Gara-gara kamu nih, kita jadi nyasar sampai sini. Bentar lagi gelap, nih. Yuk pulang! Di sini seram!" Anton menaruh kucingnya di keranjang depan. Dia lantas mengayuh sepedanya meninggalkan komplek perumahan kosong itu.Jalanan di komplek ini terasa mencekam. Hanya ada dua pemulung yang sempat berpapasan dengan Anton. Selebihnya, semuanya terlihat sepi. Senyap. Menyeramkan."Tolong!! Tolong!!!"Di sisi lain, Laras terus berusaha mempertahankan kesuciannya dari manusia kotor seperti Sapto. Pakaiannya telah koyak. Rambutnya berantakan karena terus dijambak oleh Sapto. "Tolong!!! Tolong!!!"Teriakannya mulai melemah. Tenaganya habis terkuras. Sekuat apapun dia mencoba melarikan diri, Sapto masih bisa mengejarnya. Dan kini, Laras sudah berada dalam dekapannya."Ha ha ha. Akhirnya kamu menyerah juga, Sayang. Capek kan dari tadi main lari-larian? Sini! Sekarang tidur bersamaku!""Tolong jangan sakiti aku! Jangan renggut kesucianku!" Laras memohon sambil berlinangan air mata. Hari sudah mul
"Nah … ini Sapto.""Darimana saja kamu, To? Kepalamu kenapa diperban gitu? Trus Laras mana?"Embun terus menembakkan banyak pertanyaan pada sosok Sapto yang kepalanya tengah diperban.Setelah kepergian Laras dan Anton, Sapto ditolong oleh dua orang pemulung yang lewat di komplek sepi itu. Mereka membantu Sapto dan membawa pria itu ke klinik terdekat. Setelah kepalanya mendapat tiga jahitan, tanpa memikirkan rasa sakitnya, Sapto lantas pergi ke rumah Embun. Awalnya dia hanya ingin tahu perkembangan kasusnya. Apakah Laras sudah pulang dan melaporkannya ke polisi? Kenyataannya, Laras justru belum pulang ke rumahnya hingga Embun dan keluarganya panik mencari-cari keberadaan gadis itu."Ma … maaf, Bu. Laras kabur bersama pria lain. Luka di kepalaku ini akibat pukulan pria itu," ucap Sapto, tak sepenuhnya berkata jujur."Apa?" Semua orang terlihat tegang. Mereka tak bisa sepenuhnya percaya akan perkataan Sapto. Tapi mereka mencoba mengulik kesaksian lagi dari mantan pegawainya itu."Memangn
Pesta pernikahan tetap digelar. Namun pengantinnya bukanlah Bastian dan Laras, melainkan Iwan dan kekasihnya. Ini merupakan usulan dari Bastian sendiri."Tetap laksanakan, Mbak," ucap Bastian tadi malam. Pria itu sama sekali tak bersedih apalagi menangis saat dirinya tahu kalau Laras tak ingin menjadi pasangannya. "Lalu, kamu mau menikah dengan siapa, Bas? Pernikahan itu bukan mainan. Kamu gak bisa seenaknya mengambil anak gadis orang lain hanya untuk dijadikan pengganti Laras," ucap Bu Nadine."Bukankah Mama dan Mbak Embun juga seenaknya menjodohkanku dengan Laras tanpa mau mendengar pendapatku?"Embun dan Bu Nadine seketika terdiam. Selama ini mereka begitu kekeuh menjodohkan Laras dengan Bastian. Setiap hari mereka terus mencekoki Bastian dengan pujian tentang Laras.Sebenarnya, Bastian belum siap untuk menikah. Apalagi setelah hubungannya dengan Valerie kandas dengan cara yang tidak baik. Enggan rasanya bagi Bastian untuk memulai hidup baru secepat ini. Dia selalu dibayangi ketak
Embun dan keluarganya mengantar Bastian ke tempat tujuan. Ternyata, pondok pengobatan alternatif itu terletak di sebuah desa yang cukup asri dengan hamparan sawah membentang memanjakan mata."Aku kira tempatnya di perkotaan, soalnya Bastian sempet bilang di kota sebelah," ucap Bumi setelah melihat suasana di desa itu."Bagus suasananya. Bastian pasti betah tinggal di sini," timpal Embun.Desa yang berjarak 102 km dari kota tempat tinggal Embun, nampak indah dan menenangkan jiwa. Mereka memerlukan waktu 3 jam lebih untuk sampai di sana. Akses jalannya tergolong baik jika dibandingkan desa tempat tinggal Laras. Mereka tak perlu berjalan kaki terlalu lama karena sebagian besar jalan di desa itu lebar dan sudah diaspal. "Ini tempatnya, Wan?" Bumi bertanya pada Iwan, si pemandu."Iya, Pak. Masuk saja ke dalam."Rombongan Embun yang terdiri dari dua mobil kini telah sampai ke rumah sederhana namun di sampingnya terdapat bangunan berjajar mirip kos. Halaman depan juga tergolong luas dan ban
"Kamu gila, Lan?"Valerie kaget saat melihat villa untuk bulan madunya bersama Alan, kini dipenuhi oleh teman-teman Alan."Kenapa memangnya? Kamu gak suka kalau teman-temanku ikut berlibur? Lagipula, tiket bulan madu ini kan hadiah dari orang tuaku," ucap Alan enteng."Tapi, Lan. Ini gak hanya sekedar liburan. Kita mau bulan madu. Masa iya harus diganggu juga oleh teman-temanmu?" Valerie masih tak terima.Alan tak peduli dengan protes sang istri. Dia memilih bergabung dengan teman-temannya yang sedari tadi sudah memanggil-manggilnya. Iya. Sebenarnya Alan belum siap untuk menikah. Dia memang menyukai Valerie dan ingin memilikinya, tapi jiwa bebas masih menguasai dirinya. Dia tak ingin hidupnya berubah dan terkekang oleh aturan rumah tangga. Alan masih ingin bersenang-senang seperti biasa. Hari-hari diwarnai dengan pesta dan nongkrong-nongkrong dengan teman-temannya. Di sisi lain, Valerie yang sedang dongkol, memilih pergi ke kamarnya dan membiarkan Alan berkumpul dengan yang lainnya.