"Nah … ini Sapto.""Darimana saja kamu, To? Kepalamu kenapa diperban gitu? Trus Laras mana?"Embun terus menembakkan banyak pertanyaan pada sosok Sapto yang kepalanya tengah diperban.Setelah kepergian Laras dan Anton, Sapto ditolong oleh dua orang pemulung yang lewat di komplek sepi itu. Mereka membantu Sapto dan membawa pria itu ke klinik terdekat. Setelah kepalanya mendapat tiga jahitan, tanpa memikirkan rasa sakitnya, Sapto lantas pergi ke rumah Embun. Awalnya dia hanya ingin tahu perkembangan kasusnya. Apakah Laras sudah pulang dan melaporkannya ke polisi? Kenyataannya, Laras justru belum pulang ke rumahnya hingga Embun dan keluarganya panik mencari-cari keberadaan gadis itu."Ma … maaf, Bu. Laras kabur bersama pria lain. Luka di kepalaku ini akibat pukulan pria itu," ucap Sapto, tak sepenuhnya berkata jujur."Apa?" Semua orang terlihat tegang. Mereka tak bisa sepenuhnya percaya akan perkataan Sapto. Tapi mereka mencoba mengulik kesaksian lagi dari mantan pegawainya itu."Memangn
Pesta pernikahan tetap digelar. Namun pengantinnya bukanlah Bastian dan Laras, melainkan Iwan dan kekasihnya. Ini merupakan usulan dari Bastian sendiri."Tetap laksanakan, Mbak," ucap Bastian tadi malam. Pria itu sama sekali tak bersedih apalagi menangis saat dirinya tahu kalau Laras tak ingin menjadi pasangannya. "Lalu, kamu mau menikah dengan siapa, Bas? Pernikahan itu bukan mainan. Kamu gak bisa seenaknya mengambil anak gadis orang lain hanya untuk dijadikan pengganti Laras," ucap Bu Nadine."Bukankah Mama dan Mbak Embun juga seenaknya menjodohkanku dengan Laras tanpa mau mendengar pendapatku?"Embun dan Bu Nadine seketika terdiam. Selama ini mereka begitu kekeuh menjodohkan Laras dengan Bastian. Setiap hari mereka terus mencekoki Bastian dengan pujian tentang Laras.Sebenarnya, Bastian belum siap untuk menikah. Apalagi setelah hubungannya dengan Valerie kandas dengan cara yang tidak baik. Enggan rasanya bagi Bastian untuk memulai hidup baru secepat ini. Dia selalu dibayangi ketak
Embun dan keluarganya mengantar Bastian ke tempat tujuan. Ternyata, pondok pengobatan alternatif itu terletak di sebuah desa yang cukup asri dengan hamparan sawah membentang memanjakan mata."Aku kira tempatnya di perkotaan, soalnya Bastian sempet bilang di kota sebelah," ucap Bumi setelah melihat suasana di desa itu."Bagus suasananya. Bastian pasti betah tinggal di sini," timpal Embun.Desa yang berjarak 102 km dari kota tempat tinggal Embun, nampak indah dan menenangkan jiwa. Mereka memerlukan waktu 3 jam lebih untuk sampai di sana. Akses jalannya tergolong baik jika dibandingkan desa tempat tinggal Laras. Mereka tak perlu berjalan kaki terlalu lama karena sebagian besar jalan di desa itu lebar dan sudah diaspal. "Ini tempatnya, Wan?" Bumi bertanya pada Iwan, si pemandu."Iya, Pak. Masuk saja ke dalam."Rombongan Embun yang terdiri dari dua mobil kini telah sampai ke rumah sederhana namun di sampingnya terdapat bangunan berjajar mirip kos. Halaman depan juga tergolong luas dan ban
"Kamu gila, Lan?"Valerie kaget saat melihat villa untuk bulan madunya bersama Alan, kini dipenuhi oleh teman-teman Alan."Kenapa memangnya? Kamu gak suka kalau teman-temanku ikut berlibur? Lagipula, tiket bulan madu ini kan hadiah dari orang tuaku," ucap Alan enteng."Tapi, Lan. Ini gak hanya sekedar liburan. Kita mau bulan madu. Masa iya harus diganggu juga oleh teman-temanmu?" Valerie masih tak terima.Alan tak peduli dengan protes sang istri. Dia memilih bergabung dengan teman-temannya yang sedari tadi sudah memanggil-manggilnya. Iya. Sebenarnya Alan belum siap untuk menikah. Dia memang menyukai Valerie dan ingin memilikinya, tapi jiwa bebas masih menguasai dirinya. Dia tak ingin hidupnya berubah dan terkekang oleh aturan rumah tangga. Alan masih ingin bersenang-senang seperti biasa. Hari-hari diwarnai dengan pesta dan nongkrong-nongkrong dengan teman-temannya. Di sisi lain, Valerie yang sedang dongkol, memilih pergi ke kamarnya dan membiarkan Alan berkumpul dengan yang lainnya.
"Bangun, bangun! Sudah siang. Kok doyan banget tidur sampai siang. Anak dan Ibu sama saja."Mutia mengerjapkan matanya. Dia kaget saat mendapati ibu pemilik kontrakan telah berada di dalam rumahnya."Loh, kok Ibu bisa masuk?" tanya Mutia."Bisa masuk, bisa masuk. Ini kan rumah saya. Kalian cuma ngontrak di sini. Cepet bangun!" Bu Tami memaksa Mutia dan ibunya bangun dari tidurnya."Lihat jam di dinding. Ini sudah jam 10 Mutia ... Bu Idah. Kalian masih tidur saja?""Terserah kami dong, Bu. Kenapa Ibu ganggu, sih?" Bu Idah tak suka tidurnya diganggu."Apa kamu bilang? Berani bentak saya? Sekarang cepat pergi dari rumah saya!"Mutia dan ibunya terkejut. Kenapa tiba-tiba pemilik kontrakan mengusir mereka?"Loh, apa-apaan ini, Bu? Kenapa Ibu ngusir kami?" tanya Bu Idah."Heh, kalian lupa? Kalian sudah nunggak selama 2 bulan. Sekarang pergi dari rumahku!"Setelah diingat-ingat, ternyata benar kalau Mutia sudah menunggak uang kontrakan selama dua bulan. Sejak dipecat dari toko Pak Salim, dia
Dua bulan berlaluKehidupan keluarga Embun mulai tenang. Bastian betah dan semakin bahagia berada di pondok pengobatan, sedangkan Arista dan Rayyan sudah mulai bersekolah. Mereka tak lagi menanyakan tentang keberadaan Laras.Bicara tentang Laras, dia juga tengah bahagia bersama Anton serta bayi yang ada di kandungannya. Mereka berdua kini telah menetap di desa asal Laras. Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk bisa saling menerima dan mencintai. Anugerah seorang bayi yang diberikan Tuhan menambah kekompakan mereka sebagai sepasang suami istri. Mereka sampai lupa kalau kebersamaannya ini didapatkan dengan cara menghancurkan hati dan kepercayaan keluarga Embun. Tapi itulah misteri kehidupan. Pada akhirnya, mereka akan menapaki jalan masing-masing yang telah digariskan oleh Tuhan."Aku seneng, Mas. Bastian dan Arista sudah bahagia lagi tanpa bayang-bayang dari Laras. Ternyata Tuhan begitu cepat menyembuhkan luka hati mereka. Kini, kita hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. Mend
"Ibu masih di sini?"Bu Bidan terkejut mendengar suara di belakangnya. Suara berat seorang lelaki. Dia takut untuk menoleh ke belakang. Perasaannya mulai tak karuan. Apa yang akan dilakukan lelaki ini saat mendapati dirinya mengintip dari celah jendela?"Masih ngeyel, ya, Bu? Gak sopan ngintip-ngintip rumah orang." Lagi-lagi, suara itu menegur dirinya. Bu Bidan sangat ketakutan. Dia tahu bahwa lelaki yang ada di belakangnya adalah Paman Icut."Heh, balik badan! Lihat saya!" Suara itu terus meminta Bu Bidan untuk berbalik badan. Tapi, keterkejutannya bertambah menjadi berkali-kali lipat saat dia melihat Paman Icut tengah berada di kamar Mirah. Lalu siapa yang ada di belakangnya? Bau busuk mulai menyeruak di penciumannya. Degup jantung Bu Bidan semakin kencang hingga membuat dirinya sesak. Awalnya dia menyangka telah tertangkap basah oleh Paman Icut. Tapi setelah melihat keberadaan Paman Icut di dalam rumah, hatinya semakin tak karuan akan sosok yang terus berbicara di belakangnya."
"Saya benar-benar melihatnya, Pak. Mirah itu disiksa oleh paman dan bibinya."Pak Kades dan beberapa warga di desa itu heran akan perkataan Bu Bidan. Pasalnya Mirah terlihat baik-baik saja dan tak ada bekas luka sedikitpun di kakinya. Kalaupun lemas, itu karena dia baru saja melahirkan."Sepertinya Bu Bidan lagi kurang sehat, Pak. Sudah coba diajak ke puskesmas?" tanya Paman Icut pada suami Bu Bidan."Saya gak sakit. Saya benar-benar sehat," Bu Bidan tetap berkelid. Dia juga heran kenapa bekas luka di kaki Mirah bisa menghilang dalam sekejap. Matahari kini sudah bersinar terang, harusnya luka di kaki Mirah bisa terlihat lebih jelas. Tapi kini, semua itu justru menghilang dan Mirah terlihat baik-baik saja."Kemarin, Bu Bidan bilang, beliau melihat penampakan Mas Bayu, Pak. Hingga beliau pingsan di depan rumahku." Kali ini Laras ikut masuk ke dalam obrolan. Mendengar perkataan Laras, Pak Kades dan beberapa warga lainnya menoleh ke arah Bu Bidan. Mereka seolah meminta penjelasan Bu Bida